Ideologi politik yang mendukung pandangan politik tertentu itu dapat mempengaruhi penafsiran Al Quran menjadi bias
Surabaya (ANTARA) - Doktor baru di bidang Ilmu Al Quran dan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA) Dr. Ahmad Nabilul Maram menemukan bahwa ideologi politik dapat mempengaruhi tafsir Al Quran menjadi bias.

"Ideologi politik yang mendukung pandangan politik tertentu itu dapat mempengaruhi penafsiran Al Quran menjadi bias," katanya dalam Ujian Terbuka Program Doktor Pasca Sarjana UINSA Surabaya yang menghasilkan predikat 'cumlaude' (lulus dengan pujian) di kampus setempat, Jumat.

Dalam ujian terbuka yang dengan pimpinan sidang Prof.Masdar Hilmi serta promotor Prof. Dr. Ridlwan Nasir, M.A., dan Prof. Dr. Husein Azis M.Ag., itu, promovendus yang sempat studi S2 di Sudan itu meneliti pengaruh Tafsir al-Tawhidi dari Hasan al-Turabi dalam membentuk pemikiran dan orientasi politik di Sudan.

"Tafsir yang menekankan peran Islam dalam politik (Islam politik) itu memiliki lima pengaruh yakni selektif pada ayat-ayat yang mendukung pandangan politik tertentu dan mengabaikan penafsiran yang berbeda, mengabaikan realitas sosial dan historis dalam tafsir, mempromosikan satu pandangan dominan dalam tafsir, meningkatkan politisasi agama untuk tujuan politik, dan memunculkan konflik dalam tafsir," katanya.

Namun, kata putra pengasuh Pesantren Mahasiswa An-Nur, Wonocolo, Surabaya, Prof. Dr. K.H. Imam Ghazali Said M.A., itu, subjektivitas penafsiran dalam nalar politik itu bukan hanya negatif, melainkan juga bermakna positif yakni agama tidak menjadi urusan individual atau religius semata, melainkan juga menjadi urusan publik, sehingga peran agama sebagai landasan nilai dalam ketatanegaraan.

"Sebenarnya, Tafsir al-Tawhidi dari Hasan al-Turabi itu menekankan pada penafsiran Al Quran dengan Al Quran, namun pandangan politik dalam Islam (Islam politik) yang dinilai positif dalam mendorong peran agama pada tataran publik itu justru menjebaknya dalam subjektivitas penafsiran atau tafsir yang bermakna negatif," katanya.

Ditanya penguji untuk menghindari subjektivitas penafsiran itu, Ahmad Nabilul Maram yang merupakan doktor termuda (29) di UINSA itu menyatakan cara menghindari subjektivitas penafsiran yang berlebihan adalah kembali kepada aspek kebahasaan dengan menyesuaikan atau menjaga keseimbangan dengan realitas sosial/masyarakat.

"Metode tawhidi yang dikembangkan Hasan al-Turabi dalam penafsiran Al Quran itu layak diapresiasi untuk mendorong Al Quran dalam tataran publik (non-invidual), namun perlu kehati-hatian dan upaya pembandingan dengan metode penafsiran yang berbeda agar terhindari dari subjektivitas yang politis," katanya.

Baca juga: Unhas dan Universiti Teknologi Malaysia kolaborasi penelitian
Baca juga: Dosen Kebidanan UYM raih gelar Doktor Ilmu Kesehatan FKM UI
Baca juga: BRIN pastikan perpindahan alat-alat penelitian berjalan lancar

Pewarta: Willi Irawan
Editor: Sambas
Copyright © ANTARA 2023