Jakarta (ANTARA) - Warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi salah satu korban perdagangan orang (TPPO) mengungkap kesaksiannya dan modus jaringan yang kerap merekrut orang-orang Indonesia untuk melakukan penipuan daring (online scamming) di negara lain.

Dalam sebuah seminar di Yogyakarta, Jumat, korban yang tak ingin disebutkan namanya itu mengatakan bahwa dia terjerat dalam pekerjaan penipuan daring setelah mendapat tawaran dari rekannya untuk bekerja sebagai telemarketing di sebuah perusahaan di Dubai, Uni Emirat Arab (UAE) dengan gaji 800 dolar AS (Rp12 juta).

Meskipun sempat ragu, ia memutuskan untuk berangkat karena tergiur dengan iming-iming kawannya yang sudah lebih dulu berangkat dan bekerja di perusahaan tersebut.

“Dia bilang (kerjanya) enak, kerjanya sebagai telemarketing di bidang kecantikan dan digaji 800 dolar AS dengan kontrak enam bulan” kata dia.

Setelah mendapatkan paspor, korban kemudian mendapatkan informasi bahwa dia tidak akan bekerja di Dubai melainkan di Thailand. Meski demikian, korban memutuskan untuk tetap berangkat karena mengaku tak enak hati dengan kawannya.

Sesaat setelah tiba di Bangkok, dia dijemput oleh beberapa orang yang berbeda-beda mulai dari keluar pesawat hingga keluar bandara.

Setelah itu, korban ditinggalkan di sebuah hotel dan tidak diperbolehkan keluar hotel selama tiga hari.

Tiga hari kemudian, korban mengatakan mendapatkan tiket pesawat untuk terbang menuju wilayah perbatasan Thailand dan Myanmar di Mae Sot.

Setelah dibawa berputar-putar melewati distrik Mae Sot sampai harus menaiki perahu, korban tiba di sebuah kawasan di mana dia melihat orang-orang bersenjata dan mengenakan baju tentara.

Setelah tiba di sebuah bangunan yang menjadi lokasi perusahaan penipuan daring, paspor korban dirampas.

“Di situ saya berantem dengan teman saya yang mengajak saya ke sini. Dia bilang kalau dia juga terkena tipu … kamu tidak bisa pulang … kalau mau pulang harus memberikan uang tebusan Rp110 juta,” ujarnya.

Selama di sana, dia juga mengaku tidak mengetahui pekerjaan apa yang harus dia kerjakan. Korban hanya diinstruksikan untuk mengumpulkan nomor sebanyak-banyaknya dan mengirimkan pesan berupa tautan atau link ke nomor-nomor tersebut.

“Jadi ketika kita klik link-nya, semua yang ada di dalam ponsel kita bisa pindah ke mereka,” ungkapnya.

Dia juga mengungkapkan bahwa korban dituntut untuk bekerja selama 18 jam dalam sehari mulai pukul 11.00 pagi hingga 04.00 dini hari.

Korban mengatakan bersyukur karena bisa terlepas dari perusahaan penipuan daring itu dan mendapatkan perlindungan, penanganan rehabilitasi hingga pendampingan hukum dari negara.

Sementara itu, Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha mengatakan banyak perusahaan penipuan daring yang sengaja merekrut WNI untuk menipu sesama WNI.

Oleh karena itu, salah satu persyaratan yang diminta oleh mereka adalah kemampuan berbahasa Indonesia. Mereka juga biasanya beroperasi di daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh pemerintah.

Judha juga mengungkap adanya kecenderungan WNI untuk mengajak WNI lainnya bekerja dalam penipuan daring karena mereka dijanjikan bonus oleh perusahaan.

Hingga saat ini, Judha melaporkan sudah ada lebih dari 2.400 kasus penipuan daring yang melibatkan WNI yang telah ditangani Kementerian Luar Negeri.

Namun, Judha mencatat dari jumlah tersebut sebagian di antara mereka malah berangkat lagi ke luar negeri dan bekerja di jenis perusahaan yang sama.

“Jadi betapa kompleksnya kasus TPPO jenis penipuan daring ini karena batasan antara korban dan yang bukan korban semakin buram,” kata Judha.

Dalam upaya menangani kejahatan perdagangan orang, Pemerintah Indonesia sudah membentuk Satgas Tindak Pidana Perdagangan Orang pada Juni lalu. Satgas itu dibentuk di setiap Polda dan berada di bawah naungan Bareskrim Polri.

Baca juga: Ada lebih 2.400 kasus WNI korban perdagangan orang dalam dua tahun
Baca juga: Cegah TPPO, Imigrasi Palembang tolak ratusan permohonan paspor
Baca juga: Imigrasi perketat "profiling" pemohon paspor demi cegah TPPO


Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2023