Jakarta (ANTARA) - Dalam pesawat Kepausan yang membawa rombongan dari Marseilles kembali ke Vatikan, Paus Fransiskus mengemukakan rasa frustrasinya terkait dengan perang di Ukraina yang kemudian dilanjutkan dengan membicarakan mengenai industri persenjataan.

Sebagaimana dikutip dari kantor berita Reuters pada 23 September, Paus Fransiskus berpendapat bahwa kepentingan dalam perang ini sepertinya bukan hanya terkait dengan masalah Ukraina-Rusia, tetapi juga berhubungan aspek perdagangan senjata.

Paus lalu melanjutkan bahwa seharusnya berbagai pihak tidak boleh "bermain-main" dengan kemartiran rakyat, tetapi yang perlu dilakukan adalah membantu mereka dalam memecahkan permasalahan.

Ketika kemudian para wartawan ingin mengklarifikasi makna dari ucapan Sri Paus, juru bicara Vatikan Matteo Bruni menyatakan bahwa Paus tidak tidak mengambil sikap mengenai apakah negara-negara harus terus mengirim senjata ke Ukraina atau berhenti mengirimkan persenjataan.

Namun, menurut Bruni, Paus mengemukakan sebuah paradoks bahwa mereka yang yang memperdagangkan senjata tidak pernah menanggung konsekuensi dari pilihan mereka tetapi membiarkannya dibayar oleh orang-orang, seperti warga Ukraina, yang telah tewas dalam pertikaian dampak konflik tersebut.

Berbagai pihak perlu merenungi kalimat itu, karena memang benar bahwa dengan semakin lamanya suatu konflik, termasuk juga perang di Ukraina, sebetulnya hal itu akan membuat semakin banyak persenjataan yang terlibat, sehingga tentu saja menguntungkan para pelaku yang menjadi produsennya.

Ukraina sendiri, yang bila hanya bergantung kepada kapabilitas persenjataannya sendiri dapat dikatakan belum dapat melampaui jumlah senjata Rusia, sangat dibantu dengan pasokan persenjataan dari negara-negara Barat.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy baru-baru ini juga telah berkunjung ke Amerika Serikat, di mana Zelenskyy meminta kepada anggota Kongres AS untuk terus memberikan dukungan, termasuk pasokan persenjataan.

Permintaan itu di tengah keraguan beberapa anggota Partai Republik (yang menguasai DPR Amerika Serikat) mengenai apakah Kongres harus menyetujui lebih banyak bantuan kepada Ukraina.

Sebelumnya, Gedung Putih sudah mendesak Zelenskyy agar bertemu dengan parlemen AS untuk menyampaikan pendapatnya mengenai bantuan militer berkelanjutan, mengingat sejumlah anggota parlemen masih keberatan.

Seperti diketahui, saat ini berbagai negara di Barat termasuk Amerika Serikat sedang menghadapi tekanan politik internal agar dapat menghentikan bantuan persenjataan ke Ukraina yang dianggap memboroskan anggaran negara.

Ukraina saat ini, sejak beberapa bulan lalu, memang sedang fokus dalam melakukan serangan balasan.

Pada 22 September misalnya, rudal Ukraina menghantam markas besar angkatan laut (AL) Laut Hitam Rusia di Pelabuhan Sevastopol, Krimea, sehingga sempat menyebabkan kebakaran, ujar gubernur setempat Mikhail Razvozhayev via aplikasi Telegram.

Beberapa hari setelahnya, serangan udara Rusia pada di wilayah Odesa di Ukraina selatan menyebabkan "kerusakan signifikan" pada infrastruktur pelabuhan dan menghancurkan beberapa fasilitas penyimpanan biji-bijian.

Saling serang
Kegiatan saling serang itu, baik oleh pihak Rusia maupun Ukraina, tentu saja memerlukan pasokan persenjataan yang memadai agar hasilnya efektif.

Bila Ukraina sangat bergantung kepada pasokan persenjataan dari negara-negara Barat, maka Rusia sangat meyakini dengan kemampuan industri persenjataannya yang digdaya, tentu saja dengan adanya dugaan bantuan dari pihak lain sebagaimana disebut pihak Barat, seperti drone dari Iran.

Presiden Rusia Vladimir Putin juga baru-baru ini menerima kunjungan tingkat tinggi dari pemimpin Korea Utara Kim Jong Un.

Pertemuan antara Putin dan Kim tersebut, yang membahas berbagai hal termasuk adanya rencana kerja sama di bidang militer, tentu saja meresahkan pihak Barat.

Kecemasan tersebut antara lain karena Kim memiliki kemungkinan untuk membantu Rusia dalam memperpanjang peperangan yang telah melanda di Ukraina sejak lebih dari 19 bulan lalu itu.

Selama sepekan mengunjungi Rusia, Kim bertemu dengan Putin, Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu dan mengunjungi sejumlah lokasi militer serta meninjau beragam teknologi pertahanan Rusia.

