Jakarta (ANTARA) - Dua bulan lalu, Prancis diguncang unjuk rasa besar menolak rencana pemerintah Presiden Emmanuel Macron dalam menaikkan usia pensiun menjadi 64 tahun.

Tujuh tahun sebelumnya, pada 2016, China mencabut kebijakan satu anak, demi mendorong rakyatnya memiliki anak banyak.

Kebijakan satu anak ternyata membuat populasi usia produktif semakin berkurang sehingga menekan produktivitas ekonomi.

Tak hanya itu, kebijakan itu memaksa negara mengalokasikan anggaran yang semakin besar untuk penduduk usia tua yang jumlahnya kian banyak seiring dengan naiknya tingkat harapan hidup.

Di Rusia beberapa bulan lalu, Presiden Vladimir Putin menjanjikan bantuan 1 juta rubel (Rp180 juta) kepada wanita Rusia yang mampu membesarkan sepuluh anak.

Negara terluas di dunia itu menghadapi masalah turunnya angka kelahiran yang menghambat produktivitas ekonomi dan membuat sejumlah wilayah kekurangan penghuni.

Lain lagi dengan Jepang. Perdana Menteri Fumio Kishida mengalokasikan anggaran 3,5 triliun yen (Rp373 triliun) per tahun guna melindungi anak-anak dengan lebih baik lagi sehingga harapan hidup anak meningkat dan kemudian menjadi fondasi untuk penduduk usia produktif yang tinggi.

Jepang juga menghilangkan batas penghasilan bagi keluarga yang mendapatkan subsidi penitipan anak dan beasiswa perguruan tinggi.

Dalam kata lain, Jepang berusaha merangsang keluarga-keluarga agar memiliki anak yang banyak.

Itu adalah beberapa contoh persoalan demografis yang pelik yang tengah dihadapi dunia saat ini.

Di satu sisi, penduduk dunia sudah mencapai 8 miliar orang, tapi di sisi lain persoalan ini menguakkan ironi mengenai terus turunnya angka kelahiran.

Saat bersamaan, penduduk berusia tua semakin banyak sehingga perbandingan usia produktif dan tidak produktif menjadi tak lagi begitu lebar.

Kedua aspek ini menekan tingkat produktivitas ekonomi dan memaksa negara menaikkan anggaran untuk kalangan usia tua, dari tunjangan pensiun sampai jaminan kesehatan.

Usaha Macron menaikkan usia pensiun di Prancis sampai 64 tahun bisa dilihat dari logika tersebut.


Terus turun

Tak seperti China dan Rusia, Prancis yang liberal, tak bisa memaksa penduduknya agar berketurunan atau apalagi memiliki banyak anak.

Salah satu cara yang masuk akal adalah menaikkan usia kerja sampai 64 tahun.

Prakarsa ini bisa menghemat alokasi dana negara untuk anggaran pensiun dan sekaligus meningkatkan angkatan kerja yang vital bagi produktivitas ekonomi.

Rakyat Prancis berstatus pegawai negeri tentu saja memprotes prakarsa ini karena mereka dipaksa bekerja sampai usia jauh lebih tua yang seharusnya menjadi masa menikmati masa tua.

Masalah demografis yang pelik ini menggambarkan konsekuensi lain dari dikotomi jumlah penduduk yang kian banyak di satu sisi, dengan tingkat harapan hidup yang semakin tinggi dan angka kelahiran yang terus merendah di sisi lainnya.

Semakin banyak saja faktor yang membuat tingkat kelahiran di banyak negara terus menurun. Salah satu faktor yang bisa disebut adalah kecenderungan kaum muda untuk menunda pernikahan karena biaya hidup yang tinggi.

Di Indonesia misalnya, sudah jarang ditemui orang menikah dalam usia belia dan lebih jarang lagi mendapati keluarga yang memiliki lebih dari dua anak.

Ini persoalan global yang membuat jumlah penduduk di banyak negara terus menyusut.

Mengutip analisis The Economist, 250 tahun sejak era Revolusi Industri, jumlah penduduk dunia memang mengalami ledakan, tapi sebelum akhir abad ke-21 ini, jumlah penghuni Planet Bumi ini untuk pertama kali sejak Black Death akan mengalami penyusutan.

Black Death adalah masa ketika penduduk dunia menyusut drastis akibat pandemi besar di Eurasia Barat dan Afrika Utara pada 1346-1353 yang merenggut 75 juta sampai 200 juta nyawa manusia.

