Memang harus ada darah Indonesia untuk bisa memainkan Indorock dengan jiwa
Musisi Eddy Chatelin saat tampil di sebuah acara televisi Belanda bersama band The Crazy Rockers. (ANTARA/HO/Eddy Chatelin) (ANTARA/Ahmad Faishal)

“Mama mengajarkan saya bermain gitar keroncong pada tingkatan yang sederhana. Selain itu, saya juga mempelajari musik jazz ketika bersekolah di Belanda,” cerita Eddy.

Di sekolah pula, Eddy kecil berkenalan dengan salah satu pendekar rock ’n roll Amerika yaitu Elvis Presley. Lagu yang kali pertama ia dengarkan berjudul “Dont Be Cruel” dan seketika membuatnya jatuh hati pada jenis musik yang sesuai dengan jiwa mudanya saat itu.

Beranjak remaja tepatnya pada usia 18 tahun, Eddy mendirikan sebuah band Indorock bernama The Crazy Rockers dengan mengajak serta rekannya yaitu Woody Brunings (gitar, vokal), Harry Berg (gitar), Pim Veeren (bass), dan Sidney Rampersadt (drums).

Pada awal era ’60-an, band yang beranggotakan anak-anak muda diaspora Indonesia dan Suriname itu dikategorikan sebagai salah satu band hebat dari The Hague yang mampu menandingi kepopuleran The Tielman Brothers asal Surabaya. Eddy dan kompatriot tampil di beberapa gelaran di negara Jerman, Swiss, dan negara-negara bagian Skandinavia.

Beberapa rekaman lagu yang sempat mereka publikasikan di antaranya “Giddy Up”, “Rosita My Love”, “The Happy Whistler”, “Carioca”, “The Third Man”, dan “Mama Papa Twist”. Tiga judul lagu terakhir bahkan masih dapat ditelusuri jejak audio-visualnya lewat YouTube.
 
Musisi Eddy Chatelin saat tampil di sebuah acara televisi Belanda bersama band The Crazy Rockers. (ANTARA/HO/Eddy Chatelin) (ANTARA/Ahmad Faishal)

Bila Eddy Chatelin baru memulai petualangan bersama The Crazy Rockers pada tahun 1961, maka gitaris Hans Bax justru sudah lebih dulu terkenal di Belanda bersama beberapa band, salah satunya The Tielman Brothers.

Lahir di Banjarmasin 31 Maret 1937, Hans Bax adalah anak keempat dari enam bersaudara. Bersama keluarga, dia hijrah ke Belanda tahun 1955 pada usia 18 tahun setelah sebelumnya sempat menetap di Jakarta.

Tak butuh waktu lama bagi Hans untuk ‘mengobrak-abrik’ skena musik di Negeri Oranje. Setiba di Belanda, dia langsung bergabung sebagai pemain bass dengan sebuah band bernama The Real Room Rockers yang diperkuat oleh Rob Latuperissa (drums), Rudy van Dorssen (gitar), Rudy Swart (gitar), Aphons Faverey (gitar), dan Kees van der Linden (gitar) pada tahun 1957.

Pada pertengahan September 1959, The Real Room Rockers mendapatkan tawaran manggung di acara bertemakan hawaiian yaitu Octoberfest di Munich yang membuat Hans dkk semakin tenar di seantero Jerman. Momentum kesuksesan itu juga digunakan oleh Hans untuk membentuk sebuah band lain bernama The Hurricane Rollers dan belakangan The Javalins pada tahun 1961.

Baru pada tahun 1965 ketika The Javalins membubarkan diri, Hans bergabung dengan salah satu band Indorock termasyhur yaitu The Tielman Brothers.
Musisi Hans Bax (depan) saat tampil di sebuah televisi Belanda bersama band The Tielman Brothers tahun 1966. (ANTARA/HO/Hans Bax) (ANTARA/Ahmad Faishal)


“Saya bermain rhythm gitar, sedangkan Reggy Tielman yang mengambil bagian bass rhythm. Menurut saya, The Tielman Brothers dan The Javalins adalah band Indorock terbaik era itu,” kata Hans mengingat-ingat.

Rekam jejak digital Hans bersama The Tielman Brothers masih dapat ditemukan di YouTube saat mereka tampil di sebuah acara televisi membawakan lagu “Bossa Nova Baby”, “Hello Caterina”, dan “A Lovers Concerto”.

Nyaris di semua bagian klip video tersebut, Hans dan The Tielman Brothers yang tampil necis dengan setelan jas, asyik berdendang dan bergoyang dengan koreografi apik sembari tetap berakting memainkan instrumen.

“Waktu itu sosok yang ada di balik semua koreografi kami adalah Loulou Tielman (drummer). Kami diminta untuk bergoyang sesuai dengan ketukan lagu agar menarik dan enak dilihat. Loulou adalah otak di balik show, sedangkan Andy Tielman nomor satu untuk skill bermain gitar,” kenang ayah dari 5 orang anak tersebut.

Uniknya, meski sempat menyandang status sebagai bintang rock ’n roll di Eropa, seorang Hans Bax pun mengalami fase kejenuhan. Dia sempat menggantung gitar Fender Jazzmaster-nya dan mulai beralih ke depan komputer. Selama 25 tahun, Hans menekuni pekerjaan sebagai seorang spesialis perangkat lunak.

Baginya, baik bermusik atau bekerja sebagai spesialis perangkat lunak, keduanya sama-sama menghasilkan pendapatan yang bagus. Kala itu dia mengaku bisa mengantongi sekitar 13 ribu deutsche mark, bahkan pernah mencapai 65 ribu deutsche mark per bulan hanya dari bermain musik.

“Tapi ya memang pekerjaan kantoran berat sekali. Lebih enak bermain band, cuma manggung dua hari dengan bayaran besar. Tidak cepat tua,” seloroh Hans tak dapat menahan tawa.

Baca juga: G-Pluck sambangi dua legenda musik Indorock di Belanda

Baca juga: Orchest Stamboel, band lokal yang dilirik label Eropa

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2023