Surabaya (ANTARA) - Buang air besar sembarangan (BABS) atau Open Defecation Free (ODF) masih menjadi masalah di negara berkembang seperti Indonesia. Bahkan BABS di sungai masih sering dijumpai di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya.

Kebiasaan buang air besar sembarangan berakibat terkontaminasinya sumber air minum serta terjadinya pencemaran ulang pada sumber air dan makanan yang disantap di rumah secara langsung maupun tidak langsung. Kebiasaan ini tentu berisiko menimbulkan masalah kesehatan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat masih menganggap perilaku hidup bersih dan sehat merupakan urusan pribadi yang tidak terlalu penting. Masih ada masyarakat yang tidak memiliki jamban di rumah atau buang air besar sembarangan.

Masyarakat belum sepenuhnya mengetahui bahwa buruknya perilaku terkait sanitasi oleh salah satu anggota masyarakat, juga akan mempengaruhi kualitas kesehatan masyarakat lainnya.

Perilaku masyarakat dalam melakukan BABS dapat dipicu karena beberapa hal, seperti anggapan membangun jamban mahal, lebih nyaman di sungai, ladang, sawah, atau parit. Serta anggapan masyarakat bahwa kebiasaan tersebut sudah dilakukan sejak dahulu dari mulai masa kanak-kanak hingga sekarang tetapi tidak pernah mengalami masalah kesehatan apapun.

Buang air besar sembarangan adalah isu yang sangat serius karena menyangkut kesehatan banyak orang. Masyarakat bisa terjangkit penyakit dari kotoran yang terbawa oleh udara.

Sanitasi

Akses sanitasi adalah salah satu pondasi utama bagi kesehatan masyarakat. Sanitasi adalah proses menjaga kebersihan suatu tempat untuk mencegah kontaminasi dari sumber penyakit. Tetapi konteks sanitasi saat ini cenderung lebih banyak banyak dipakai untuk membahas hal-hal seputar toilet.

Padahal sanitasi menyangkut upaya pengendalian yang dilakukan di semua faktor lingkungan fisik manusia, seperti air, kelembaban udara, suhu, tanah, angin, rumah, dan benda mati lainnya. Sebab, lingkungan yang buruk berpotensi memberikan efek negatif bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia.

Mengutip data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 1,7 miliar orang masih belum memiliki layanan sanitasi dasar seperti toilet atau jamban pribadi. Dari jumlah tersebut 494 juta orang masih buang air besar di tempat terbuka, misal di selokan, di balik semak-semak atau di sungai. Tak hanya itu, sekitar 10 persen populasi dunia diperkirakan masih mengkonsumsi makanan yang diairi oleh air limbah.

WHO menyebut dampak negatif dari sanitasi buruk yakni mengurangi kesejahteraan manusia, berdampak pada pembangunan sosial dan ekonomi, meningkatnya potensi pelecehan seksual, dan kehilangan kesempatan untuk bekerja dan memperoleh pendidikan. Terlebih, sanitasi buruk berisiko meningkatkan potensi penularan penyakit, seperti diare, kolera, disentri, tipus, infeksi cacing usus, dan polio.

WHO juga memprediksi bahwa akses sanitasi yang tidak aman bertanggung jawab terhadap kematian lebih dari 400 ribu orang di seluruh dunia setiap tahun. Menurut data Riskesdas 2019, 1 dari 10 balita di Indonesia terkena diare, dimana diare ini adalah penyebab utama kematian balita di Indonesia, melebihi angka kematian akibat ISPA, demam, malaria, dan sebagainya.

Infeksi cacing atau Soil Transmitted Helminth (STH) juga akibat akses sanitasi yang tidak aman. WHO memprediksi bahwa 1 dari 4 orang di dunia terinfeksi STH. Cara penyebaran STH biasanya lewat telur STH yang ada pada feces penderita STH yang kemudian mencemari tanah.

Sanitasi yang buruk juga berkontribusi terhadap angka malnutrisi atau stunting di negara
berkembang, termasuk di Indonesia. Hal ini kemudian berdampak panjang pada kemampuan orang tersebut dalam mengejar pendidikan yang lebih tinggi dan juga kondisi ekonominya.

Akses sanitasi yang aman dan higinitas yang memadai adalah salah satu pondasi penting untuk menjaga kesehatan masyarakat. Jika tinja yang dikelola dengan aman dapat mengurangi risiko berbagai penyakit, seperti diare, kolera, sampai stunting pada balita yang menjadi salah satu fokus isu kesehatan di Indonesia saat ini.

