Imbas dari putusan MK yang mengabulkan sebagian dari permohonan "judicial review" (uji materi) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dan UU Nomor 12 Tahun 2011 itu, terutama bagaimana menerjemahkan frasa "DPD ikut membahas,"
Semarang (ANTARA News) - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia mengemukakan tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan uji materi Undang-Undang MD3 dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan akan berdampak pada relasi legislasi DPR dan DPD.

"Imbas dari putusan MK yang mengabulkan sebagian dari permohonan "judicial review" (uji materi) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dan UU Nomor 12 Tahun 2011 itu, terutama bagaimana menerjemahkan frasa "DPD ikut membahas," kata Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan PSHK, Ronald Rofiandri, melalui pesan elektronik kepada Antara di Semarang, Kamis siang.

Oleh karena itu, Ronald memandang perlu Panitia Kerja (Panja) Badan Legislasi DPR RI menerjemahkan dan mengoperasionalkan ketentuan berupa frasa "Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ikut membahas."

Praktik yang selama ini berjalan, lanjut dia, saat membahas daftar isian masalah (DIM), Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)--pada tingkat komisi atau panitia khusus (pansus)--sebenarnya turut pula mengambil keputusan.

Ia mencontohkan kesepakatan terhadap substansi batang tubuh RUU dan melanjutkan pembahasan draf RUU pada level berikutnya, yaitu tingkat panja dan tim perumus (timus).

"Tidak heran, DPR tidak mengikutsertakan DPD karena saat membahas DIM RUU, tanpa sadar ada proses mengambil keputusan. Jelas, hal demikian melebihi kewenangan yang diberikan konstitusi kepada DPD," kata Ronald.

Menurut dia, jika ketat pada konsep "ikut membahas" berdasar tafsiran Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945, Pasal 224 Ayat (1) Huruf b dan Huruf c, dan Pasal 253 Ayat (1) UU MD3. Kemudian, diperkuat pula dengan kewenangan DPD menunjuk alat kelengkapan yang akan membahas RUU sesuai dengan Pasal 147 Ayat (6) dan Pasal 252 Ayat (2) UU MD3, maka penggunaan DIM seharusnya diarahkan sebagai instrumen untuk membahas RUU, bukan mengambil keputusan.

Penggunaan DIM seperti yang selama ini dianut, menurut dia, sesungguhnya tidak kondusif bagi DPD untuk mengimplementasikan frasa "ikut membahas". Dalam hal ini, DPD harus mendesak DPR dan Pemerintah agar mengganti DIM dan berinovasi menciptakan metode baru.

Salah satunya, lanjut dia, melalui pemilihan dan pengelompokan (klasterisasi) isu seperti yang pernah dipraktikkan oleh Pansus RUU MD3 atau Komisi X saat membahas RUU Kepemudaan dan RUU Perfilman.

"Selain menghindari hal-hal teknis (sebagai kekurangan DIM), metode ini berpotensi memperlebar ruang aktualisasi DPD," katanya.
(D007/Y008)

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013