Manado (ANTARA News) - Situasi utang Indonesia setelah krisis memang cukup mengkuatirkan, sehubungan dengan besarnya yang pernah lebih dari 100 persen Produk Domestik Bruto (PDB), serta komposisi utang luar negeri cukup besar sekitar 75 persen. Posisi tersebut cukup merisaukan, sebab adanya potensi gangguan finansial global-internasional yang akan merembes ke dalam fiskal Indonesia melalui peningkatan suku bunga yang harus dibayar pemerintah melalui APBN, kata Dr Ir. Djamester A Simarmata, dalam makalahnya "Sustenabilitas Fiskal Indonesia" yang dibagi-bagikan pada peserta Kongres XVI ISEI, Selasa, di Manado, Sulawesi Utara. Menurut Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu, pada tingkat terakhir situasi hutang tersebut akan meningkatkan beban pajak masyarakat luas. Memang defisit anggaran pemerintah menunjukan penurunan secara kontinu, tetapi stok utang masih tetap tinggi. Walau menurut kriteria Uni Eropa bahwa Indonesia dapat memenuhi kriteria, dimana untuk tahun 2005 tingkat utang pemerintah hanya 45 persen PDB, yang tidak lebih 60 persen. Satu kesimpulan penting ialah bahwa standarisasi kriteria ala Uni Eropa ternyata tidak tepat, sebab sustenabilitas utang satu negara dapat berbeda jauh dengan negara lain, yang ditentukan oleh sederet karakteristik dan besaran fundamental ekonomi negara bersangkutan. Pada bagian lain makalahnya, Simarmata mengingatkan utang luar negeri mempunyai konsekuensi lebih kompleks dari hutang dalam negeri, sebab terkait perubahan nilai tukar riil (RER), berarti dengan lingkungan ekonomi internasional. Namun demikian, bukan berarti utang dalam negeri bisa dibuat tanpa batas, karena tetap dapat menimbulkan efek negatif bagi ekonomi, seperti `crowding out effects`. Sesuai data menunjukan bahwa sampai posisi bulan Januari 2006 tercatat utang pemerintah sebesar Rp1453,760 triliun dan utang swasta Rp563,220 triliun. Melanggar rasio Beberapa kesimpulan disampaikan dalam makalahnya, antara lain bahwa deretan fakta dan kajian menuntut adanya sistem pengelolaan utang lebih sesuai untuk mencapai sustenabilitas tinggi. Kebiasaan lama yang hanya menyatakan satu angka rasio antara utang dengan PDB, ternyata tidak sesuai dengan kajian teoritis yang telah digunakan menganalisa pengalaman beberapa negara Uni Eropa sesuai dengan tuntutan Pakta Stabilitas dan Pertumbuhan. Pakta telah menetapkan tingkat desifit negara anggota tidak lebih dari tiga persen PDB, serta tingkat utang harus lebih rendah dari 60 persen PDB. Untuk negara berkembang, IMF menentukan bahwa ambang batas yang sehat tingkat utang adalah 40 persen PDB, sedangkan kelompok penulis Reinhart et al (2003) hanya memberi batas 15 persen PDB, dua rasio tersebut telah dilanggar di Indonesia. Kongres XVI Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dihadiri sekitar 1000 peserta utusan dari daerah-daerah se Indonesia, dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 18 Juni 2006 dan direncanakan sore nanti (19/6) akan ditutup Wakil Presiden. M. Jusuf Kalla (*)

Copyright © ANTARA 2006