Berbekal kesamaan visi dan misi untuk merestorasi ekosistem laut yang telah rusak, nelayan-nelayan "illegal fishing" lantas membentuk kelompok bernama Pelita
Jakarta (ANTARA) - 17 Juli 2023. Air laut berwarna biru memantulkan pendar cahaya Matahari dengan latar belakang kapal-kapal penumpang berjenis roro dan feri yang menancapkan jangkar di tengah laut.

Pagi itu pukul 7.30 WITA, Pelabuhan Poto Tano tampak sibuk. Banyak kapal sedang menanti antrean bongkar muat.

Tak jauh dari pelabuhan kapal penghubung antarpulau, Amirruddin, 36, melangkah kaki menuju kapal berbahan fiber yang tertambat di pelabuhan nelayan. Dia mengenakan pakaian selam berwarna merah dan biru yang dibungkus singlet abu bermotif garis-garis serta celana pendek biru.

"Hari ini kita akan mengunjungi beberapa pulau di Gili Balu untuk melihat menara pantau, pusat rehabilitasi mangrove, dan snorkeling," ujarnya sembari menyalakan mesin tempel perahu.

Angin tenggara bertiup kencang menciptakan gelombang laut yang mengombang-ambingkan perahu yang tengah berlayar menuju kawasan pulau-pulau kecil Gili Balu di Kecamatan Poto Tano, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat.

Amirruddin yang saat itu memegang penuh kendali perahu memasang mata siaga mengikuti alunan gelombang laut agar perahu yang ia nakhodai tidak karam.

Pria berbadan tegap dan kekar itu sebetulnya adalah Ketua Nelayan Poto Tano. Cukup dengan melihat riak-riak permukaan air laut, ia sudah bisa mengetahui jenis ikan apa saja yang berenang di sana.

Kemampuan itu diajarkan langsung oleh laut selama puluhan tahun kepada masyarakat pesisir yang bermukim di Poto Tano. Bahkan, Amirrudin mempunyai kemampuan selam bebas atau free-diving selama 1 menit 45 detik dengan kedalaman mencapai 25 meter tanpa bantuan alat pernapasan.

Tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul 08.32 WITA, pelayaran dari pelabuhan nelayan ke Pulau Paserang—yang menjadi lokasi menara pantau—hanya membutuhkan waktu setengah jam.

Gunung Rinjani yang berada di Lombok tampak gagah saat dilihat dari Sumbawa Besar. Air laut yang menguap oleh sinar Matahari membentuk bulir-bulir garam di permukaan kulit yang tidak tertutup pakaian.

Sebuah menara setinggi 12 meter yang dicat warna kuning menjulang kokoh di pulau karst yang diselimuti savana. Menara itu dibangun melalui program rehabilitasi terumbu karang Coremap-CTI yang diinisiasi oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional.

"Pulau Paserang yang berada di Selat Alas menjadi tempat berkumpul ikan. Dulu, saya sering mengebom ikan di sekitar sini," celetuk Amirruddin.

Pulau Paserang memiliki luas sekitar 47 hektare yang sebagian besar berupa padang rumput. Tak jauh dari pulau itu ada Pulau Kambing dan Pulau Belang.

Ketiga pulau itu merupakan segitiga emas bagi hewan-hewan laut mulai dari aneka ikan konsumsi, ikan hias, penyu, hiu, hingga paus.


Penangkapan ikan ilegal

Pada 2002, Amirruddin masih berumur 15 tahun, namun tubuhnya sangat lincah menyelam hingga ke dasar laut untuk menangkap ikan. Keahlian itu ia peroleh dari sang kakek sebagai penduduk Bajo.

Saat itu ia sudah menjadi penyelam yang menangkap ikan dengan cara tidak sah atau illegal fishing. Eksploitasi kekayaan laut yang bersifat merusak itu dilakukan demi mencukupi kebutuhan dapur.

Dua tahun kemudian, Amirrudin belajar membuat bom dan meracuni ikan serta lobster. Jari-jemarinya sangat piawai merakit instalasi bom ikan.

