Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko mengatakan fintech peer to peer lending menyesuaikan pendanaan yang disalurkan ke sektor produktif dengan tingkat risiko.

Pendanaan fintech ke sektor produktif menurun dari 45,99 persen pada Juli 2022 menjadi 35,65 persen pada Juli 2023 karena terdapat peningkatan risiko.

“Kita harus mengakui profil risiko secara umum meningkat sehingga anggota kami menurunkan tingkat lendingnya,” kata Sunu di sela UMKM Digital Summit 2023 di Jakarta, Kamis.

Tingkat risiko fintech lending sebagaimana tampak dari Tingkat Wan Prestasi 90 hari (TWP 90) tercatat meningkat menjadi 3,47 persen pada Juli 2023 dari 2,67 persen pada bulan yang sama tahun sebelumnya.

“Pada saat profil risiko naik, anggota kita mencari ancang-ancang, industri mana yang lebih baik. Mereka pun melakukan shifting ke industri itu,” kata Sunu menerangkan.

Untuk menekan tingkat risiko pendanaan kepada sektor produktif, termasuk kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), AFPI bekerja sama dengan Smesco Indonesia berupaya membuat profil risiko UMKM lebih transparan dengan meningkatkan kemampuan UMKM mencatat kegiatan usaha dan transaksi keuangannya.

“Profil risiko UMKM perlu diperbaiki, dibuat lebih transparan, sehingga pemberi pinjaman seperti fintech dan bank punya keyakinan terhadap kemampuan bayar UMKM, sehingga tingkat bunganya bisa lebih rendah,” katanya.

Bunga pendanaan fintech yang diberikan kepada setiap peminjam UMKM berkisar 18-30 persen dalam sekali peminjaman, yang besarannya bergantung pada tingkat risiko.

Ia memastikan biaya pinjaman yang harus dibayar peminjam ditambah bunga fintech lending yang tergabung dalam AFPI tidak akan mencapai 0,4 persen per hari.

“Ada biaya yang harus dikeluarkan, sesuai dengan aturan OJK. Ada wajib asuransi, tandatangan digital, dan termasuk mitigasi risiko, yang bisa semakin tinggi dengan tingginya risiko,” kata Sunu.

Menurut Sunu, saat ini pendanaan kepada UMKM berpotensi terus meningkat, terutama untuk UMKM yang memasok kebutuhan pemerintah.

“Kenyataannya, para pelaku UMKM yang memasok belanja pemerintah biasanya masih kesulitan mendapatkan pendanaan. Itu istilahnya low hanging fruit, karena proses mereka diberi pendanaan akan mudah dan risikonya lebih kecil,” kata Sunu.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Humas AFPI Andi Taufan Garuda mengatakan fintech lending masih memerlukan SDM yang berinteraksi langsung dengan UMKM untuk memastikan UMKM yang didanai memiliki usaha yang berkelanjutan.

“Minimal pada pendanaan pertama, pelaku UMKM sudah memahami risikonya. Nanti setelah itu akan ada profilnya terkait repayment capacity atau kemampuan membayarnya,” kata Taufan dalam kesempatan yang sama.

Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Sella Panduarsa Gareta
Copyright © ANTARA 2023