JAKARTA (ANTARA) - Teknologi hadir menawarkan kemudahan dalam membantu berbagai aktivitas kehidupan. Saat yang sama, ada kearifan konvensional yang tergeser atau hilang karenanya. Agar kegiatan keseharian menjadi mudah, tanpa kehilangan hal-hal klasik masa lalu, mungkin menggabungkan keduanya dapat menemukan gaya hidup baru yang lebih seru.

Berkat kemajuan teknologi, dunia serasa dalam genggaman. Segalanya menjadi mudah, cepat, dan efisien. Semua umat manusia dari berbagai belahan dunia bisa saling terhubung, teknologi informasi dan komunikasi telah menerabas semua batas. Jarak dan waktu tak lagi menjadi faktor kendala oleh sebab terbangunnya ruang temu yang baru, berupa dunia virtual.

Dalam kehidupan sehari-hari, teknologi mampu mempermudah proses, mempersingkat waktu, hingga mengurangi biaya yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan.

Sebagaimana Gary J. Anglin dalam buku seri "Teknologi Instruksional" (1991) berpendapat bahwa teknologi ialah penerapan ilmu perilaku, ilmu alam, dan pengetahuan lain secara sistematis untuk memecahkan permasalahan manusia.

Dalam memecahkan berbagai permasalahan manusia, teknologi hadir sebagai terobosan dalam banyak bidang, termasuk bidang pendidikan, kesehatan, hingga perbankan.

Sejarah teknologi bidang komunikasi tercatat pada tahun 1831 yang ditandai dengan kehadiran telegraf dan berkembang pada masa berikutnya menjadi pesawat telepon. Pada tahun 90-an sempat muncul penyeranta atau lebih dikenal dengan sebutan pager, alat komunikasi pribadi untuk menerima pesan teks pendek. Pengirim pesan perlu menghubungi telepon operator terlebih dulu untuk menyampaikan isi pesan.

Kala itu, orang berkhayal bagaimana caranya bisa berkirim pesan dengan gawai yang dipegang dan diketik sendiri tanpa melalui telepon operator yang kadang menyebabkan misinformasi.

Tak terlalu lama menunggu, lahirlah telepon genggam yang mampu mewujudkan angan-angan itu. Tidak membutuhkan waktu yang panjang untuk belajar, telepon genggam telah menjadi pintar, menjelma sebagai smartphone dengan layar usap dan sentuh.

Di tahun 90-an juga perkembangan teknologi komunikasi melesat cepat berkat kemunculan internet. Dengan adanya internet, hadir inovasi surat elektronik, konferensi video, media sosial, perangkat teknologi yang bisa dipakai seperti smartwatch, hingga headset virtual reality turut melengkapi kebutuhan komunikasi sehari-hari. Apalagi, akses alat komunikasi yang bisa didapatkan oleh setiap orang makin mendorong penyebaran informasi lebih cepat lagi.

Internet pula yang telah merombak cara kerja dunia bisnis, perbankan, hingga layanan kesehatan. Begitu pun dunia pendidikan, wajib bersyukur atas kehadiran internet yang oleh karenanya terbentuk selaksa laboratorium ilmu pengetahuan raksasa di dunia maya.

Dan paling mutakhir, tentang kecerdasan artifisial (AI) yang tidak saja sangat membantu beragam tugas dan pekerjaan manusia, adakalanya malah "lancang" melampaui kapasitasnya sebagai perangkat teknologi. Kecerdasan yang kerap kebablasan membuat banyak negara maju menyusun regulasi untuk mengantisipasi sepak terjangnya.


Datang dan hilang

Sebagai sebuah terobosan, teknologi selalu hadir membawa solusi atas permasalahan yang sebelumnya dialami manusia. Wajar bila kemunculannya akan menggeser cara lama dan menggantikannya dengan cara baru yang lebih mudah dan praktis. Berikut beberapa contoh kebiasaan yang hilang oleh sebab datangnya teknologi baru.

