Hal itu terlihat dari kontradiksi yang dijumpai baik antarundang-undang atau internal undang-undang (UU) maupun antara UU dengan politik pembangunan yang menjadi acuannya,"
Yogyakarta, (ANTARA News) - Sejumlah undang-undang yang ada saat ini masih memiliki politik hukum "setengah hati" untuk mengakui keberadaan dan melindungi kepentingan kelompok marjinal di Indonesia, kata pakar hukum Universitas Gadjah Mada Prof Dr Nurhasan Ismail.

"Hal itu terlihat dari kontradiksi yang dijumpai baik antarundang-undang atau internal undang-undang (UU) maupun antara UU dengan politik pembangunan yang menjadi acuannya," katanya di Yogyakarta, Senin.

Padahal, menurut dia pada Dies Natalis Ke-67 Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM), sejumlah UU itu seharusnya menjadi wadah pemberian perhatian terhadap kelompok marjinal.

"Beberapa UU sebenarnya sudah mengadopsi ketentuan yang mengakui dan melindungi keberadaan dan kepentingan kelompok marjinal namun ketentuan yang akomodatif dan korektif tersebut dilemahkan atau bahkan dimatisurikan oleh politik akumulasi pendapatan," katanya.

Ia mencontohkan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, dan UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

"Ketiga UU yang dapat dijadikan dasar penguatan kelompok marjinal tersebut menjadi tidak bermakna apa pun karena dikalahkan oleh politik akumulasi pendapatan pemerintah atau pemerintah daerah yang sudah mengakar selama ini," katanya.

Ia mengatakan, ruang atas tanah baik di kota atau desa lebih memberikan dukungan terhadap politik akumulasi pendapatan jika diberikan penguasaan dan pemanfaatannya kepada pelaku usaha besar atau lokasi permukiman menengah dan mewah," katanya.

Selain itu ada juga UU yang memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap keberadaan dan kepentingan kelompok marjinal tetapi UU tersebut dikesampingkan karena nilai sosial yang melandasi dan prinsip hukum yang terumuskan di dalamnya dinilai bertentangan dengan nilai sosial dan prinsip hukum yang dianut oleh pemerintah dan pemerintah daerah.

"Pembangunan hukum Indonesia lebih memilih `berselingkuh` dengan prinsip hukum dari budaya hukum asing yakni kapitalis dan liberal seperti melalui UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria," kata Guru Besar FH UGM itu.

Menurut dia, DPR RI diharapkan tidak menjadi pelaku industri UU dengan produksi legislasi sebanyak-banyaknya, tetapi bagaimana menghasilkan UU yang secara konsisten memberikan perhatian terhadap semua kelompok khususnya kepentingan kelompok marjinal.

"Selain itu pemerintah dan pemerintah daerah hendaknya juga mengubah dasar pemikirannya bahwa mengentaskan dan melindungi kepentingan kelompok marjinal sama pentingnya dengan politik akumulasi pendapatan," katanya.

(B015/H008)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013