Korea Selatan dan Amerika Serikat menyatakan bahwa kesepakatan militer apa pun antara Putin dan Kim akan melanggar sanksi PBB terhadap Korea Utara.

Namun, Putin menegaskan bahwa Rusia tidak melanggar dan tidak akan melanggar perjanjian apa pun terkait dengan Korea setelah bertemu dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un.

Sementara itu, negara-negara yang tergabung dalam aliansi Pakta Persenjataan Atlantik Utara (NATO) berupaya untuk terus membantu memberikan pasokan persenjataan kepada Ukraina agar dapat membebaskan sejumlah wilayah yang saat ini diduduki Rusia.

Sejumlah negara itu, seperti Republik Ceko telah menandatangani surat perjanjian dengan Denmark dan Belanda mengenai dukungan keuangan untuk pengiriman senjata Ceko ke Ukraina.

Menurut Reuters, Kementerian Pertahanan Ceko akan membantu menutupi pasokan tank tambahan, howitzer, senjata kecil, kapasitas pertahanan udara dan bentuk peperangan elektronik atau amunisi.

Proyek pertama adalah sumbangan tank T-72EA yang dimodernisasi dalam waktu dekat, katanya. Peralatan lainnya akan siap tempur dan dikirim dalam beberapa bulan mendatang dan pada tahun 2024.

Perjanjian pendanaan ini serupa dengan kesepakatan yang dicapai tahun lalu dengan Belanda dan Amerika Serikat. Kementerian tersebut mengatakan sekitar setengah dari perkiraan 90 tank berdasarkan perjanjian itu telah dikirimkan.

Terkait dengan tank, Presiden Zelenskyy melalui unggahan di Telegram juga menyatakan rasa senangnya karena negaranya telah menerima kiriman salah satu tank andalan AS, yaitu tank Abrams. Meski tidak disebutkan jumlahnya, diharapkan Zelenskyy dapat memperkuat pasukan negaranya.

Tidak hanya menyampaikan rasa senangnya, Zelenskyy juga menyatakan keinginannya untuk adanya kontrak baru serta memperluas sumber pasokan senjata.

Miliaran dolar
Berdasarkan situs berita analystnews.org, peralatan militer seharga hingga senilai miliaran dolar telah dikucurkan ke Ukraina sejak Rusia melancarkan invasi militer skala penuh ke negara tersebut.

Pada akhir 2022, diperkirakan bahwa pemerintah Amerika Serikat telah menguras anggaran hampir 20 miliar dolar AS (Rp309,62 triliun) untuk mempersenjatai Ukraina.

Sedangkan Uni Eropa telah memberikan bantuan militer kepada Ukraina sebesar 4,6 miliar euro (sekitar Rp75,39 triliun), yang menandai pertama kalinya dalam sejarah blok tersebut mempersenjatai negara yang bukan bagian dari blok tersebut.

Inggris juga menjanjikan bantuan militer senilai 4,6 miliar pounds (Rp86,7 triliun) dan menargetkan melatih 30.000 warga Ukraina pada akhir 2023.

Seluruh bantuan tersebut dinilai hanya membuat perusahaan industri pertahanan sebagai pemenang dalam konflik tersebut.

Disebutkan bahwa dalam waktu beberapa pekan setelah invasi Rusia, kapitalisasi sejumlah produsen senjata Amerika Serikat dan Eropa telah melonjak pesat.

Dengan demikian, konflik Rusia-Ukraina yang saat ini telah berlangsung tanpa terlihat kapan akhirnya itu merupakan pusat keuntungan besar industri persenjataan.

Tentu saja persenjataan dalam jumlah yang besar merupakan salah satu hal penting yang dibutuhkan Ukraina untuk merebut kembali wilayahnya yang dicaplok Rusia.

Namun, perlu direnungkan pula apakah dengan menambah semakin banyak pasokan persenjataan, yang akan semakin memperkaya berbagai perusahaan produsen persenjataan, merupakan cara yang paling efektif dan efisien dalam menghentikan konflik tersebut?

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dalam Pertemuan ke-56 Menteri Luar Negeri ASEAN di Jakarta, beberapa waktu lalu, mengatakan bahwa Indonesia menyerukan kolaborasi nyata “untuk menyelamatkan dunia”, di tengah perang yang masih berkecamuk antara Rusia dan Ukraina.

Retno juga menyampaikan bahwa sebagai teman Rusia maupun Ukraina, Indonesia tak kenal lelah untuk menyerukan perdamaian.

Untuk itu, Menlu RI mengemukakan bahwa kemitraan yang dilakukan baik dengan Rusia maupun Ukraina harus mewujudkan paradigma ini dalam tindakan nyata.

Perkataan yang dituturkan Menlu RI itu senada dengan yang disampaikan oleh Sri Paus pada awal artikel ini, sehingga perlu untuk direnungkan.

Satu hal yang pasti, memperkaya para produsen persenjataan di berbagai lokasi di dunia, tampaknya tidak selaras dengan seruan tindakan nyata untuk mewujudkan perdamaian dalam konflik Rusia-Ukraina.

Copyright © ANTARA 2023