Silaturahmi. Kemajuan teknologi informasi perlahan menggerus kualitas silaturahmi dan interaksi antarmanusia. Dahulu, saat seseorang bepergian jauh dengan mengemudikan kendaraan, dia akan sesekali berhenti di persimpangan untuk bertanya arah jalan pada siapa saja yang ditemuinya. Atas keperluan itu, dia otomatis sering bertegur sapa dengan orang baru yang belum dikenal.

Kini, kebiasaan itu mungkin sudah hilang karena adanya aplikasi peta digital yang pandai memandu perjalanan. Peta digital yang berjalan secara waktu nyata itu juga bisa memprediksi berbagai rintangan yang mungkin terjadi di depan, lantas menyarankan jalan alternatif.

Meski sering juga membuat pengguna kesasar, tapi aplikasi itu tetap menjadi andalan untuk suatu perjalanan di tempat asing. Kecuali ketika sinyal hilang, barulah cara konvensional kembali digunakan.

Manual versus digital. Buku tulis, pena, pensil, penggaris, jangkar, dan semacamnya merupakan perlengkapan pelajar, mahasiswa, dan bisa juga karyawan di masa lalu. Semua kegiatan catat-mencatat dilakukan manual dengan tulisan tangan.

Sekarang cara lama itu telah banyak ditinggalkan karena hadirnya komputer, baik yang desktop atau komputer jinjing, pun tablet dan telepon genggam pintar.

Menulis tak lagi harus mengukir huruf demi huruf, melainkan hanya memencet tombol papan ketik atau menyentuh layar.

Praktis dan mudah, memang. Akan tetapi aktivitas menulis manual sangat baik untuk kesehatan otak dan mental manusia karena gerakan kompleks yang dilakukan tangan menstimulus olah motorik halus.

Menurut hasil berbagai penelitian ilmiah, menulis dengan tangan lebih mencengkeram daya ingat karena proses rumitnya, memperbaiki kualitas tidur, dan mampu merealisasikan mimpi selangkah lebih dekat.

Tatap muka versus virtual. Kegiatan rapat, belajar mengajar, seminar atau pertemuan bisnis, sekarang tidak harus hadir secara fisik dan bertemu tatap muka. Berbagai aplikasi dan layanan konferensi audio visual dapat mempertemukan banyak orang dari lokasi berbeda dalam waktu yang sama. Sangat praktis, karena orang-orang tidak perlu menempuh perjalanan jauh dan mungkin menghadapi banyak kemacetan untuk dapat menghadiri pertemuan. 

Hanya saja, dalam pertemuan virtual umumnya banyak peserta sambil melakukan aktivitas lain, sehingga konsentrasi mereka rata-rata terbagi. Berbeda dengan pertemuan tatap muka yang memaksa para peserta fokus dalam pembahasan materi pertemuan dan sekaligus menjadi ajang merawat keakraban.

WFO versus WFH/WFA. Salah satu hikmah dari pandemi COVID-19 adalah terbangunnya peradaban baru yang serba digital dan virtual. Bekerja, tidak lagi harus dengan pergi ke kantor yang barangkali (di perkotaan) bisa menempuh perjalanan berjam-jam dengan segala dinamika di jalan yang menguji kesabaran.

Selama pandemi, ada gaya kerja baru yang disebut WFH (work from home) atau bekerja dari rumah dan kemudian berkembang menjadi WFA (work from anywhere) karena munculnya tempat-tempat sewaan area kerja (workspace) di berbagai gedung dan pusat perbelanjaan.

Kerja WFO (work from office) memerlukan perjuangan untuk hadir di kantor. Hal positifnya adalah tingkat fokus yang lebih tinggi karena tidak banyak gangguan seperti halnya di rumah atau tidak ada godaan seperti saat di area publik.

