Jakarta (ANTARA) - Deru suara kendaraan yang lalu-lalang memecah keheningan pagi itu di sekitar bangunan menara bercat putih dan cokelat yang letaknya tak jauh dari Pelabuhan Sunda Kelapa, di Jakarta Utara.

Suasana langit Jakarta yang cerah berwarna biru semakin mempertegas keindahan menara yang pernah menjadi bangunan tertinggi di Batavia.

Tak ada pengunjung yang tampak keluar atau masuk di pintu menara setinggi 18 meter itu. Hanya ada beberapa petugas berseragam bersih-bersih di sekitar pelataran.

Hembusan semilir angin meniup bendera merah putih yang berkibar di samping menara menjadi jejak saksi bisu kepemimpinan Gubernur Jenderal Daendels pada masa Hindia-Belanda kala itu.

Teriknya matahari Jakarta menyinari  menara yang terletak di Jalan Pasar Ikan Nomor 1 Sunda Kelapa, Penjaringan, Jakarta Utara tersebut. Wajah bangunan itu telah uzur, tampak renta, tetapi memancarkan aura ketegaran masa silam.

Terdapat dua bangunan yakni Menara Sinyal dan Menara Syahbandar. Pada zaman penjajahan dulu, fungsi Menara Syahbandar sangat vital. Dari menara itu, para petugas mengawasi keluar masuk kapal yang membawa komoditas terutama rempah.

Letak menara yang persis di tepi jalan membuat getaran kendaraan yang melintas merambat di telapak kaki saat melangkah berada di dalam bangunan kuno itu.

Memasuki ke dalam menara hampir seluruh bangunan didominasi oleh unsur kayu-kayu jati yang masih kokoh, meskipun sudah sangat berumur. 

Berbeda dengan Menara Sinyal yang berada di sebelahnya. Isi dalam bangunan itu didominasi oleh unsur batu dan terdapat prasasti China yang menjadi penanda titik nol meridian utama pelayaran kapal era kolonial Hindia Belanda di Indonesia.

Titik nol meridian Batavia merupakan acuan waktu berlayar. Titik nol meridian tersebut merupakan garis bujur nol yang sangat diperlukan pada masa perdagangan di kawasan Sunda Kelapa.
Suasana di atas Menara Syahbandar yang berada di kawasan Museum Bahari, Jakarta Utara, Jumat (22/09/2023). (ANTARA/Erlangga Bregas Prakoso)


Sejarah Menara Syahbandar

Menara Syahbandar berdiri di bekas Bastion (benteng) Culemborg, benteng yang dibangun Gubernur Jenderal Antolo van Dieman, seiring pembangunan tembok Kota Batavia sekitar 1645. Nama Culemborg merujuk tempat kelahiran Dieman.

Sebelum dibangun Menara Syahbandar, fungsi menara pemantau sudah dibangun di dekat Bastion Culemborg dengan bentuk tiang menara yang di atasnya terdapat pos bagi petugas.

Benteng Culemborg dihancurkan pada saat perang melawan pasukan Jayakarta. Menara pengawas itu persis dalam lingkungan benteng tersebut.

Kemudian, pada 1839 Menara Syahbandar (Uitkijk) berfungsi sebagai menara pemantau bagi kapal-kapal yang keluar masuk Kota Batavia melalui jalur laut.

Menara itu juga berfungsi sebagai kantor pabean untuk ekspor-impor yang mengumpulkan pajak atas barang-barang yang dibongkar di Pelabuhan Sunda Kelapa.

"Karena Pelabuhan Sunda Kelapa ketika itu menjadi pelabuhan internasional kedatangan bangsa asing dari seluruh dunia, itu pintu gerbangnya di Pelabuhan Sunda Kelapa," kata Edukator Museum Bahari, Firman Faturohman, saat menjelaskan sejarah Menara Syahbadar.

Ruang paling bawah menara dulunya juga digunakan sebagai penjara para anak buah kapal (ABK) yang tertangkap mencuri dan berbuat onar di atas kapal. Di ruangan ini, mereka tidak disiksa. Mereka hanya dikurung paling lama 2 bulan. Namun, karena kondisi ruangan ini sempit dan lembap, para tahanan biasanya terserang sakit kuning karena virus.

