Labuan Bajo (ANTARA) - Yayasan Bambu Lingkungan Lestari (YBLL) menyebutkan bahwa terdapat 10 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang berpotensi untuk pengembangan agroekologi bambu.

"Jadi total area berpotensi untuk pengembangan agroekologi di NTT itu luasnya mencapai 4.000 hektare," kata Head of Program YBLL Nurul Firmansyah dari Kupang, Sabtu.

Agroekologi adalah bagian dari pertanian berkelanjutan yang menggambarkan hubungan alam, ilmu sosial, ekologi, masyarakat, ekonomi, dan lingkungan yang sehat.

Agroekologi diterapkan berdasarkan pada pengetahuan lokal dan pengalaman dalam pemenuhan kebutuhan pangan lokal.

Dia mengatakan bahwa 10 kabupaten yang berpotensi itu tersebar di pulau Flores, Pulau Alor, Pulau Sumba dan pulau Timor.

Daerah terbanyak berasal dari Pulau Flores terdiri dari Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai Timur, Nagekeo, Ende, Sikka, Ngada, dan Manggarai.

Untuk pulau Alor terdapat di Kabupaten Alor, Pulau Timor dikembangkan di Kabupaten Timor Tengah Utara, sedangkan di Pulau Sumba ada di Kabupaten Sumba Timur.

"Setiap kabupaten luas lahan untuk pengembangan agroekologi bambu mencapai 400 hektare," ucapnya.

Dia menambahkan bahwa 4.000 hektare itu adalah lahan kering yang kritis yang sulit dikembangkan untuk pertanian, sehingga YBLL berinisiatif untuk mencari dan mengembangkan hal tersebut.

NTT sendiri juga dinilai pas untuk pengembangan agroekologi karena sejak tahun 2020-2022 YBLL bersama dengan Pemerintah Provinsi dan kabupaten telah mengembangkan agroekologi bambu di NTT.

Hasilnya 532 mama bambu di 28 desa dan tujuh kabupaten telah terbentuk dan YBLL sendiri telah berhasil menyemai 2,9 juta bibit bambu.

Kemudian dari jumlah tersebut, sebanyak 1,9 juta bibit kemudian digunakan untuk merehabilitasi lahan kritis seluas 1.500 hektare yang melibatkan semua pihak, mulai dari pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, gereja, Muhammadyah, Organisasi pemuda, mahasiswa serta komunitas masyarakat adat.

"Aksi rehabilitasi lahan kritis ini menciptakan potensi penyimpanan karbon sebesar 41 ribu ton C," kata dia menambahkan.

Ahli Taksonomi Elizabeth Anita Widjaja mengatakan bahwa pemerintah Indonesia menargetkan penurunan deforestasi sebesar 55 persen dalam periode 2021 hingga 2030.

"Serta berkomitmen mencapai National Determined Contribution (NDC) pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen melalui rehabilitasi lahan kritis seluas 12 juta hektare pada 2030," ujar dia.

Baca juga: Peneliti: Pertanian monokultur jadikan agroekologi ringkih dan rentan

Baca juga: Peran Bulog agar diperkuat respons gejolak harga

Baca juga: KEHATI: Restorasi bambu jadi solusi rehabilitasi hutan & lahan kritis

 

Pewarta: Fransiska Mariana Nuka
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2023