Semarang (ANTARA) -
Laku
Laku
Laku
Laku
Laku
Luka


Puisi eksperimen yang pernah dimuat majalah sastra Horison beberapa puluh tahun lalu itu bisa menggambarkan betapa ujaran kebencian yang berulang-ulang diunggah di jagat digital itu laku atau disukai banyak warganet. Ujaran tersebut seolah memuaskan sentimen terhadap subjek atau objek tertentu yang tidak disukainya.

Namun di sisi lain, ujaran kebencian tersebut menggoreskan luka, borok yang bisa bermetamorfosis menjadi sebuah energi untuk balas dendam tak berkesudahan.

Lanskap percakapan polemis dan saling menyerang seperti itulah yang kerap menyeruak di jagat digital, terutama melalui media sosial.

Intensitasnya kian tinggi menjelang hajatan politik, semacam pilkada, pemilu, dan pilpres. Begitu banyak isu, termasuk olahraga dan hobi seseorang, yang mereka seret ke arena pertarungan politik.

Media sosial memang merupakan lahan paling subur untuk menanam dan merawat politik belah bambu. Sisa-sisa perseteruan sengit pada Pemilu Presiden 2014 dan 2019 hingga kini masih terbaca jelas.

Sebagian sosok-sosok lama--yang oleh sebagian warganet dijuluki pendengung (buzzer)--tidak meninggalkan cara-cara usang untuk membelah warganet. Polemik Jakarta International Stadium (JIS) merupakan etalase yang terpampang jelas bagaimana politik belah bambu itu digerakkan.

Menenggelamkan dalam-dalam sosok yang dianggap berseberangan dengan tokoh yang didukung, sekaligus menjulangkan tinggi-tinggi idolanya. Melalui narasi teks, foto, video, dan grafis, kedua pihak hanya mau melihat dari satu sisi.

Perseteruan dalam Pilpres 2014 dan 2019 seharusnya lebih mendewasakan para pendukung fanatik para bakal Capres 2024. Para pendengung yang memiliki pengikut banyak seharusnya menyadari kekeliruan, bahkan dosa-dosa pada masa lalu.

Alih-alih mengubah strategi politik belah bambu, yang terlihat mereka tetap merawat cara-cara niradab yang hanya menghasilkan tepuk tangan panjang di kubunya, namun menyisakan luka di pihak lain. Luka itu lalu menjadi energi untuk balas dendam. Walhasil, polemik tak berkesudahan dan sisa-sisa luka menjadi energi yang sewaktu-waktu akan meletus.


Adu gagasan

Dengan modal followers banyak, pendengung dan pemengaruh sebenarnya bisa menebus kesalahan pada dua pilpres sebelumnya dengan mengajak para bakal capres beserta tim suksesnya mulai memasarkan gagasan-gagasannya untuk kemajuan bangsa Indonesia ke depan.

Masih banyak tantangan yang harus diselesaikan pemimpin terpilih pada Pilpres 2024. Modal bonus demografi tidak boleh hanya berhenti menjadi potensi, tetapi harus dikelola menjadi kebijakan-kebijakan operasional yang membawa kesejahteraan bersama.

Di tengah potensi bonus demografi tersebut, masalah pengangguran begitu nyata di tengah pergeseran dunia kerja di berbagai lini, yang kian terancam pula oleh determinasi kecerdasan buatan atau AI.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa hingga Februari 2023 jumlah pengangguran sebanyak 7,99 juta orang. Angka tersebut memang menurun 410 ribu orang dibanding Februari 2022 yang tercatat sebanyak 8,40 juta orang. Akan tetapi, itu tetap jumlah yang amat besar.

Oleh karena itu, persoalan tersebut lebih layak dijadikan isu oleh para pemengaruh dan pendengung ketimbang mengorek tak berkesudahan sisi negatif lawan dari idolanya sembari terus mengangkat tinggi-tinggi capaian idolanya pada masa lalu.

Jejak rekam memang penting. Namun, masa depan membutuhkan pemikiran-pemikiran visioner yang bisa diwujudkan dalam bentuk kebijakan konkret sesuai kebutuhan rakyat.

Masalah lain yang perlu dituntaskan adalah kepastian hukum. Aparat hukum beserta institusinya harus mampu membuktikan bahwa penegakan hukum memang tidak pandang bulu, tidak tajam ke bawah tumpul di atas. Dalam penanganan kasus-kasus korupsi, misalnya, aroma-aroma kurang sedap masih menguar di tengah khalayak.

Jangan sampai masalah tersebut tidak dituntaskan karena akan menjadi "bahan bakar" untuk menyulut polemik hingga pertikaian di media sosial.

Di luar masalah pengangguran dan penegakan hukum, masih banyak tantangan penting yang harus dijawab dengan bernas oleh bakal capres, misalnya, di bidang pendidikan, pertumbuhan berkelanjutan, kesehatan, lingkungan, hankam, hingga ketahanan pangan.

Oleh karena itu betapa pentingnya bakal capres yang ada sekarang ini mulai membuka lalu memasarkan ide-idenya dalam membawa Indonesia pada 5 tahun ke depan. Gagasan-gagasan yang kelak menjadi cetak biru dalam memimpin negara dan bisa menjadi panduan pemilih menentukan calonnya.

Sudah saatnya ajakan-ajakan memilih yang didasarkan adanya kedekatan primordial calon dengan pemilih itu dikikis, digantikan dengan tawaran-tawaran kebijakan yang memang berorientasi pada kesejahteraan dan rasa aman.

Masa kampanye Pilpres 2024 memang masih lama, namun sama sekali tidak ada salahnya bila para bakal capres mulai menjajakan diri dengan menyuguhkan gagasan-gagasannya kepada masyarakat.

Memperdebatkan ide para calon pemimpin-- sekeras apa pun--jauh lebih bermartabat dan mencerahkan publik dibanding dengan memperbincangkan hal-hal primordial dari para calon.

Ide-ide yang disampaikan lebih dini, itu juga menunjukkan kapasitas sekaligus kesiapan dirinya menjadi pemimpin negara besar bernama Indonesia.

Dengan menempuh cara-cara elegan tersebut, maka politik lebih dari sekadar siapa dapat apa, apa yang diperoleh, kapan, dan bagaimana cara mendapatkannya, seperti disampaikan ilmuwan Harold Lasswell.

Politik pun tak hanya dipahami sebagai upaya mencari kekuasaan lalu mempertahankannya, meski sebagian besar yang rakyat saksikan dari hiruk pikuk hingga hari ini, politik memang tidak lebih dari itu.

Dengan kekuasaan yang begitu menentukan nasib banyak orang sebuah bangsa, politikus mengemban amanat mulia: Mewujudkan kesejahteraan setiap anak bangsa dengan segala dimensinya.

Oleh karena itu pula, menempuh cara-cara bermartabat, termasuk di jagat digital dalam merengkuh kekuasaan, merupakan keniscayaan demi membangun kesejahteraan dan peradaban bangsa.




Copyright © ANTARA 2023