Jakarta (ANTARA) - Jika kerukunan antarumat beragama di Indonesia ada riak oleh munculnya sikap intoleran, bukan berarti hal menggambarkan kenyataan yang terjadi pada seluruh daerah di negeri kita.

Kenyartaan di Desa Cisantana, Kuningan, Jawa Barat, wilayah dengan hawa dingin di kawasan Gunung Ciremai, menjadi contoh bagaimana sejuknya toleransi antarumat beragama yang sejak lama terjalin.

Kerukunan antarumat tersebut tercipta atas upaya beberapa tokoh masyarakat setempat, salah satunya adalah Kiai Yayat Hidayat (54), yang menjadi salah satu kunci perekat kerukunan di wilayah tersebut.

Kiai Yayat memulai upayanya dalam merekatkan kerukunan antarumat sejak 1995 silam, dimana pada saat itu dia mendapatkan lima hektare tanah wakaf di Desa Cisantana, dan membangun Pondok Pesantren Daarul Mukhlisin dan ia bina hingga sekarang.

Awalnya, pembangunan ponpes tersebut mengalami penolakan dari mayoritas warga desa tersebut yang beragama Kristen dan Katolik, karena pada awalnya, mereka khawatir jika pondok pesantren yang dibangun akan menjadi tempat yang membahayakan bagi keberlangsungan warga desa setempat.

Namun asumsi tersebut kian terbantahkan, lantaran Kiai Yayat justru banyak melibatkan warga setempat tanpa membeda-bedakan keyakinannya, pada sejumlah urusan yang berada di ponpes binaannya.

Upayanya diinisiasi saat pondok pesantren tersebut hendak menyambung pipa dari sumber air di Curug Ciputri, yang berjarak sekitar dua kilometer dari ponpes.

Kiai Yayat yang merupakan lulusan Pondok Modern Darussalam Gontor tahun 1988 menuturkan pada saat itu di desa tersebut belum terdapat banyak orang yang menguasai sistem perpipaa,n selain beberapa orang warga yang beragama Katolik, yang terbukti karena pernah menangani sistem perpipaan di tingkat industri.

Dirinya pun melibatkan warga tersebut dalam proyek penyambungan pipa air di ponpesnya. Hal ini lah yang menjadi awal mula kepercayaan masyarakat setempat terhadapnya dan ponpesnya.

Selain itu, dia juga melibatkan seorang pendeta setempat beserta istrinya untuk mengurus kebun aren yang berada di wilayah ponpesnya.

Alhasil, banyak orang yang menanyakan kepadanya mengapa sesosok wanita yang memasak aren di lingkungan ponpesnya tidak berhijab.

"Ya tidak berhijab, orang itu istrinya pendeta," katanya, sambil tertawa saat ditemui ANTARA.
Proses pembuatan gula aren oleh istri pendeta (kiri), istri Kiai Yayat (tengah) dan anaknya (kanan). (ANTARA/HO-Yayat Hidayat)
Kemudian, masyarakat yang kerap melihat fenomena pendeta yang sering datang ke pondok pesantren, menjadi salah satu contoh yang diteladani oleh masyarakat setempat sebagai bentuk guyub antarumat beragama.

Kiai Yayat juga tidak tinggal diam. Dirinya turut aktif dalam sejumlah kegiatan lintas agama. Seperti halnya dia mempersilakan pemasangan atribut keagamaan pada waktu ibadah di wilayah pondok pesantrennya, yang berdampingan langsung dengan Gua Maria Sawer Rahmat, yang sering dijadikan tempat ziarah bagi umat Katolik.

Bahkan, sebelum listrik masuk ke kawasan gua tersebut, dirinya juga mengajukan diri untuk menyambung genset dari lokasi pondok pesantrennya, yang hanya membutuhkan kabel sekitar 25 meter, alih-alih disambungkan dari lokasi parkir gua tersebut yang memerlukan kabel sekitar dua kilo meter.

Berkatnya, peristiwa peribadatan di Gua Maria Sawer Rahmat dapat disiarkan beberapa kali di televisi nasional, serta Pondok Pesantren Daarul Mukhlisin kerap masuk pada bagian ucapan terima kasih. Hal itu juga menjadi pertanyaan sejumlah pihak, mengapa sebuah ponpes turut mendukung acara ibadah agama lain.

Setelah listrik mulai memasuki wilayah tersebut, Kiai Yayat juga mengizinkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk menginstalasi listrik di gua tersebut, dengan Pondok Pesantren Daarul Mukhlisin sebagai perantaranya.

Berkat upayanya, masyarakat setempat yang beragama Katolik mempercayainya dalam hal apapun yang berkenaan dengan Gua Maria Sawer Rahmat, termasuk perizinan penggunaan.

Sebelumnya, terdapat sejumlah kelompok yang berkunjung ke Gua Maria Sawer Rahmat, namun bukan dengan niat yang baik. Bahkan beberapa di antaranya bersifat merusak.

Namun sekarang, tidak sembarang kelompok bisa datang dan membuat acara di gua tersebut, karena setiap kelompok yang hadir, harus melalui izin Kiai Yayat yang bertanggung jawab atas gua tersebut. Bahkan dirinya sempat melakukan "blacklist" terhadap beberapa kelompok yang melakukan hal yang tidak sesuai dengan perjanjian saat melakukan perizinan.

Kiai Yayat juga turut mengajak penduduk setempat dalam sejumlah kegiatan, seperti kegiatan perlombaan dalam memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia yang diikuti oleh warga desa dari berbagai keyakinan yang berbeda, hingga dirinya berhasil menggeser tren persaingan antardesa yang dulunya dikaitkan dengan isu agama, kini menjadi hilang dan berubah menjadi persaingan antarwarga desa.

Pondok Pesantren Daarul Mukhlisin juga kerap dikunjungi sejumlah instansi yang ingin belajar tentang kerukunan antarumat beragama, hingga pernah menjadi tuan rumah Kemah Pemuda Antariman.
Kemah Pemuda Antariman yang diikuti pemuda pemudi lintas iman yang berasal dari 11 provinsi di Indonesia pada 2017 (ANTARA/HO-Yayat Hidayat)
Sifat umum yang dimiliki pondok pesantren sebagai tempat yang didirikan untuk berdakwah kepada masyarakat sekitar, juga diterapkan Kiai Yayat, yang berdakwah kepada masyarakat sekitar melalui budaya toleransi antarumat beragama dan akhlak yang ditonjolkannya sebagai umat Islam.

Menurut Kiai Yayat, Allah SWT mampu menjadikan semua umat menjadi Islam, namun Allah SWT tidak melakukannya. Begitu pula dengan dirinya yang tidak memiliki niat memaksa warga untuk berpindah keyakinan menjadi Islam, dengan mendirikan pondok pesantren di wilayah tersebut.

Dia lebih memilih untuk berdakwah dengan cara menunjukkan bahwa Islam itu ramah dan berkualitas, sehingga umat Islam atau siapapun yang hendak masuk Islam bangga dengan keislamannya.

Begitu pula dengan keyakinan lainnya, yang menurutnya, akan indah jika seluruh keyakinan menjadi versi terbaik dari keyakinannya masing-masing, karena seluruh agama mengajarkan kasih sayang, dan tidak mengajarkan kekerasan.

Dia berpesan agar para pemimpin agama dapat mendidik umatnya masing-masing dengan baik, karena kerukunan antarumat beragama dimulai dari masing-masing agama itu sendiri. Tanpa diucapkanpun pesan itu terus mengalir lewat tindakan yang dilakukan oleh Kiai Yayat
 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023