Jakarta (ANTARA) - Kebijakan subsidi energi Indonesia bertujuan untuk menjaga harga energi tetap stabil dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.

Dengan menahan harga energi di bawah harga pasar, ini memungkinkan masyarakat berpenghasilan rendah mengakses energi yang tidak mampu mereka beli. Inilah wujud upaya pemerintah memudahkan warga memenuhi kebutuhannya.

Salah satu masalah di Indonesia adalah orang-orang kaya juga menikmati akses BBM bersubsidi, karena lemahnya sistem pengawasan pemerintah.

Saat Indonesia menaikkan harga BBM nonsubsidi, seperti Pertamax Plus dan Pertamax, sebagian besar konsumen langsung beralih ke Pertalite. Tidak adanya persyaratan khusus pembelian BBM bersubsidi membuat masyarakat menengah ke atas mudah mengaksesnya.

Masyarakat kaya dengan daya beli yang lebih besar dapat mengakses manfaat subsidi energi lebih banyak.

Berdasar realitas goncangan ekonomi global dan harga minyak dunia dengan tren meningkat, membuat pemerintah mengambil kebijakan untuk terus meringankan beban masyarakat dengan menambah anggaran subsidi.

Subsidi ini digunakan agar masyarakat tetap dapat memperoleh harga BBM dan listrik dengan harga terjangkau.


Reformasi subsidi

Subsidi berasal dari dana APBN, yang sebagian besar diambil dari uang pajak masyarakat, jadi harus digunakan juga untuk kesejahteraan rakyat.

Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan reformasi subsidi untuk memastikan subsidi energi ini tepat sasaran dan diberikan untuk melindungi masyarakat, terutama dari kalangan menengah ke bawah.

Pemerintah pun terus berupaya memperbaiki kebijakan subsidi energi yang pada prinsipnya adalah memastikan subsidi tersebut tepat sasaran.

Indonesia sudah beberapa kali melakukan reformasi subsidi energi. Misalnya di tahun 2015, pemerintah menghapus subsidi BBM premium, subsidi tetap untuk solar dan menghapus 12 golongan pelanggan listrik dari daftar penerima subsidi.

Hasil dari reformasi subsidi energi pada 2015 membuat APBN memiliki ruang fiskal untuk mengalihkan subsidi energi ke bantuan masyarakat.

Reformasi subsidi energi yang dilakukan pada tahun tahun 2015 telah mengalihkan belanja konsumtif ke belanja produktif, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

Reformasi subsidi energi juga harus diikuti dengan upaya menghadirkan alternatif bagi sektor-sektor yang terkena dampak. Upaya tersebut, antara lain pengembangan jaringan gas kota, pembangkit listrik energi terbarukan, dan kendaraan listrik.

Kebijakan ini juga akan mendorong masyarakat untuk mempelajari harga energi yang sebenarnya dan mulai mengubah gaya hidup mereka agar lebih bijak dan tidak boros dalam menggunakan energi.

Pada saat yang sama, industri juga harus mendorong efisiensi energi dalam bisnis, yang akan membantu memastikan bahwa perubahan subsidi energi berdampak kecil pada kegiatan bisnis mereka.

Reformasi subsidi energi juga terjadi di negara-negara yang kaya minyak, yang dikenal sebagai kawasan MENA (Timur Tengah dan Afrika Utara), dengan problematik yang hampir sama dengan Indonesia, yakni soal ketepatan kelompok sasaran.

Sistem kesejahteraan sosial kawasan MENA terbilang minim, itu sebabnya harga energi bersubsidi terus menjadi jaring pengaman sosial yang penting, meskipun sangat mahal dan tidak efisien.

Di negara-negara penghasil minyak dan gas kawasan MENA, harga energi yang rendah juga secara historis membentuk elemen penting dari kontrak sosial tidak tertulis, di mana pemerintah telah mengekstraksi kekayaan hidrokarbon.

Reformasi sistem harga energi di kawasan MENA, merupakan proses yang kompleks, terkait distribusi minyak, gas dan listrik, beserta infrastruktur yang menyertainya.

Di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, langkah-langkah untuk mereformasi harga energi, jika tidak disertai dengan langkah-langkah mitigasi yang tepat (seperti sistem keamanan sosial yang lebih efektif dan transparan), berdampak buruk pada pendapatan yang dapat dibelanjakan kelompok rentan.

IEA menemukan bahwa 17 dari sampel 40 negara menghabiskan lebih dari dua persen PDB mereka untuk subsidi energi konsumen pada tahun 2017. Seperti di Malaysia dan Indonesia, pengeluaran pemerintah untuk subsidi melebihi program dan layanan sosial.