Salah kaprah titik nol KM

Menara Syahbandar merupakan bagian dari kompleks Museum Bahari yang dikelola oleh Unit Pengelola Museum Kebaharian Jakarta. Bangunan itu merupakan saksi bisu perkembangan pelabuhan di Jakarta dan punya sejarah yang signifikan.

Kompleks itu terdiri dari dua menara, yaitu Menara Sinyal dan Menara Syahbandar. Keduanya memiliki kisah menarik tentang titik nol meridian utama yakni tempat penting untuk pengukuran waktu dan navigasi.

Edukator Museum Bahari, Firman Faturohman, juga mengatakan bahwa banyak yang salah memahami Menara Syahbandar sebagai titik nol kilometer Jakarta. Dia meluruskan, titik nol yang dimaksud merupakan titik meridian utama yang menunjukkan waktu atau Greenwich Meridian Time (GMT).

Sementara ada beberapa versi tentang titik nol Batavia. Menara Syahbandar dulu bukanlah titik nol kilometer, tetapi nol meridian utama. "Ternyata itu adalah titik nol meridian utama atau titik nol sinyal waktu ketika itu. Nah fungsinya itu hampir sama seperti GMT, Greenwich Meridian Time. Jadi di sini ketika itu menjadi penghitungan waktu utama di Batavia," kata Firman menuturkan.

Menara Sinyal yang merupakan bagian dari kompleks itu dulu berfungsi sebagai titik referensi waktu utama di Batavia, mirip dengan GMT. Ketika kapal-kapal masuk dari Pelabuhan Sunda Kelapa, para pelaut menyesuaikan waktu mereka dengan melihat bola waktu yang terletak di Menara Sinyal.

"Jadi ketika orang-orang masuk dari Pelabuhan Sunda Kelapa akan menyesuaikan waktu dengan melihat bola waktu yang ada di menara sinyal," kata dia.

Sembari menunjuk lukisan-lukisan masa lalu kondisi Menara Syahbandar Firman melanjutkan,  dulu di samping Menara Sinyal berdiri bola waktu besar yang dapat dilihat orang-orang yang masuk dari Pelabuhan Sunda Kelapa.

Bola waktu besar itu dapat menginformasikan waktu di area Batavia. Lewat menara sinyal tersebut, bola waktu itu setiap jam 12 siang dan malam naik ke atas. Namun sayangnya bola waktu itu sudah tidak ada sehingga sering kali banyak yang sering salah kaprah mengartikan fungsi titik nol di Menara Sinyal.

Fungsi Menara Sinyal sebagai penanda titik nol meridian utama atau garis bujur asal dijelaskan oleh satu prasasti China yang ada di dalam bangunan menara.

Terdapat dua prasasti China di dalam bangunan menara, tetapi hanya satu dari mereka yang menjelaskan fungsi Menara Sinyal. Salah satu prasasti memuat aksara China yang bertuliskan “celiang”, “ju”, “jingdu”, dan “yuandian”. Jika diterjemahkan seluruhnya, prasasti berukuran 50x56 centimeter itu berarti “kantor survei” pada bagian kiri prasasti dan “asal garis bujur” pada bagian kanan.

Sementara itu, prasasti lainnya merupakan batu nisan bertuliskan “Hui Yi Liu Xi” yang berarti “Sungai Kecil Hui Yi Liu” pada bagian kiri, kemudian di tengahnya bertuliskan “Huang Chi Weng fu jun mu” yang berarti makam “Huang Chi Weng” yang merupakan seorang kepala rumah tangga, dan kanannya bertuliskan “Guang Xu Shi Si Nian Li” yang menunjukkan dia dimakamkan pada Tahun 14 Masa Kerajaan Guang Xu.

Adapun kedua prasasti itu diperkirakan dibuat secara bersamaan pada 1888. Pada waktu tersebut sinyal waktu dipindahkan ke Tanjung Priok, tetapi meridian utama yang melewati bangunan itu masih digunakan hingga 1942.
Dua prasasti China di dalam Menara Sinyal yang berada di kawasan Museum Bahari, Jakarta Utara, Jumat (22/09/2023). (ANTARA/Erlangga Bregas Prakoso)



Wilayah terbatas pribumi

Menara Syahbandar sering kali disebut sebagai "Menara Asia Bandar".

Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra mengatakan kawasan ini terkait dengan kekuasaan tuan-tuan Belanda dan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) pada masa itu.

Ia menjelaskan daerah itu pada awalnya merupakan bagian dari benteng pertahanan dan menjadi wilayah yang dijaga ketat oleh aparat. Orang Betawi dan orang pribumi lainnya dibatasi aksesnya untuk masuk dan keluar kawasan, terutama pada malam hari, demi menjaga keamanan Batavia.

"Kita dulunya orang-orang (pribumi) yang diusir-usir dari situ wilayah itu ya boleh masuk pada siang hari dan nanti ketika beduk maghrib semua pribumi sudah harus keluar dari kawasan itu," kata Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra.

Kawasan itu memiliki sejarah panjang terutama sejak masa pemerintahan Kerajaan Sunda Pajajaran dan perjanjian antara Portugis dengan Pajajaran. Istilah "Syahbandar" pun diperkirakan pertama kali muncul pada periode tersebut. Syahbandar adalah orang kepercayaan dari kerajaan bawahan Sunda Pajajaran yang bertanggung jawab mengelola Pelabuhan Sunda Kelapa.

Meskipun Menara Syahbandar memiliki akar sejarah yang dalam, bangunan itu baru dibangun pada pertengahan Abad Ke-19 oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Hal itu dilakukan untuk mengawasi aktivitas kapal di kawasan tersebut, terutama ketika VOC memasuki masa kekuasaannya.
Suasana Menara Syahbandar yang berada di kawasan Museum Bahari, Jakarta Utara, Jumat (22/09/2023). (ANTARA/Erlangga Bregas Prakoso)


Menara Miring

Menara Syahbandar juga terkenal dengan kemiringannya yang menurut beberapa penelitian menunjukkan menara itu miring 2,5 derajat ke arah selatan sehingga disandingkan dengan menara Pisa di Italia.

Menara yang terdiri atas tiga lantai itu memiliki posisi persis di sisi Jalan Raya Pakin, yang saat ini kerap padat oleh kendaraan berat seperti truk kontainer. Alhasil, laju kendaraan-kendaraan berat itu menambah beban getar di sisi selatan menara.

Oleh karena itu, Menara Syahbandar juga disebut “Menara Goyang”, karena menara itu terasa bergoyang ketika mobil melewati sekitarnya.

Kepala Unit Pengelola Museum Kebaharian Jakarta Mis'ari mengatakan pengelola terus melaporkan kajian tentang dampak getaran terhadap bangunan kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Harapannya, Pemprov dapat memikirkan persoalan tersebut termasuk ancaman penurunan muka tanah di Jalan Pakin.

"Kalau secara aturannya memang harusnya steril dulu (di sekitar menara), iya kalo kebijakan harus dikoordinasikan, karena jalurnya terkait dengan jalur ekonomi," Kata Mis'ari saat dikonfirmasi di lokasi.

Untungnya hingga saat ini bangunan Menara Syahbandar cukup terawat dengan tangga kayu jati yang kokoh serta cat yang baru. Bagian luar dan dalamnya pun bersih. Kayu-kayu jati penyusun tangga, lantai tiga, dan titik pantau masih tampak kokoh.

Lewat jendela-jendela pantau, pengunjung dapat memandang deretan perahu di Pelabuhan Sunda Kelapa dan Museum Bahari di utara, Kafe VOC Galangan di selatan yang dulunya galangan kapal VOC, serta pemandangan Jalan Pakin di barat dan Jalan Krapu di timur.

Meskipun Menara Syahbandar kini tak lagi berfungsi sebagaimana peruntukannya dulu, bangunan itu menjadi peninggalan berharga generasi saat ini dan generasi masa depan, karena dari sana mereka dapat mempelajari sejarah maritim di Indonesia termasuk teknologi pelayaran yang berkembang pada masa Jakarta tempo dulu.

 

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023