Jakarta (ANTARA) - Fenomena perubahan iklim semakin nyata di depan mata, mulai dari siklus musim yang berubah, hingga kemunculan berbagai penyakit yang membuat tanaman pangan kurang optimal berproduksi. Kondisi itu menjadikan sektor pertanian sulit berkembang.

Para ilmuwan terus berupaya menciptakan berbagai solusi untuk memenuhi kebutuhan pangan umat manusia di tengah ancaman krisis iklim tersebut, salah satunya melalui bioteknologi atau dikenal juga dengan rekayasa genetik.

"Rekayasa genetik bisa membuat yang tak mungkin menjadi mungkin, seperti mendapatkan tanaman jagung tahan pengerek batang," kata Peneliti Bioteknologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bahagiawati Amirhusin saat mengunjungi demplot jagung rekayasa genetik di Probolinggo, Jawa Timur, pada penghujung Mei 2023.

Rekayasa genetik adalah produk yang dibuat melalui teknologi DNA rekombinan atau sintesa DNA buatan dengan tujuan menghasilkan benih tanaman yang lebih unggul.

Kemunculan tanaman rekayasa genetik mampu memberikan manfaat ekonomi kepada para petani karena tanaman lebih adaptif terhadap perubahan suhu dan lingkungan, resistensi terhadap organisme pengganggu tanaman, serta kuantitas dan kualitas hasil yang lebih tinggi dari tanaman alami.

Kementerian Pertanian mencatat Indonesia memiliki 10 produk benih rekayasa genetik yang sudah terdaftar, yaitu delapan varietas jagung, satu varietas tebu, dan satu varietas kentang.

Produk benih rekayasa genetik itu juga telah memenuhi standar pemerintah dan beredar secara komersial.

Ancaman perubahan iklim yang berdampak signifikan terhadap sektor pertanian diharapkan bisa teratasi melalui produk rekayasa genetik tersebut.

Dengan demikian, Indonesia mampu mengejar target pertumbuhan produksi pertanian 3,5 persen per tahun guna memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang tumbuh 1 persen setiap tahun.

Teknologi adalah kunci yang harus dioptimalkan untuk mencapai kedaulatan pangan. Teknologi masa depan revolusinya berada pada gen.

Cara pemulihan tanaman sudah tidak lagi dengan cara konvensional dan monokuler yang membutuhkan waktu puluhan tahun. Kini pemulihan hanya butuh tiga sampai lima tahun, hal ini jauh lebih cepat dan efisien.

Di tingkat global, para ilmuwan telah mencapai tahap genom editing sebagai upaya mempercepat tujuan untuk menciptakan tanaman tahan kering dan mampu bertahan di dalam genangan air.


Petani untung

Keberadaan benih rekayasa genetik mampu memberikan keuntungan yang besar kepada para petani karena mereka tidak perlu memakai pestisida. Bahkan, rekayasa genetika juga bisa membuat tanaman tahan terhadap herbisida yang membuat lahan pertanian menjadi bersih dari gulma.

Ketua Kemitraan Strategis dan Advokasi Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Sidi Asmono mengatakan rekayasa genetik adalah teknologi 4.0 yang disukai para petani.

Contohnya, tanaman jagung hasil rekayasa genetik yang tahan hama dan tahan herbisida.

Apabila menyiangi lahan jagung yang menggunakan bibit alami membutuhkan dana sekitar Rp150.000 per hari, dengan rincian Rp100 ribu upah pekerja dan Rp50 ribu biaya makan, termasuk rokok.

Jika ditambah pestisida atau insektisida, maka biaya produksi yang harus dikeluarkan petani jagung alami bisa membengkak hingga Rp3 juta.

Sedangkan, lahan jagung rekayasa genetik hanya memerlukan dana sekitar Rp50 ribu untuk biaya herbisida dan pekerjaan penyemprotan bisa dilakukan secara mandiri. Jagung rekayasa genetika yang memiliki sifat tahan hama juga tidak perlu dilakukan penyemprotan pestisida maupun insektisida.

Hama pengerek batang mampu memangkas produksi jagung 25 sampai 50 persen. Ini angka kerugian yang sangat besar bagi para petani.
Arsip foto - Seorang petani memperlihatkan produk jagung hasil rekayasa genetik di Probolinggo, Jawa Timur, Rabu (24/5/2023). ANTARA/Sugiharto Purnama/aa.
Pilihannya adalah mengefisienkan proses produksi supaya ongkos produksi turun. Hama pengerek batang tidak ada membuat jagung menjadi utuh, maka itu tambahan pendapatan bagi petani.

Kini para petani kian melirik dan mulai beralih memanfaatkan benih rekayasa genetika seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang bioteknologi tanaman selama dua dekade terakhir.

Produk bioteknologi diharapkan bisa menjadi solusi dalam mengatasi berbagai persoalan masyarakat, terutama kebutuhan pangan yang secara konvensional belum mampu memberikan hasil yang optimal.


Mewujudkan target swasembada

Pemerintah Indonesia telah menetapkan target swasembada jagung nasional pada tahun 2024.

Berdasarkan data harmonisasi Kementerian Pertanian dengan Badan Pusat Statistik (BPS), angka produksi jagung di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.

Jumlah produksi jagung tercatat sebanyak 21,65 juta ton dengan luas panen 4,06 juta hektare pada 2018. Capaian produksi jagung kembali meningkat menjadi 22,58 juta ton dengan luas panen 4,08 juta hektare pada 2019.

Menurut data prakiraan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, jumlah produksi jagung kembali naik ke angka 22,92 juta ton dengan luas panen 4,10 juta hektare pada 2020.

Produksi jagung kembali mencatatkan angka yang terus tumbuh dengan capaian 23,04 juta ton dari lahan panen seluas 4,14 juta hektare pada 2021. Kemudian, jumlah produksi jagung naik signifikan menyentuh angka 25,18 juta hektare dari luas panen 4,49 juta hektare pada 2022.
Arsip foto - Seorang petani memperlihatkan produk jagung hasil rekayasa genetik di Probolinggo, Jawa Timur, Rabu (24/5/2023). ANTARA/Sugiharto Purnama/aa.
Kepala Pusat Pelindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian dari Kementerian Pertanian Leli Nuryati mengatakan pemerintah mendorong para petani untuk memakai benih jagung bioteknologi agar produksi terus naik, sehingga bisa mewujudkan target swasembada jagung dan menjadikan Indonesia sebagai negara eksportir jagung di masa depan.

Kalau produktivitas lebih tinggi, maka produksi lebih banyak dalam satuan luas yang sama. Itulah potensi untuk mendapatkan keuntungan di sektor pertanian dan bisa mendukung kedaulatan pangan di Indonesia.

Di Indonesia, rata-rata produksi jagung per hektare adalah 5 juta ton. Sementara itu, produk rekayasa genetik mampu menghasilkan jagung hingga 10 juta ton per hektare.

Jika seluruh lahan yang mencapai 4 juta hektare itu ditanami oleh jagung rekayasa genetika, maka bukan hal yang mustahil jumlah produksi jagung nasional bisa menembus angka 40 juta ton yang membuat Indonesia tidak perlu lagi impor jagung dari negara lain.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023