Ultimatum telah berakhir. Kami akan kembali perang."
Libreville (ANTARA News) - Pemberontak Afrika Tengah hari Rabu menyatakan akan memulai lagi pertempuran setelah batas waktu yang diberikan kepada pemerintah untuk memenuhi tuntutan mereka sesuai dengan perjanjian perdamaian berakhir.

"Ultimatum telah berakhir. Kami akan kembali perang," kata Kolonel Djouma Narkoyo, salah seorang pemimpin militer pemberontak, kepada AFP.

Menurut perwira itu, kelompok pemberontak Seleka kini menggunakan strategi baru.

Perjanjian perdamaian pada Januari antara kedua pihak rapuh dan diwarnai ketidakpercayaan, dan pemberontak mengancam menarik diri dari perjanjian pembagian kekuasaan jika tuntutan mereka tidak dipenuhi.

Minggu, pemberontak menyatakan, mereka tidak akan menarik pasukan kecuali jika pemerintah membebaskan tahanan-tahanan politik dan pasukan Afrika Selatan meninggalkan negara itu.

Mereka juga menarik lima menteri yang menjadi bagian dari pemerintah persatuan dari jajaran pemberontak setelah perjanjian perdamaian dan memberi pemerintah waktu hingga Rabu untuk memenuhi tuntutan mereka.

Seleka, yang berarti "aliansi", menandatangani sebuah pakta perdamaian pada 11 Januari dengan pemerintah Presiden Francois Bozize di ibu kota Gabon, Libreville.

Perjanjian yang ditengahi oleh para pemimpin regional itu menetapkan pemerintah baru persatuan nasional, yang telah dibentuk dan kini dipimpin oleh seorang anggota oposisi, Nicolas Tiangaye, dan mencakup anggota-anggota Seleka.

Perjanjian itu mengakhiri ofensif sebulan Seleka yang dengan cepat menguasai wilayah utara dan berhenti antara lain berkat intervensi militer Chad sebelum pemberontak itu menyerbu Bangui, ibu kota Republik Afrika Tengah.

Seleka, sebuah aliansi dari tiga kelompok bersenjata, memulai aksi bersenjata mereka pada 10 Desember dan telah menguasai sejumlah kota penting di Republik Afrika Tengah. Mereka menuduh Presiden Francois Bozize tidak menghormati sebuah perjanjian 2007 yang menetapkan bahwa anggota-anggota yang meletakkan senjata mereka akan dibayar.

Presiden Francois Hollande telah menyatakan bahwa pasukan Prancis tidak akan ikut campur dalam urusan internal negara bekas koloninya itu.

Prancis menempatkan 250 prajurit di Republik Afrika Tengah, yang bermarkas di bandara Bangui, untuk misi pemeliharaan perdamaian, kata kementerian pertahanan.

Para perwira militer Prancis bertindak sebagai penasihat untuk militer Republik Afrika Tengah, dan Paris pada masa silam membantu mendukung atau menggulingkan pemerintah di negara tersebut.

Namun, Prancis, yang memiliki pakta pertahanan resmi dengan Republik Afrika Tengah sejak 1960, semakin enggan terlibat langsung dalam konflik-konflik di negara bekas jajahannya itu. (M014)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013