Jakarta (ANTARA) -
Komunitas Rhesus Negatif Indonesia menjadi wadah menyalurkan kebutuhan darah masyarakat, utamanya bagi pemilik golongan darah rhesus negatif yang jumlahnya sangat langka, yakni hanya 1 persen di Indonesia.
 
“Komunitas Rhesus Negatif Indonesia ini ada sejak 11 tahun lalu. Kami berpikir karena suatu saat pasti butuh, setelah tahu kami sama-sama rhesus negatif, kalau kurang (darahnya) siapa yang mau memberi,” kata Ketua Umum Komunitas Rhesus Negatif Indonesia Lici Murniati di Jakarta, Rabu.

Pada diskusi dalam rangka memperingati Hari Donor Darah Sedunia (HDDS) yang diikuti secara daring, dia mengatakan selain itu komunitas itu juga jadi wadah bagi semua untuk diskusi, saling membantu jika ada yang butuh darah rhesus negatif.
 
Rhesus adalah sistem penggolongan darah positif atau negatif setelah A, AB, B, dan O, dan di Indonesia, sebagian besar masyarakat memiliki golongan darah rhesus positif.

Baca juga: PMI anjurkan masyarakat jadikan donor darah sebagai gaya hidup

Baca juga: Ragam transformasi sambut Hari Donor Darah
 
Untuk mengetahui jenis golongan rhesus positif atau negatif ini, masyarakat perlu melakukan skrining atau pemeriksaan yang benar di Unit Donor Darah Palang Merah Indonesia (UDD PMI), tidak bisa hanya mengandalkan tes golongan darah yang hanya dilakukan sekali.
 
“Dulu kalau di sekolah, ada tes golongan darah A, B, AB, atau O, memang ada yang mencantumkan rhesusnya, tapi terkadang itu tidak akurat. Jadi kami di mengarahkan untuk cek 2-3 kali di laboratorium, beberapa lab yang menemukan kalau ada orang rhesus negatif juga biasanya langsung dikonfirmasi ke PMI sehingga terdata,” kata Lici.

Kolaborasi antara PMI dengan Komunitas Rhesus Negatif selama ini terjalin dengan baik, utamanya saat pandemi COVID-19 saat banyak sekali pasien yang membutuhkan donor plasma konvalesen.
 
“Saat ini kebutuhan rhesus negatif bisa lebih lega, di PMI pusat itu pasti ada stok, dapat donornya aktif sekali. Dulu kami selalu telepon, mengingatkan orang untuk donor, sekarang anggota komunitas kami sudah sadar, malah minta mendonor,” tutur dia.
 
“Saat COVID-19 permintaan plasma konvalesen meningkat tajam, waktu itu saya 24 jam penuh, jujur sampai pernah merasa beban karena dikasih power itu, apalagi melihat pasien COVID-19 yang lagi ngos-ngosan, saya jadi stres karena yang ini lagi perlu banget, tapi waktu itu kami sebisa mungkin terus koordinasi dan bantu, meski tidak semudah yang dibayangkan,” ujarnya.
 
Ia juga menekankan kepada rumah sakit agar tidak membebankan pencarian kebutuhan darah hanya pada pasien saja, tetapi juga memfasilitasi dan memberikan arahan untuk mengikuti prosedur sesuai dengan yang sudah diatur oleh PMI.
 
“Seharusnya RS ada prosedurnya juga, kalau butuh darah itu harus kirim sampel juga. Perlu nama pasien, rhesusnya apa. Itu RS yang punya, jangan sampai seperti kejadian yang sudah-sudah viral di media sosial dibutuhkan donor darah golongan ini, dengan rhesus ini, padahal di PMI itu sudah menyediakan, kalau diikuti sesuai dengan prosedur,” ujar dia.
 
Pada momen HDDS ini, Lici berharap akan semakin banyak orang yang sadar untuk donor darah. Utamanya di daerah, dan menjadikannya sebagai bagian dari gaya hidup demi menjaga kesehatan tubuh.
 
“Saya berharap semakin banyak orang yang sadar, terutama di daerah untuk donor darah, dan jadikan juga ini sebagai lifestyle agar lebih sehat,” tuturnya.*

Baca juga: Kepala UTD PMI Bali: Rhesus negatif lebih banyak dimiliki warga asing

Baca juga: PMI Rejang Lebong kesulitan dapatkan darah AB rhesus negatif

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2023