Sesuai pedoman dan standar halal yang dimiliki MUI, MUI tidak menetapkan kehalalan produk yang menggunakan nama yang terasosiasi dengan yang haram. Hal ini termasuk dalam hal rasa, aroma, dan kemasan seperti wine
Jakarta (ANTARA) - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh menegaskan pihaknya tidak pernah menetapkan kehalalan produk wine yang diproduksi jenama Nabidz.

"Sesuai pedoman dan standar halal yang dimiliki MUI, MUI tidak menetapkan kehalalan produk yang menggunakan nama yang terasosiasi dengan yang haram. Hal ini termasuk dalam hal rasa, aroma, dan kemasan seperti wine," ujar Asrorun Niam di Jakarta, Rabu.

Sebelumnya ramai di jagat media sosial terkait dengan produk wine yang diproduksi jenama Nabidz. Mereka mengklaim telah mendapatkan sertifikat halal untuk produk wine.

Niam menjelaskan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standardisasi Fatwa Halal menyebutkan empat kriteria penggunaan nama dan bahan.

Pertama, tidak boleh mengkonsumsi dan menggunakan nama dan/atau simbol-simbol makanan/minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan.

Kedua, tidak boleh mengkonsumsi dan menggunakan nama dan/atau simbol-simbol makanan/minuman yang mengarah kepada nama-nama benda/binatang yang diharamkan terutama babi dan khamr, kecuali yang telah mentradisi dan dipastikan tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan seperti bakso, bakmi, bakwan, bakpia, dan bakpao.

Baca juga: Hati-hati banyak makanan olahan gunakan label halal tanpa legalitas

Ketiga, tidak boleh mengkonsumsi dan menggunakan bahan campuran bagi komponen makanan/minuman yang menimbulkan rasa/aroma (flavour) benda-benda atau binatang yang diharamkan seperti mie instan rasa babi, bacon flavour, dan lain-lain.

Keempat, tidak boleh mengkonsumsi makanan/minuman yang menggunakan nama-nama makanan/minuman yang diharamkan seperti whisky, brandy, beer, dan lainnya.

"Apalagi jika prosesnya melibatkan fermentasi anggur dengan ragi, persis seperti pembuatan wine," katanya.

Selain itu, kata dia, yang juga perlu menjadi perhatian, khusus untuk produk minuman, adalah kadar alkohol atau etanol dalam minuman.

Fatwa MUI Nomor 10 Tahun 2018 tentang Produk Makanan dan Minuman yang Mengandung Alkohol/Etanol menyebutkan minuman beralkohol yang masuk kategori khamr adalah minuman yang mengandung alkohol/etanol (C2H5OH) minimal 0,5 persen.

Minuman beralkohol yang masuk kategori khamr adalah najis dan hukumnya haram, sedikit ataupun banyak.

Baca juga: MUI : Industri makanan-minuman harus bersertifikasi halal

Berdasarkan dua fatwa tersebut, menurut dia, ada persyaratan yang tidak terpenuhi pada produk Nabidz. Pertama, terkait dengan bentuk kemasan dan sensori produk. Kedua, produk minuman telah melalui serangkaian proses sehingga diperlukan uji etanol.

"Oleh karenanya produk seperti ini seharusnya tidak bisa disertifikasi melalui jalur self declare,” kata Niam.

Sementara itu Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag Aqil Irham mengatakan jenama Nabidz memang mengajukan sertifikat halal dan terdaftar di sistem Sihalal. Namun, produk yang didaftarkan bukanlah wine tetapi minuman jus buah.

"Berdasarkan data di sistem Sihalal, kami pastikan memang ada produk minuman dengan merk Nabidz yang telah mendapatkan sertifikat halal dari BPJPH. Namun produk tersebut bukanlah wine atau red-wine, melainkan produk minuman jus buah," kata Aqil.

Baca juga: BPJPH tegaskan tak pernah terbitkan sertifikat halal untuk produk wine

Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2023