Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis anak di RSUD Tebet, Jakarta Selatan, dr Ridha Kurnia Tejasari mengungkapkan bayi usia 48-72 jam wajib diikutkan dalam Screening Hipotiroid Kongenital (SHK) untuk mengantisipasi keterlambatan pertumbuhan.

"Bayi itu seharusnya diikutkan pada SHK pada sejak awal kelahiran, yakni pada usia 48-72 jam," ungkap dr Ridha melalui sebuah siaran langsung yang diadakan oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta, Selasa.H

Hal tersebut, menurut dia, sesuai Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 78 Tahun 2014 tentang Screening Hipotiroid Kongenital.

Ia mengatakan, SHK pada dasarnya adalah pemeriksaan stimulasi hormon tiroid untuk mengantisipasi atau mendeteksi adanya Hipotiroid Kongenital (HK).

"SHK ini untuk mendeteksi dini HK guna cegah adanya keterlambatan pertumbuhan/perkembangan bayi serta retardasi mental (gangguan intelektual/kemampuan intelektual di bawah rata-rata) pada anak di kemudian hari," ungkap dia.

Baca juga: Jaktim lakukan audit penanganan kasus stunting

Ia menjelaskan, HK awalnya terjadi akibat defisiensi (kekurangan) hormon tiroid. "Tiroid ini kan berfungsi untuk pertumbuhan sel syaraf, pembentukan jaringan otak, pembentukan 
struktur tulang pada bayi," katanya.

Intinya hormon tiroid tersebut mempengaruhi 
pertumbuhan anak di kemudian hari. "Jadi harus diwaspadai dan diantisipasi sejak dini," ungkap dia.

Jika defisiensi hormon tiroid ini terlambat dideteksi atau terindikasi bermasalah melalui "screening", maka berisiko bayi mengalami keterlambatan pertumbuhan yang menjurus pada disabilitas intelektual atau retardasi mental.

"Inilah pentingnya SHK," kata dia menegaskan.

Baca juga: Audit kasus stunting jadi agenda prioritas Pemkot Jaksel

SHK hanya dapat dilakukan sekali dan jika kondisi bayi stabil. Stabil itu maksudnya bayi yang baru lahir tidak dalam kondisi sakit, lahir prematur, berat badan, panjang badan dan lingkar kepala bayi tidak normal.

"Jadi kondisi bayi secara medis harus benar-benar stabil," kata dia.

Terkait prosedur awal SHK, ia menyebutkan ibu dan keluarga bayi akan diberitahu lebih dulu sebelum bayi lahir.

"Jadi sebelum ibu melahirkan atau dalam kondisi hamil, ibu atau keluarga calon bayi diberitahu terlebih dahulu bahwa calon bayinya nanti akan dilakukan SHK," kata dia.

Jika bayi usia di atas 72 jam maka bisa diperiksa dalam usia satu minggu pertama. "Kalau ada kendala dan jika dimungkinkan, maka dilakukan di usia bawah dua minggu karena pengobatannya efektifnya diupayakan dilakukan pada usia bayi di bawah dua minggu," kata dia.

Kalau memang belum bisa dilakukan SHK karena kondisi bayi yang belum stabil, kata dia, maka dilakukan pemeriksaan ulang setiap bulan.

Baca juga: Heru minta orang tua lebih peduli dan bantu turunkan angka stunting

Menurut penelitian, kata dia, jika menemukan HK lebih dari tiga bulan dan sudah ada gejala klinis, maka itu sudah berisiko bagi bayi karena secara medis sudah terlambat.

"Memang pada bayi yang baru lahir gejala HK itu tidak ada tanda-tanda spesifik," kata dia.

Jika kondisi bayi belum memungkinkan untuk mengikuti SHK dalam jangka usia yang ditentukan, pihak medis masih akan tetap melakukan SHK setelah pasien itu stabil dan bisa dikonsultasikan.

Dia a menyebutkan jika SHK dilakukan pada waktu normal (usia 48-72 jam), maka bayi akan diberi terapi di awal. Yakni di bawah dua minggu setelah kelahiran dan hasilnya akan sangat baik pada bayi.

"Tidak ditemukan lagi nanti generasi yang Intelligence Quotient (IQ) rendah atau alami keterlambatan di semua aspek perkembangan anak," kata dia.

Selain memeriksa kadar hormon tiroid, SHK juga ditujukan untuk untuk memisahkan bayi yang mengalami kelainan dan bayi normal.

Baca juga: DKI berhasil turunkan stunting hingga 20 persen dalam waktu tiga bulan

Untuk prosedur pemeriksaan, SHK dilakukan dengan metode kertas saring.

"Jadi dua sampai tiga tetes darah bayi diambil dari lateral tumit bayi, lalu diteteskan pada kertas saring, dikeringkan lalu dikirimkan ke laboratorium. Hasilnya paling cepat dua hari atau sampai satu minggu," ungkap dia.

Ia menyebut, kasus HK umumnya terjadi pada satu dari 3.000-4.000 kelahiran. "Tetapi sebisa mungkin harus diketahui sejak awal sehingga bisa diobati dan harga obatnya juga terjangkau," ungkap dia.

Ia menyebutkan, SHK bisa dilakukan di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) seperti Puskesmas, RSUD, rumah sakit vertikal dan secara umum di laboratorium 
mandiri/swasta.

"Orang tua yang bayinya belum pernah SHK bisa ke Puskesmas itu untuk lakukan SHK. Nanti tenaga medis akan berikan informasi lanjutan," ungkap dia.
 

Pewarta: Redemptus Elyonai Risky Syukur
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2023