"Saya dulu di swasta, jadi kalau yang namanya koperasi itu minta diberikan peluang selalu atas nama rakyat, atas nama kemiskinan tapi ternyata mereka mengelola bukan untuk rakyat, bukan untuk mengentaskan kemiskinan, tapi untuk kelompoknya, untuk dir
Jakarta (ANTARA News) - Pembangunan koperasi di Indonesia sudah sejak jaman penjajahan Belanda, dan hingga kini perkembangannya masih cukup memprihatinkan. Bahkan Presiden Megawati ketika memberi sambutan pada peringatan Hari Koperasi beberapa tahun lalu menyebut bahwa koperasi Indonesia bagaikan bekicot. Seekor bekicot yang jalannya begitu pelan, dan memang begitulah kondisi dari koperasi Indonesia. Banyak masalah yang dihadapi badan usaha yang pada masa Orde Baru begitu dimanja dan banyak memperoleh fasilitas terutama untuk KUD. Tanggal 12 Juli ini, warga koperasi akan merayakan kelahiran gerakan koperasi yang ke-59. Perayaan ini masih diwarnai dengan belum selesainya kemelut di tubuh Dewan Koperasi Indonesia. Untuk lebih mengetahui bagaimana kondisi koperasi di Indonesia dan apa yang akan dilakukan pemerintah sehingga koperasi bisa mandiri, ANTARA News bersama dengan beberapa media lain mewawancarai Menteri Negara Koperasi dan UKM Suryadharma Ali di ruang wartawan Kemenkop UKM di Jakarta, Jumat (7/7). Berikut petikannya. Wartawan: Kita sudah 59 tahun tapi dalam beberapa tahun terakhir pamor koperasi justru turun, apalagi KUD yang ketika Orde Baru begitu mendapat perhatian dengan berbagai program, bapak melihatnya seperti apa, ada apa fenomena di balik ini? Suryadharma Ali: Kalau kita flashback, jadi pada masa Orde Baru itu pembangunan perekonomian nasional lebih diarahkan kepada kelas atas, skala menengah besar. Nah, ketika pembangunan itu telah mencapai kira-kira tahun ke-25, itu kemudian disadari bahwa pertumbuhan ekonomi ini timpang. Itu kemudian ada kebijakan pemerintah untuk pertama, bagi BUMN yang punya keuntungan maka keuntungannya satu sampai lima persen digunakan untuk Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Itu yang pertama, dan kedua, swasta juga didesak melakukan program kemitraan. Ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang didrive lebih keras yaitu di tingkat kecilnya. Untuk mendrive ekonomi tingkat bawah, maka koperasi diberi peluang dan saat itu koperasi betul-betul menjadi anak manis dan dapat perhatian sana sini dari pemerintah, dari swasta dan pihak lain. Tapi, apa yang terjadi? koperasi kemudian berjalan berdasarkan pemahaman bahwa pemerintah wajib beri dukungan ke koperasi, bahwa swasta wajib beri dukungan ke koperasi dan juga BUMN wajib beri dukungan ke koperasi. Pemahaman adanya kewajiban yang berlebihan ini itu membuat koperasi-koperasi tidak mandiri. Jadi pengelolaan koperasi itu lebih didasari kepada pemahaman bahwa sesuatu perusahaan apakah itu BUMN atau swasta harus beri kemudahan, peluang sebesar-besarnya kepada koperasi tanpa diimbangi oleh kemampuan dari pengurus koperasi itu sendiri dari aspek bisnisnya. Jadi profesionalismenya itu tidak memadai tapi tuntutannya begitu besar. Nah, kondisi seperti ini terus berjalan cukup lama, dan saya mencermatinya tidak semua masyarakat mempergunakan badan usaha berbentuk koperasi. Itu hanya kelompok orang yang memang punya pemahaman bahwa arah daripada pembangunan perekonomian ke depan ini lebih memberi peluang kepada yang kecil. Kondisi seperti ini dimanfaatkan. Kita bisa lihatlah. Saya dulu di swasta, jadi kalau yang namanya koperasi itu minta diberikan peluang selalu atas nama rakyat, atas nama kemiskinan tapi ternyata mereka mengelola bukan untuk rakyat, bukan untuk mengentaskan kemiskinan, tapi untuk kelompoknya, untuk dirinya. Saya tidak perlu sebut pengalaman apa yang secara nasional kita rasakan bahwa koperasi banyak melakukan "blunder", dalam artian kepercayaan yang sudah diberikan pemerintah tidak bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Bahkan, kepercayaan itu berbalik memberikan citra yang kurang baik terhadap koperasi. Ibu Mega mengatakan bahwa perkembangan koperasi bagaikan bekicot. Jadi jalannya lambat sekali. Nah karenanya ke depan harus diubah. koperasi tetap kita yakini sebagai instrumen yang dapat menciptakan lapangan kerja, yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, dan sebagai instrumen pengentasan kemiskinan. Saya punya keyakinan seperti itu. Nah, tinggal bagaimana koperasi ini diperhatikan secara bersama-sama, jadi bukan hanya pemerintah pusat, pemda provinsi dan juga dengan seluruh kepala dinasnya. Wartawan: Sekarang ini sudah ada perubahan dari ekonomi kebersamaan menjadi per orang-orangan? Suryadharma: Koperasi banyak juga yang disalahgunakan dengan berbagai fasilitas pemerintah mengatasnamakan koperasi. Pemerintah memberi peluang lebih besar, dan kemudian itu sekelompok orang mempergunakan koperasi seperti itu. Jadi kalau tadi dibilang koperasi semakin