Saya senang melakukannya karena saya digaji oleh Gusti Allah, dengan hidup yang lebih damai dengan alam.
Jakarta (ANTARA) - Keberlangsungan hidup manusia di Bumi ini bergantung kepada alam sekitar. Tanah, air, dan udara menjadi elemen utama yang berperan di dalamnya.

Tanah diperlukan manusia untuk tempat tinggal dan melakukan berbagai kegiatan seperti bercocok tanam. Sementara air tak hanya untuk minum dan mandi, lebih dari itu air berfungsi menunjang proses metabolisme dalam tubuh manusia.

Adapun udara diperlukan makhluk hidup untuk bernapas karena memiliki kandungan oksigen di dalamnya.

Tiga elemen dasar kehidupan ini sangat dibutuhkan dalam jumlah banyak dan bermutu baik. Namun semua itu tidak akan berkualitas jika lingkungan sekitar berada dalam kondisi yang memprihatinkan.

Kondisi lingkungan buruk di antaranya disebabkan oleh perilaku manusia yang merusak, tidak bertanggung jawab terhadap sampah, pohon dan tumbuhan sekitar, serta tak peduli dengan kebersihan dan kenyamanan lingkungan.

Gaya hidup itulah menjadi salah satu penyebab terjadinya perubahan iklim dengan pesat, yang mengacu pada peningkatan gas rumah kaca di atmosfer, menyebabkan suhu global meningkat.

Berdasarkan data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 1800-an, aktivitas manusia telah menjadi penyebab utama perubahan iklim, terutama akibat pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas.

Contoh emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim adalah karbon dioksida dan metana yang berasal dari penggunaan bensin untuk kendaraan, pembukaan lahan, dan hutan juga dapat melepaskan karbon dioksida.

Selain itu, tempat pembuangan sampah juga merupakan sumber utama emisi metana. Energi, industri, transportasi, bangunan, pertanian, dan tata guna lahan termasuk di antara penghasil emisi utama.

Indonesia, dengan ekosistemnya yang unik dan keragaman geografisnya, telah merasakan dampak perubahan iklim dengan cukup signifikan.

Salah satu dampak yang paling nyata adalah meningkatnya intensitas cuaca ekstrem, termasuk banjir, kekeringan, dan badai. Kenaikan permukaan air laut juga menjadi ancaman serius bagi ribuan pulau di Indonesia.

Selain itu, perubahan iklim berdampak pada sektor pertanian dan kehutanan, yang merupakan tulang punggung ekonomi negara ini.

Peningkatan suhu dan cuaca yang tidak dapat diprediksi bisa merusak tanaman dan hutan, mengancam ketahanan pangan dan sumber daya alam.

Dampak perubahan iklim tersebut telah dirasakan masyarakat Kelurahan Kebon Kosong, Jakarta Pusat, sejak 2012.

Kala itu banjir sempat menggenangi permukiman warga dengan ketinggian di atas lutut orang dewasa selama tujuh hari, tujuh malam berturut-turut akibat hujan deras yang terjadi selama beberapa hari.

Tak berhenti di situ, warga juga pernah merasakan kekeringan yang cukup parah, krisis air bersih, dan sejumlah tanaman kering dan mati.

Kondisi itu menggerakkan hati seorang warga Kelurahan Kebon Kosong yakni Joko Sarjono untuk mengubah perilaku masyarakat di tempat tinggalnya.


Merintis proklim 

Pergerakan awal dilakukan oleh Joko, yang kini telah ditunjuk sebagai Ketua Forum Masyarakat Peduli Lingkungan (Formapel) Jakarta Pusat, sekaligus Ketua Pengelola Kampung Iklim Kelurahan Kebon Kosong, dengan mengubah rawa-rawa seluas 2,8 hektare yang berada di RW 06/RW 14, menjadi area penghijauan.

Berbagai jenis pohon pelindung seperti ketapang kencana, glodokan, kemudian tanaman hias, hingga sayur-mayur ditanam di wilayah ini.

Langkah selanjutnya, Joko merangkul Ketua RW 06 dan sejumlah warga untuk membongkar tempat pembuangan sampah sementara.