Sementara India memiliki fenemona yang berbeda, pemerintah memutuskan untuk mempertahankan subsidi untuk penambangan batu bara dan aset batu bara yang terdampar meskipun batu bara menjadi semakin tidak kompetitif.

Negara-negara G20, misalnya, telah mengumumkan bahwa mereka akan menghapus subsidi yang tidak efisien setiap tahun sejak 2009, dan reformasi subsidi secara eksplisit dinyatakan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) tentang konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab.

Namun subsidi tetap ada. Merujuk temuan IISD (International Institute for Sustainable Development) bahwa tidak semua negara G20 yang berada di jalur yang tepat untuk mencapai komitmen penghentian subsidi bahan bakar fosil mereka.

G20 memiliki peran penting dalam perubahan iklim. Dunia melihat kelompok ini dalam arus besar dekarbonisasi, dengan melakukan transisi energi dan mereformasi aspek subsidi. Hal ini merupakan sesuatu yang kompleks. Karena semua tahu subsidi itu melekat ke masyarakat sehingga sulit dihapus begitu saja.


Kontribusi Pertamina

Kendati kampanye transisi energi semakin kencang belakangan ini, posisi minyak bumi sebagai energi fosil masih strategis.

Minyak bumi adalah sumber energi utama yang digunakan di seluruh dunia. Sebagian besar transportasi dan industri bergantung pada minyak bumi sebagai bahan bakar.

Sektor minyak bumi juga memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi di banyak negara. Ekspor minyak bumi dapat memberikan pendapatan atau devisa besar, seperti Indonesia di era 1970-an.

Dari sisi geopolitik, ketersediaan dan akses terhadap minyak bumi dapat berdampak besar dalam hubungan internasional. Negara-negara yang memiliki cadangan minyak bumi yang melimpah, acapkali memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang signifikan, termasuk berdampak positif bagi kesejahteraan rakyat.

PT Pertamina (Persero) sepanjang tahun 2022 telah menyalurkan 61,37 juta kiloliter BBM bersubsidi, baik Pertalite maupun solar. Realisasi penyaluran ini lebih rendah dari perkiraan di awal tahun yang dialokasikan 62,26 juta kiloliter.

Bagi Pertamina, realisasi volume penyaluran BBM bersubsidi yang di bawah perkiraan ini menunjukkan keberhasilan perusahaan milik negara itu menyalurkan BBM bersubsidi lebih tepat sasaran.

Langkah Pertamina menyalurkan melalui verifikasi MyPertamina dan digitalisasi SPBU mampu menurunkan volume BBM bersubsidi.

Secara total penurunan satu persen ini akan berdampak signifikan pada APBN sebagai pengampu dana subsidi. Diarapkan ke depan BBM bersubsidi bisa semakin tepat sasaran. Pertamina berkomitmen untuk menyalurkan BBM sesuai kebutuhan masyarakat.

Realisasi volume penyaluran ini sesuai dengan penurunan anggaran subsidi BBM pada tahun lalu.

Data Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) mencatat realisasi subsidi energi pada 2022 mencapai Rp 157,6 triliun. Realisasi ini lebih rendah dari yang dianggarkan pemerintah sebesar Rp 211,1 triliun.

Dari realisasi tersebut, untuk subsidi BBM dan LPG menyedot Rp 97,8 triliun. Sedangkan pada 2023 pemerintah menganggarkan RP 209,9 triliun untuk subsidi energi. Khusus untuk subsidi BBM dan LPG, pemerintah memperkirakan butuh Rp 139,4 triliun.

Kementerian ESDM mencatat pada tahun 2022 memang terjadi penurunan realisasi subsidi energi. Kondisi harga minyak dunia yang melambung tinggi di awal 2022 memaksa pemerintah mengubah alokasi subsidi energi. Namun, faktanya di kuartal ketiga dan keempat 2022, justru pergerakan harga minyak dunia menurun, disusul dengan nilai tukar rupiah yang menurun juga.

"Terutama penurunan ini, kita lihat di BBM, dan elpiji ini tidak separah seperti yang kita perkirakan sebelumnya. Karena pada 2022 asumsi harga minyak mentah kita yang tadinya tinggi, ternyata menjelang kuartal tiga dan empat terjadi penurunan,” kata Menteri ESDM.


*) Dr Taufan Hunneman adalah Dosen UCIC, Cirebon

 

Copyright © ANTARA 2023