Jakarta (ANTARA News) - Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro menyetujui rencana penerapan tarif bea masuk dalam impor hortikultura sesuai usul Kementerian Koordinator Perekonomian.

"Saya secara umum setuju dengan konsepnya, tinggal penentuan tarifnya," kata Bambang di Jakarta, Jumat.

Namun, ia melanjutkan, penerapan tarif bea masuk  harus dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan distorsi dan menyebabkan masalah baru yang dapat menganggu pasokan komoditas pangan.

"Jangan sampai kerendahan sehingga tidak ada gunanya (apabila produk) yang domestik habis, tapi jangan juga ketinggian, sehingga suplai dalam negeri tidak ada karena kemahalan," katanya.

Menurut dia, penghitungan tarif bea masuk impor dapat dilakukan berdasarkan data produksi komoditas dalam negeri serta kebutuhan permintaan dan penawaran atas komoditas tersebut.

"Kementerian Pertanian tentukan estimasi produksi. Kementerian Perdagangan melihat kebutuhan domestik. Kemudian hitung gap-nya. Gapnya kita terjemahkan ke dalam tarif," ujarnya.

Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar juga mengatakan pembatasan impor hortikultura dapat dilakukan dalam bentuk penerapan tarif bea masuk karena kebijakan pembatasan pengaturan kuota dirasa tidak efektif.

"Pembatasan tadi itu tidak harus dalam bentuk kuota yang pengenaannya dan prosesnya sendiri menimbulkan persoalan. Banyak cara lain, termasuk dengan pengenaan tarif, yang menyebabkan adanya keuntungan," jelasnya.

Menurut dia, pembatasan impor hortikultura telah menyebabkan kelangkaan pasokan bawang putih dan inflasi tinggi, dan pemerintah juga tidak memperoleh pendapatan dari kebijakan tersebut.

"Ini bukan kebijakan yang optimal, karena di satu pihak kita semua menanggung beban inflasi tinggi tapi di satu pihak kita tidak mendapat tambahan masukan untuk kas negara dengan kita menjaga impor," ujarnya.

Sementara Wakil Menteri Pertanian, Rusman Heriawan, mengatakan, penerapan bea masuk impor hortikultura dapat dilakukan bila beda harga komoditas di pasar internasional dan pasar domestik tidak jauh.

Ia memberi contoh dengan kasus impor bawang dari China. 

"Kalau di China saat ini harganya Rp10 ribu per kilogram kita tarifkan 50 persen, sudah Rp15 ribu, padahal petani bawang inginnya harga Rp17 ribu-20 ribu per kilogram. Kalau kita menganut tarif bea masuk, jebol juga kita," ujarnya.

Rusman menyarankan kebijakan bea masuk hanya diterapkan pada komoditas pangan tertentu saja dan mengusulkan penerapan kombinasi kebijakan penerapan bea masuk dan kuota secara terbatas terhadap komoditas pangan impor sehingga suplai dan distribusi tidak lagi bermasalah.

Pewarta: Satyagraha
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2013