Tumpukan sampah dibuang ke tempat pembuangan akhir, lalu lahannya dikelola untuk penghijauan sehingga kini tidak ada lagi sampah yang bertumpuk di wilayah itu.

Semua rintisan yang dilakukan Joko ikhlas tanpa mengharapkan imbalan atau upah. Dirinya hanya ingin hidup berdamai dengan alam demi keberlangsungan hidup generasi selanjutnya.

“Saya senang melakukannya karena saya digaji oleh Gusti Allah, dengan hidup yang lebih damai dengan alam,” kata Joko.

Upaya itu mendapat apresiasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2017 sebagai lokasi yang menjalankan Program Kampung Iklim (Proklim) Tingkat Pratama.

Upaya mitigasi dan adaptasi terus ditingkatkan sehingga pada Agustus 2023, RW 06, Kelurahan Kebon Kosong, telah mendapatkan sertifikasi sebagai Proklim Tingkat Lestari.

Sertifikasi diberikan karena wilayah tersebut telah menjadi percontohan untuk 25 lokasi yang tersebar di delapan kelurahan di Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat.

Perilaku masyarakat dinilai semakin peduli terhadap lingkungan, berbagai mitigasi terhadap dampak perubahan iklim juga terus ditingkatkan dan dipersiapkan dengan matang.


Mitigasi warga Proklim Lestari

Adaptasi perubahan iklim dilakukan RW 06, Kelurahan Kebon Kosong, untuk pengendalian kekeringan dan banjir dengan instalasi pemanenan air hujan (PAH) sebanyak 7 tandon, masing-masing berkapasitas 300 liter.

Melakukan aksi-aksi penghematan air, seperti memakai keran, menggunakan kembali air cucian beras, air AC, dan air bekas wudhu untuk menyiram tanaman.

Membangun sumur resapan sebanyak 55 unit menggunakan modular tank yang berfungsi sebagai tangki sumur resapan seluas 1.000 meter persegi, mampu menampung debit air hujan hingga 600 meter kubik.

Normalisasi saluran-saluran pembuangan air, dan membuat tanggul banjir dengan menggunakan sheet pile di sepanjang Kali Haji Ung. Hal ini bertujuan untuk mengurangi risiko tergerusnya dinding kali akibat masuknya air laut.

Selain itu, adaptasi ketahanan pangan melalui urban farming dengan memanfaatkan lahan-lahan terbuka yang ada di lingkungan masyarakat seperti lahan pekarangan, bantaran kali, lahan tidur, turus jalan, gang sempit, rooftop, dan lain sebagainya.

Di wilayah ini, warga yang aktif dalam kegiatan urban farming tergabung dalam sebuah Kelompok Wanita Tani Mawar.

Terdapat lahan tidur yang tidak terawat seluas 2.700 meter persegi yang ditanami berbagai macam tanaman pangan jenis ubi-ubian, sayuran, serta tanaman toga dan herba.

Mengembangkan pertanian hidroponik dengan menanam berbagai jenis sayuran. Hasil panen tersebut untuk memenuhi permintaan restoran cepat saji sebanyak 8 kilogram setiap hari.

Sementara sebagian dari hasil panen tanaman toga diolah menjadi minuman teh rosela, minuman jahe, dikemas dalam botol plastik berukuran 250 mililiter dan dijual dengan harga Rp15.000–Rp20.000.

Upaya pengendalian penyakit akibat perubahan iklim juga dilakukan. Warga rutin melaksanakan 3M plus, yaitu menguras dan menyikat tempat penampungan air, menutup tempat penampungan air, memanfaatkan dan mendaur ulang barang bekas, memasukkan ikan dalam kolam, serta menanam tanaman pengendali nyamuk.

Terdapat juga 14 tim jumantik yang tersebar di setiap RT, yang rutin berkeliling untuk memastikan rumah warga tidak menjadi sarang jentik nyamuk.

Pengelolaan sampah dari hulu ke hilir, dengan menerapkan peraturan tegas untuk semua warga RW 06, yaitu sampah yang tidak dipilah atau masih tercampur antara organik dan anorganik tidak akan diangkut oleh petugas pengangkut sampah.

Dengan demikian warga sudah paham tentang bagaimana cara mengolah sampah yang baik dan benar sehingga pengangkutan hanya untuk sisa sampah yang tidak dapat dimanfaatkan lagi.