Dengan berkantor, seseorang mampu menjaga hubungan hangat dengan rekan kerja, atasan atau staf. Namun manfaat baik itu bisa didapat jika anda berada di lingkungan kerja yang sehat, minim konflik, dan sabotase.

Sementara cara kerja WFH atau WFA lebih minim konflik dan menaikkan produktivitas lebih tinggi karena tidak perlu membuang-buang waktu untuk melakukan perjalanan ke kantor. Hanya saja gaya kerja WFA kadang membuat orang tampak terlihat aneh karena otaknya tidak sinkron dengan keberadaan fisiknya.

WFA, membuat seseorang raganya beredar di mana-mana, sementara pikiran tertuju pada pekerjaan, sehingga dia tidak responsif terhadap keadaan di sekitarnya.

Manusia versus chatbot. Percakapan sesama manusia tentu lebih hidup karena manusia memiliki kecerdasan asli buatan Tuhan, bukan artifisial. Pada pusat layanan informasi (call centre) atau layanan pelanggan (customer service) dan sejenisnya, ketika dipegang oleh petugas manusia, dia mampu menangani berbagai pertanyaan secara fleksibel. Namun bila robot yang bertugas (chatbot), secanggih apapun, suasana percakapan akan terasa kaku dan normatif. 

Bahkan si robot juga tak akan paham ketika pelanggan bermaksud mengajak bercanda. Saat berhadapan dengan pelanggan usil yang menguji kecerdasannya dengan pertanyaan-pertanyaan aneh, bisa jadi si robot itu pusing karena tidak mampu mengimbangi. Dan dia menolak semua pertanyaan yang tidak sesuai standar, "Pertanyaan anda tidak sesuai, silakan ulangi lagi".


Kearifan konvensional

Menjalani aktivitas kehidupan dengan asistensi teknologi yang serba canggih, membuat hidup terasa terlalu mudah dan terkesan manja. Entah mengapa, kerinduan akan cara-cara manual, tradisional, dan konvensional itu kadangkala muncul menggoda untuk dicoba dan dilakukan kembali pada masa sekarang ini.

Semisal, pernahkah kita rindu untuk menulis surat dengan kertas dan pena, lalu memasukkannya ke dalam amplop, merapatkannya dengan lem kertas, lantas kita bawa pergi ke kantor pos. Di sana kita membeli prangko, menjilatnya dengan lidah, kemudian menempelkannya ke bagian kanan atas amplop. Beberapa hari kemudian kita akan menerima balasan, Pak Pos dengan motor oranyenya menghampiri pagar rumah dan berteriak: “Suraaatt…”, dan kita pun girang bukan kepalang.

Momen seperti itu sudah lama sekali berlalu. Kini cara komunikasi masyarakat modern sudah sangat praktis via aplikasi pesan instan, panggilan suara atau video melalui gawai yang tak mengenal delay kecuali ada gangguan sinyal.

Tetapi bila teknologi dirasa amat memanjakan dan menghilangkan unsur tantangan karena effortless, kita boleh mengulang cara tradisional sekadar bernostalgia untuk mengundang kegirangan. Kirimlah surat kepada anggota keluarga, kerabat, atau sahabat yang berada di luar kota atau daerah, tentu akan menjadi kejutan tak terduga bagi mereka.

Selainnya, banyak kebiasaan lama seolah hilang tergantikan oleh kecanggihan teknologi, yang bila kita lakukan pada saat ini menjadi terasa istimewa. Ambil contoh, kita memasak dengan kayu bakar, padahal tersedia kompor induksi, kita pergi dengan mengayuh sepeda, sementara ada mobil di garasi. Dan rata-rata kegiatan yang dilakukan secara konvensional memiliki manfaat kesehatan dan mendukung gaya hidup berkelanjutan. Meski demikian, pilihlah jalan moderat saja.

Karena menganut sepenuhnya teknologi akan hilang tradisi, tetapi bila sepenuhnya tradisional bisa dikira manusia purba.
 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023