Setiap melaut ia melepaskan setidaknya 10 sampai 15 bom ke laut. Semua jenis ikan mati terkena ledakan, kecuali tongkol, hiu, gurita, dan cumi-cumi.

Perairan Pulau Paserang adalah lokasi favorit untuk mengebom ikan. Ketika Bulan purnama, ikan selalu mampir ke perairan itu.

Saat pagi, ikan-ikan berkumpul terlebih dahulu dan mulai menyebar ketika Matahari terbit di ufuk timur. Itu adalah waktu terbaik melepaskan bom ikan.

Setiap melaut bisa memanen ikan paling sedikit 300 kilogram dan paling banyak 4 ton. Bahkan, sekali mengebom bisa mendapatkan ikan hingga mencapai berat 1 ton.

Ledakan bom ikan menghancurkan terumbu karang seluas 5 meter persegi. Artinya, bila sehari mengebom 10 kali, maka terumbu karang yang rusak mencapai 50 meter persegi.

Gili Balu sejak dahulu hingga sekarang memang terkenal sebagai rumah ikan, lobster, gurita, penyu, dan aneka satwa laut lainnya. Gugusan terumbu karang dan hutan mangrove yang membentang luas menjadi tempat pemijahan ikan-ikan.
Sejumlah anak mencari kerang dan ikan yang terjebak air laut surut di pesisir Poto Tano, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Minggu (16/7/2023). ANTARA/Sugiharto Purnama


Amirrudin melakukan kegiatan illegal fishing itu selama enam tahun. Pada 2010, dia ditangkap oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumbawa Barat dan ditahan sehari di Polsek Seteluk.

Penangkapan itu menumbuhkan rasa malu di dalam dirinya. Ia dikucilkan oleh masyarakat karena kegiatan menangkap ikan menggunakan bom dan racun telah merusak ekosistem laut di Gili Balu.

Amirrudin lantas memutuskan merantau ke Bali untuk melanjutkan aktivitas illegal fishing, sebab menangkap ikan secara ilegal sudah tidak memungkinkan untuk dilakukan di kampungnya.

"Kami selalu diburu dan disingkirkan karena illegal fishing tidak dibantu dan tidak dipandang oleh Pemerintah, jadi saya ke Bali. Di Bali, kami memanah ikan sampai ke Laut Selatan," ucapnya.

Di Bali, Amirrudin tidak mengebom ikan tetapi menangkap ikan dengan cara memanah. Aktivitas itu mengharuskannya menyelam sehingga membutuhkan alat batu pernapasan dari kompresor.

Selama di Pulau Dewata itulah Amirrudin yang memiliki hobi olahraga jim bertemu dengan para pegiat pariwisata dari berbagai daerah. Berkat diskusi panjang dan tukar pikiran itulah tumbuh kesadaran di dalam dirinya untuk melakukan konservasi dan membangun sektor pariwisata di Gili Balu.

Pada 2017, Amirrudin memutuskan pulang ke Poto Tano untuk menembus semua dosa yang pernah ia lakukan terhadap laut. Selama perjalan pulang dari Bali ke Sumbawa Barat, ia terus mengenang semua praktik illegal fishing yang telah dilakukan sejak 2002 sampai 2010.


Memperjuangkan konservasi laut

Permukiman nelayan di Poto Tano tampak tidak banyak berubah meski telah ditinggalkan selama 7 tahun. Rumah-rumah masih beratapkan seng menghadap ke arah laut.

Pekerjaan pertama yang Amirrudin lakukan adalah membuat spider web untuk transplantasi terumbu karang di Gili Balu. Saat itu penduduk menganggapnya gila karena membuat rangkaian besi yang tidak diperuntukan sebagai kursi atau meja, tapi sebagai rumah bagi terumbu karang.

Bapak empat anak itu membuat spider dengan uang sendiri yang dikumpulkan dari melaut. Spider pertama yang dia bikin berukuran 1 x 2 meter yang dibenamkan di pesisir Pulau Namo.

