Tanjungpinang (ANTARA) - Akademisi hingga jurnalis membahas dampak perubahan iklim terhadap pulau-pulau kecil di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) melalui diskusi publik yang digelar di kampus Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) di Kota Tanjungpinang.

Rektor UMRAH, Agung Dhamar Syakti, menyampaikan dampak perubahan iklim sudah berada di depan mata dan mulai dirasakan oleh Kepri yang mayoritas terdiri pulau-pulau kecil.

"Kepri sangat rentan dampak perubahan iklim dan pemanasan global," kata Agung di Tanjungpinang, Jumat.

Menurutnya perubahan iklim yang paling jelas dirasakan saat ini, misalnya cuaca ekstrem dengan rentang waktu yang cukup lama.

Baca juga: Kampus UMRAH siapkan enam kelas mahasiswa penerima beasiswa PPG

Baca juga: Universitas Maritim bergolak, mahasiswa umumkan keadaan darurat


"Ini harus menjadi perhatian bersama, terutama bagi mahasiswa sebagai agen perubahan," kata Agung.

Wakil dari Pusat Penelitian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PPSPL UMRAH), Wahyudin, memaparkan fakta bahwa perubahan iklim sering dipahami masyarakat sebagai hal tidak nyata, padahal berbagai kajian ilmiah menyebutkan hal itu fakta.

"Setelah revolusi industri, peningkatan temperatur dari tahun 1800 sampai 2020 hampir menuju 1,5 derajat celcius," kata Wahyudin.

Wahyu menyebut dampak perubahan iklim saat ini yang amat dirasakan masyarakat di Kepri, khususnya di kawasan pesisir adalah kenaikan permukaan air laut dan gelombang laut yang kuat sehingga menyebabkan abrasi.

Menurutnya, manusia harus beradaptasi dalam kondisi apapun, termasuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.

Saat ini, kata Wahyudin, pesisir di Kepri sudah mulai rusak, tidak hanya disebabkan oleh alam itu sendiri tapi juga manusia.

"Lihat saja mangrove di Kota Batam, tampak jelas hanya sedikit yang tersisa," ujar Wahyudin.

Padahal, ujar dia, mangrove salah satu cara untuk mitigasi perubahan iklim, terutama menahan gelombang ombak yang kuat agar tidak terjadi abrasi.

Wahyudin turut menyampaikan kondisi karang yang ada di Kepri yang 132 ribu hektar dalam kondisi sedang.

"Artinya, perbanyak climate action seperti restorasi mangrove, karang, lamun dan ekosistem lainnya, tidak hanya menanam atau transpalasi, pastikan hidup atau tidak," ujar Wahyudin.

Sementara, Direktur Mongabay Indonesia, Ridzki Rinanto Sigit dari media lingkungan, mengutarakan beberapa dampak perubahan iklim sudah dirasakan di berbagai daerah dari laporan jurnalis Mongabay Indonesia.

Tidak hanya di Kepri, wilayah Indonesia lain pun terdampak. Jadi ancaman perubahan iklim ini nyata.

"Salah satu contoh, tenggelamnya Pulau Mensemut yang ada di Kepri. Saat ini informasi terakhir warga di sana harus mengungsi akibat perubahan iklim," ungkapnya.

Selain itu, dampak perubahan iklim juga berdampak kepada kedaulatan negara. Ketika pulau-pulau kecil di Kepri yang berada di daerah perbatasan hilang, garis wilayah bangsa ini akan berkurang.

"Ini harus menjadi perhatian bersama," kata Ridzki.

Saat ini isu perubahan iklim tidak banyak menjadi perhatian masyarakat. Penyebabnya pengetahuan perubahan iklim masih minim, sumber daya akses yang terbatas, dan perilaku manusia.

Maka dari itu, pentingnya tindakan nyata untuk menghadapi perubahan iklim ini, mulai dari menanam pohon mangrove, membuang sampah pada tempatnya dan aksi nyata lainnya.

"Sebelum mengubah orang lain, sebaiknya dimulai dari kita sendiri," kata Ridzki.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Tanjungpinang, Jailani mengatakan, diskusi publik ini diselenggarakan berkat kerja sama Mongabay Indonesia, AJI Tanjungpinang dan UMRAHn

"Setiap diskusi publik tentu berguna untuk meningkatkan daya kritis kita semua," kata Jai.

Selain Diskusi Publik, juga dilaksanakan penandatangan MoU antara UMRAH dan Mongabay Indonesia untuk saling bekerja sama dalam pengembangan pengetahuan isu lingkungan untuk publik.*

Baca juga: PBB sebut aksi dunia terhadap perubahan iklim masih menyedihkan

Baca juga: Salju abadi Puncak Jaya terus tergerus, KLHK: Kerugian besar bagi RI

Pewarta: Ogen
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2023