Sampah organik warga dibawa ke bank sampah untuk dikomposkan di tong-tong komposter, untuk dijadikan pupuk padat dan cair yang digunakan sebagai kebutuhan pertanian di RW 06 Kebon Kosong. Sampah organik juga dimanfaatkan untuk ternak maggot.

Sedangkan sampah anorganik dibawa ke bank sampah untuk ditimbang dan kemudian hasilnya dicatat di buku nasabah bank sampah.

Dari kegiatan bank sampah ini, RW 06 Kebon Kosong dapat mereduksi sampah sebanyak 30 ton dalam setahun.

Warga mengaku sangat senang karena berkat kerja sama menjaga lingkungan tempat tinggal, kini RW 06 begitu asri, tidak ada lagi tumpukan sampah dengan bau menyengat, tak ada lagi banjir berkepanjangan, dan krisis air bersih.

“Kami juga lebih hemat mau makan sayur tinggal petik di pekarangan rumah, kalau sakit ada tanaman obat, lebih aman dan gratis,” ujar Ida, warga RW 06 Kebon Kosong.

Warga RW 06 Kebon Kosong juga mulai beralih ke energi baru dan terbarukan (EBT), salah satunya adalah dengan menggunakan solar cell.

Untuk tahap awal penggunaan energi listrik dengan memanfaatkan sinar matahari itu diterapkan di lokasi bank sampah.

Selain itu, seluruh warga juga sudah menggunakan lampu hemat energi (LED), dan penghematan penggunaan lampu dengan desain rumah yang mampu meningkatkan pencahayaan alami rumah tangga dari sinar matahari.


Target 20 ribu proklim

KLHK menargetkan sebanyak 20 ribu proklim akan terbentuk pada tahun 2024, sebagai bentuk aksi nyata mewujudkan ketahanan iklim dan gaya hidup rendah emisi gas rumah kaca di tingkat tapak, melalui pelaksanaan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Sekretaris Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Agus Rusly Kementerian LHK menyebut bahwa hingga awal Oktober 2023, terdapat 7 ribu lokasi yang sudah terverifikasi menjalankan proklim.

Pencapaian target terus digencarkan dengan menambah skema proklim, dari yang sebelumnya hanya menggunakan batas wilayah kini juga termasuk proklim berbasis komunitas.

Proklim ini diyakini berkontribusi besar dalam mencapai target nol emisi pada 2060.

Pemerintah melalui dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) mendeklarasikan target penurunan emisi menjadi 31,89 persen di 2030, dengan dukungan internasional sebesar 43,20 persen.

Indonesia juga berkomitmen untuk mencapai net zero emissions pada tahun 2060 atau lebih cepat, dan target tersebut tidak boleh tergelincir.

Berbagai upaya dilakukan mulai dari inovasi sektor industri, pemanfaatan teknologi, hingga investasi.

Dengan investasi dan teknologi yang tepat, Indonesia optimistis dapat mengurangi emisi gas rumah kaca, menghindari kelaparan, anomali cuaca, serta tenggelamnya pulau di Indonesia maupun di Pasifik, sebagai dampak dari perubahan iklim.

Data Global Blended Finance Alliance memprediksi produk domestik bruto (PDB) bisa turun sebesar 1,24 persen di 2030 jika Indonesia tidak bisa beradaptasi terhadap adanya perubahan iklim. Bahkan bisa lebih tinggi lagi mencapai 3 hingga 5 persen di 2050 dan 2060.

Perubahan iklim juga berpotensi menurunkan 1,2 tahun angka harapan hidup serta nilai pendapatan pekerja bisa turun 0,6 persen dari PDB.

Untuk itu Pemerintah berkomitmen melakukan upaya mitigasi, tidak hanya di Pusat, tetapi juga menjangkau hingga ke tingkat RT/RW, melalui proklim.

Proklim memberikan edukasi nyata bahwa ketika manusia merawat alam, maka alam pun menjaga keberlangsungan hidup manusia, memberikan kesejahteraan, serta perlindungan.

Sekecil apa pun langkah yang dilakukan terhadap kelestarian alam, alam akan memberikan penghargaan indah tak ternilai yang tak mampu diberikan seseorang.











 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023