Pada 2018, Amirrudin memeriksa transplantasi terumbu karang yang telah dikerjakan sebelumnya dan mendapatkan fakta bahwa terumbu karang hanya tumbuh satu sentimeter selama satu tahun. Ia lantas termenung memikirkan betapa susahnya memperbaiki ekosistem laut yang rusak akibat bom ikan dan racun potas.

Informasi tentang terumbu karang yang tumbuh sangat lambat itu lantas disampaikan kepada nelayan lain yang juga melakukan praktik illegal fishing di Gili Balu.

Berbekal kesamaan visi dan misi untuk merestorasi ekosistem laut yang telah rusak, nelayan-nelayan illegal fishing lantas membentuk kelompok bernama Pelita yang merupakan akronim dari Persaudaraan Nelayan Gurita. Amiruddin adalah ketua kelompok nelayan tersebut.

Ketika awal berdiri pada 2018, jumlah anggota Kelompok Nelayan Pelita hanya 16 orang. Mereka semua punya latar belakang illegal fishing dan memutuskan berhenti melakukan praktik merusak tersebut.

Saat ini jumlah anggota Kelompok Nelayan Pelita telah berlipat ganda menjadi 53 orang. Mereka mengkampanyekan kegiatan menangkap ikan secara legal menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan.

Selain itu, mereka juga aktif melakukan transplantasi terumbu karang, menghijaukan pesisir dengan pepohonan mangrove, menjadi pemandu wisata, dan mendata ikan apa saja yang masuk ke perairan Gili Balu.

Saat menjadi pemandu wisata, Amirrudin selalu membawa turis ke Pulau Paserang untuk memperlihatkan jejak kerusakan yang pernah ia timbulkan saat masih melakukan praktik illegal fishing.
Sejumlah wisatawan berlayar dengan latar belakang Gunung Rinjani di perairan Gili Balu, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Senin (17/7/2023). ANTARA/Sugiharto Purnama


Tak hanya aktif melakukan kegiatan konservasi, Kelompok Nelayan Pelita yang ia pimpin juga rutin menggelar acara panen gurita.

Mereka menutup perairan Pulau Paserang pada 2021, lalu menutup Pulau Madiki pada 2022, dan menutup Pulau Kambing pada 2023.

Sebelum acara dimulai, kawasan perairan ditutup selama 3 bulan agar gurita berkembang biak dan tumbuh besar. Tahun ini penutupan dilakukan pada bulan Januari sampai Maret.

Selama 3 bulan, seluruh nelayan dilarang menangkap gurita, mereka hanya diperbolehkan menangkap ikan dan kerang.

Ketika panen tiba, setiap nelayan bisa meraup pendapatan sebesar Rp1,5 juta saat hari pertama pembukaan acara tersebut. Kegiatan memanen gurita bisa berlangsung selama 20 hari.

Amirrudin menuturkan kegiatan konservasi yang telah dilakukan selama 5 tahun telah membuahkan hasil. Sebanyak 60 persen ekosistem laut telah pulih.

Untuk melihat ikan-ikan karang yang cantik, seperti nemo dan kakatua, cukup snorkeling di pinggiran pulau yang hanya memiliki kedalaman air tak sampai 1 meter.

Meski ekosistem laut yang rusak perlahan mulai pulih, perjuangan Amirrudin dan nelayan-nelayan lain di Poto Tano belum usai. Mereka masih mempunyai pekerjaan rumah untuk membangun industri pariwisata yang berkelanjutan.

Poto Tano saat ini masih sepi wisatawan, padahal hanya 7 jam perjalanan dari Gili Trawangan di Pulau Lombok. Gili Balu yang memiliki pemandangan laut tak kalah indah tampaknya belum terlalu memikat minat para turis untuk berkunjung.

Pemerintah daerah setempat kini sedang mengupayakan pembangunan bandara untuk memudahkan akses wisatawan dari Lombok ataupun Bali agar datang ke Gili Balu.












 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023