Indonesia terus bekerja keras untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDGs) yaitu pada tahun 2030, mencapai akses ke sanitasi dan higienitas yang memadai dan merata untuk semua, dan mengakhiri buang air besar sembarangan, memberikan perhatian khusus pada kebutuhan perempuan dan anak perempuan serta mereka yang berada dalam situasi rentan. Pemerintah Indonesia sendiri menargetkan 0 persen BABS dan 15 persen akses sanitasi aman pada 2024.

Pencapaian target tersebut tidaklah mudah. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama semua pihak, dari level nasional sampai daerah, dan lintas sektor, dari lembaga pemerintah, swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat, akademisi, dan juga masyarakat itu sendiri untuk menghentikan perilaku BABS. Hal itu sesuai dengan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebesar 90 persen desa/kelurahan Stop BABS.

Peran pemda

Untuk mewujudkan pencapaian target sanitasi tersebut, dibutuhkan kinerja dari berbagai pihak, salah satunya pemerintah daerah (pemda). Dalam hal ini, tentu ada daerah-daerah yang berhasil mengatasi persoalan sanitasi dan BABS. Tentunya daerah yang berhasil tersebut patut menjadi contoh bagi daerah lainnya.

Salah satu daerah yang berhasil dalam mencapai 100 persen ODF atau BABS adalah Kota Surabaya, Jawa Timur. Melalui pemdanya, telah berkomitmen untuk meningkatkan capaian akses air minum dan sanitasi aman. Komitmen ini dilakukan sebagai tujuan untuk memakmurkan warga Kota Pahlawan.

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengungkapkan strategi Kota Pahlawan dalam mencapai 100 persen ODF atau BABS saat menjadi narasumber pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Air Minum dan Sanitasi Tahun 2023 yang digelar secara hibrid di Jakarta, Selasa (12/9/2023).

Baginya, sanitasi merupakan bentuk kesehatan yang menjadi prioritas harus dipenuhi oleh Pemkot Surabaya. Sebab, untuk dapat menyelesaikan persoalan stunting maupun gizi buruk, maka harus dimulai dari lingkungan yang sehat.

Sehat lingkungan itu dimulai dari yang terdekat dengan kita, yaitu dari rumah kita. Karena itu pemerintah kota mempunyai komitmen bagaimana rumah tidak layak huni baik itu jamban atau jendela harus diperbaiki semuanya.

Bentuk komitmen salah satunya berupa tidak ada rumah tidak layak huni dan tidak ada lagi rumah yang tidak berjamban di Kota Surabaya pada tahun 2023 telah dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Surabaya.

Komitmen dalam memelihara lingkungan yang sehat juga telah dibuktikan dengan dukungan melalui peningkatan anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Surabaya. Tercatat pada 2023, anggaran untuk pengadaan jamban mencapai Rp33,764 miliar. Besaran anggaran ini meningkat dari Rp2,035 miliar pada 2022 dan Rp2,196 miliar pada 2021.

Tak hanya itu, anggaran untuk perbaikan rumah tidak layak huni (Rutilahu) pada 2023 juga ditingkatkan menjadi Rp137,282 miliar dari sebelumnya Rp34,172 miliar pada 2022 dan Rp23,907 miliar pada 2021.

Selain APBD, pembiayaan untuk mencapai lingkungan yang sehat juga didukung oleh mitra kerja dan Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan dari para stakeholder atau pemangku kepentingan di Surabaya. Dimana dukungan pembiayaan ini juga meningkat dari 2022 sebesar Rp4,462 miliar, menjadi Rp11,515 miliar pada 2023.

Keberhasilan di Kota Pahlawan dalam mencapai 100 persen ODF, rupanya tak lepas dari peran serta dan dukungan dari Tim Penggerak (TP) PKK Surabaya. Bentuk dukungan itu salah satunya diimplementasikan PKK melalui pola pendekatan sosial kepada masyarakat.

Ketika rumah tidak layak huni dan sanitasi sudah diperbaiki, tapi pola hidup bersih tidak diterapkan, maka hal itu akan menjadi sia-sia.

Oleh sebab itu, pendekatan-pendekatan sosial kepada masyarakat dalam menerapkan pola hidup bersih terus dilakukan seperti mengajak masyarakat agar membuang sesuatu supaya pada tempatnya.

Sehingga ketika pola hidup bersih sudah mantap di masing-masing keluarga, maka warga akan terbebas dari penyakit, terbebas dari stunting. Sehingga pola pendekatan melalui power of the emak-emak itu yang menjadi kekuatan.

Semoga hal ini menjadi ikhtiar bersama untuk mewujudkan Indonesia bebas 0 persen BABS dan 15 persen akses sanitasi aman pada 2024. Salam bersih dan sehat.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023