Sebagian besar, mayoritas kasusnya itu tawuran. Itu hampir semua tawuran
Jakarta (ANTARA) - Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas 1 Jakarta Barat mengungkapkan sejak tahun 2022 hingga 2023 terdapat 424 kasus dengan anak sebagai pelaku.

"Pada tahun 2022 total ada 329 kasus (kasus dengan anak sebagai pelaku). Untuk diversi (penyelesaian kasus di luar persidangan) ada 104 kasus dan lanjut persidangan 103 kasus," ungkap Kepala Bapas Kelas I Jakarta Barat, Sri Susilarti saat ditemui wartawan di Jakarta Barat, Senin.

Dari jumlah tersebut, kata dia, sisanya (122 kasus) permintaan integrasi dari lembaga pemasyarakatan (lapas).

Pada semester awal tahun 2023 ada 95 kasus. Dari 95 kasus tersebut ada 34 kasus yang diversi.

Kemudian, sampai Juli ini ada 18 kasus ke persidangan, tetapi yang baru ada 11 yang sampai Pengadilan.

"Jadi jumlah keseluruhannya dari 2022 sampai 2023 itu ada 424 kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku," katanya.

Baca juga: Polisi pastikan dua anggota geng tawuran di Jakbar positif narkoba

Dari 424 kasus tersebut, sudah ada 134 kasus yang berhasil diversi atau menempuh jalur mediasi (di luar persidangan). Mayoritas dari kasus-kasus tersebut adalah tawuran.

"Sebagian besar, mayoritas kasusnya itu tawuran. Itu hampir semua tawuran," ungkap Sri.

Dari pengakuan anak-anak yang ditangani pihaknya, ada beberapa pemicu yang kemudian menyebabkan mereka terlibat dalam kasus tawuran.

Yang pertama itu media sosial. Mereka itu kebanyakan ikut tawuran karena terpicu oleh ajakan yang mereka dapat dari media sosial.

"Ada live Instagram juga saat mau tawuran. Ada juga yang sampai buat grup khusus tawuran," ungkap Sri.

Baca juga: Polres Metro Jakbar gagalkan tawuran di Palmerah

Setelah itu, Sri melanjutkan, senioritas di antara anak-anak yang terlibat juga berpengaruh besar.

Mereka yang masih baru biasanya mencari pengakuan lewat membuktikan dirinya. Jadi senior-seniornya memprovokasi anak-anak yang masih labil ini, yang sedang mencari identitas lewat grup-grup media sosial tadi.

"Bahkan ada korban mereka yang sudah meninggal, tetapi tetap dilukai bagian kakinya untuk menandakan bahwa itu ulah mereka," ungkap dia.

Kemudian, kata dia, pemicu lainnya adalah kekurangan ruang di rumah para pelaku anak atau rumahnya terlalu kecil.

Baca juga: Pemkot Jakbar gelar program "Keluarga Remaja" untuk cegah tawuran

Jadi, kata dia, mereka seperti mencari ruang berekspresi begitu. Salah satunya dengan cara yang salah, yakni tawuran.

"Ya, misalnya, rumahnya sempit dan anggota keluarganya banyak. Jadi mereka kadang gantian tidur sama anggota keluarga yang lain. Jadinya pas malam mereka berkeliaran yang kemudian berujung tawuran," ungkap dia.

Sebagai evaluasi, dia mengatakan, orang tua dan keluarga adalah filter utama dan pertama.

Orang tua dan keluarga terdekat itu mesti menjadi filter dan pengawas yang paling utama dan pertama. "Dalam hal ini mengawasi pergaulan dan perilaku anak, entah dalam berteman, bermedia sosial, sekolah dan sebagainya," ungkap dia.

Untuk beberapa anak yang terlibat kasus, orang tua mereka ada yang tidak peduli bahkan tidak mengakui bahwa mereka (anak yang terlibat kasus) itu anak mereka (orang tua), sehingga tidak pernah berkunjung.

"Ini seharusnya menjadi keprihatinan orang tua juga, karena walau bagaimanapun, anak-anak itu tanggung jawab orang tua," ungkap dia.

Baca juga: Polisi pulangkan 11 siswa yang ingin tawuran di Jakbar

Selain itu, ungkap dia, lingkungan sekitar seperti RT/RW juga menjadi pengawas anak-anak. Begitu juga dengan sekolah.

"Harus ada kesadaran bahwa masalah yang melibatkan anak sudah banyak terjadi sehingga mesti menjadi fokus dari pola pengawasan dan pendidikan," ungkap dia.

Ia menekankan bahwa anak bermasalah hukum itu menjadi tanggung jawab bersama.

Sekarang sudah tidak ada lagi istilah "anak negara", seperti sebelumnya. "Jadi anak bermasalah hukum itu tinggal dilepas ke negara. Itu sudah harus menjadi tanggung jawab kita bersama," ungkap dia.
 

Pewarta: Redemptus Elyonai Risky Syukur
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2023