Namun demikian, penyusutan jumlah penduduk saat ini tidak terjadi karena kematian massal seperti sewaktu Black Death, melainkan oleh turunnya angka kelahiran.

Pada 2000 tingkat kesuburan global masih berada pada 2,7 kelahiran per wanita atau masih di atas batas toleransi 2,1 yang biasa disebut "replacement rate".

Tetapi saat ini angka tersebut hanya 2,3 dan kecenderungannya pun terus menurun.

Di 15 negara yang memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di dunia, termasuk Amerika Serikat, China dan India, angka kelahiran itu berada di bawah replacement rate 2,1.

Sebaliknya, proporsi penduduk usia tua semakin besar di beberapa negara.

Bukan hanya di negara-negara maju seperti Jepang dan Italia, tapi juga di negara-negara berkembang seperti Brazil, Meksiko dan Thailand.

Bahkan, pada 2030, separuh penduduk Asia Timur dan Tenggara diprediksi terdiri dari penduduk usia di atas 40 tahun.

Kecenderungan ini pastinya mempengaruhi negara dalam bagaimana mengalokasikan anggaran untuk merawat dan menanggung penduduk usia tua.


PR bersama

Sejumlah negara mengakali hal itu dengan menaikkan pajak penghasilan kepada kaum pekerja produktif.

Tapi akibatnya, langkah ini membuat tingkat upah menjadi naik. Dan situasi ini tentu kabar buruk untuk daya saing ekonomi dan pasar tenaga kerja.

Turunnya angka kelahiran tapi naiknya angka harapan hidup ini sudah menjadi fenomena global.

Semakin banyak saja negara yang mengkhawatirkan dampak menyusutnya usia produktif dan bertambahnya penduduk usia lanjut terhadap pengelolaan ekonomi.

Di antara negara yang menghadapi masalah serupa itu adalah China yang saat ini berada pada angka 1,07 atau jauh di bawah replacement rate 2,1.

Penduduk usia kerja di negeri ini perlahan berkurang. Pada 2011, angkanya sempat mencapai puncak 900 juta orang. Namun sampai pertengahan abad ini diprediksi bakal menyusut menjadi 700 juta orang.

Gambaran terakhir ini membuat setiap 100 orang usia kerja di China saat ini, mesti mensubsidi setiap 106 orang lanjut usia dan anak-anak, dengan pengenaan pajak penghasilan yang lebih tinggi.

Struktur demografis yang berubah lebih jauh lagi akan mempengaruhi komposisi dan struktur penduduk yang akibatnya bisa luas sekali, tak hanya menyangkut aspek ekonomi, tapi juga politik, sosial dan keamanan.

Penyusutan jumlah penduduk membuat angkatan kerja produktif berkurang untuk kemudian menaikkan biaya tenaga kerja yang akibatnya bisa melemahkan daya saing ekonomi. Situasi ini pastinya dihindari oleh negara atau entitas bisnis mana pun.

Yang tak kalah mengkhawatirkan adalah pengaruhnya terhadap institusi pernikahan dan tingkat pendidikan di mana sumber daya pendidikan dasar yang tadinya terbatas menjadi berlebih karena terus berkurangnya populasi anak usia sekolah.

Akibat lebih jauh dari hal itu adalah terjadinya ketimpangan struktural dalam sumber daya pendidikan.

Dalam jangka panjang, situasi ini dapat melemahkan permintaan akan pendidikan tinggi yang jika dibiarkan dapat merusak kualitas dan output pendidikan. Padahal kualitas pendidikan kerap menentukan output nasional, khususnya ekonomi.

Dihadapkan kepada masalah ini, sebagian kalangan di dunia ini beralih kepada teknologi. Mereka berusaha mengakali naiknya tingkat upah dan kian terbatasnya tenaga kerja produktif, termasuk dengan mengoptimalkan kemanfaatan inovasi-inovasi teknologis seperti kecerdasan buatan.

Ini malah membuat beban yang harus ditanggung negara semakin besar, karena pasar tenaga kerja yang digantikan oleh teknologi membuat usia produktif menjadi tak cukup bisa menopang produktivitas dan sebaliknya malah memperbesar beban negara yang sudah besar karena harus menanggung populasi yang menua.

Ini pekerjaan rumah bersama para pembuat kebijakan di mana pun, termasuk Indonesia.

Copyright © ANTARA 2023