tidak populer ya memang betul itu. Belum yang di daerah-daerah, yang kelas sedang, itu memang masih terjadi hal-hal seperti itu. Makanya, ke depan ini kita harus kembalikan pengelolaan koperasi ini berdasarkan jati diri koperasi. Jadi ada nilai, ada kebersamaan, kegotongroyongan, kejujuran. Itu harus kita kembalikan ke sana. Untuk mengembalikan itu, di berbagai kesempatan saya meminta kepada pemda maupun unsur masyarakat di daerah untuk melakukan kontrol lebih ketat ke koperasi. Kita sekarang ini lebih terbuka, koperasi mana, siapa pimpinannya, dimana, apa bidang usahanya, dan fasilitas dari sini berapa, itu kita buka supaya pemda bisa lakukan kontrol. Supaya masyarakat bisa lakukan kontrol, supaya anggota-anggota koperasi bisa lakukan kontrol. Jadi tidak sedikit pimpinan koperasi yang sibuk cari fasilitas sana sini, si anggota tidak tahu. Sebagai mantan profesional yang kemudian terjun ke dunia politik, Suryadharma sangat menekankan kepada profesionalisme. Semua hubungan harus berdasar kepada profesionalisme. Koperasi juga harus tumbuh dengan nilai-nilai koperasi seperti kejujuran, kebersamaan dan kegotongroyongan. "Oleh karena itu, saya selalu mengutamakan profesionalisme dan kemandirian. Jadi koperasi ini boleh apa saja tapi jangan tinggalkan profesionalisme. Lakukan kemitraan jangan gunakan unsur politis karena ini adalah instrumen kerakyatan dan jangan dipergunakan secara politis, tapi dipergunakan secara profesional," katanya. Ia memberi contoh salah salah satu penyebab KUD tidak lagi terlibat dalam penyaluran pupuk karena tidak adanya sikap profesional dari KUD itu sendiri. "Dulu banyak koperasi yang dapat kepercayaan dari produsen-produsen pupuk untuk salurkan pupuk. Belakangan tidak ada, semakin berkurang. Kenapa? sederhana kalau dalam bisnis itu. Ada kejujuran bisa terus, ada kejujuran pasti ada kepercayaan," katanya. Contoh yang selalu ia sampaikan untuk masalah kejujuran, profesionalisme dan kepercayaan, adalah apa yang terjadi di antara komunitas pedagang keturunan China di Pasar Pagi atau Mangga Dua. Mereka semua hanya menggunakan secarik kertas untuk permintaan barang ke suplier, dan semua bisa berjalan lancar. Sedangkan koperasi lebih banyak mengutamakan acara yang seremonial. Penandatanganan kerjasama dengan mengundang pejabat agar dibilang koperasinya maju, Namun dalam pelaksanaannya hanya sampai ke MoU saja. "Kalau kita lihat misalnya di Pasar Pagi, di Mangga Dua, itu bisnis cuma secarik kertas kecil dicoret-coret dan dikirim sekian, selesai itu. Tidak pakai MoU, materai dan upacara, karena apa? karena kepercayaan. Ke depan itu koperasi harus seperti itu. Jadi profesionalisme di kedepankan, dan bukan politiknya," katanya. Menteri juga banyak menyinggung soal politisasi dari kata-kata kerakyatan. Namun ini memang masih bisa dipahami karena merupakan warisan masa lalu. Dimana ketika itu untuk mendukung koperasi, banyak jargon yang digunakan. BUMN atau swasta diminta memberi fasilitas kepada koperasi dan jika tidak memberi maka akan disebut sebagai tidak pro pengentasan kemiskinan. "Kata-kata kerakyatan ini sering dipolitisasi. Jadi siapa yang tidak beri fasilitas ke koperasi itu tidak pro rakyat. Koperasi adalah instrumen untuk pengentasan kemiskinan. Siapa yang tidak pro koperasi itu berarti tidak pro pengentasan kemiskinan. Itu politik kalau sudah begitu, masuk ke wilayah politik. Ini kita tetap harus masuk ke wilayah bisnis, harus profesional. Kalau sudah profesional, ke depan kita harapkan betul-betul mandiri," katanya. Mantan Ketua Komisi V DPR ini mengaku paling tidak suka melihat koperasi yang selalu meminta-minta fasilitas ke pemerintah. Menurut dia, koperasi seharusnya tumbuh secara profesional. Karena itu ketika ada yang masih mempertahankan pola lama itu, emosinya bisa keluar. "Saya kalau ketemu koperasi yang seperti itu terus terang saya langsung marah. Emosi saya tak terbendung, koq begini mentalitasnya," katanya. Wartawan: Itu tadi bicara mental, dari mana pemerintah harus mengurainya. Dari dulu Departemen Koperasi sudah ada, dan jadi kementerian dan banyak program pemberdayaan, tapi perkembangan koperasi slow down. Jadi mengurai mental itu dari mana mulainya? Suryadharma: Slow down itu dalam artian, kalau ini diukur dari jumlah fasilitas untuk pemberdayaan koperasi dan UKM itu tidak tepat karena angkanya tidak memadai kalau diukurnya dari situ. Tapi ini pemerintah menggugah semangat masyarakat untuk berdayakan diri mereka sendiri. Intinya adalah bagaimana mereka menolong diri mereka sendiri. Wartawan: Posisi pemerintah sebenarnya dimana, membiarkan koperasi seperti badan usaha lainnya atau bagaimana? Suryadharma: Pemerintah tidak membiarkan. Peran-peran selama ini sudah jelas betul. Pemerintah memberikan fasilitas agar masyarakat yang tadinya tidak punya pekerjaan jadi punya pekerjaan, yang mereka mau bekerja tidak punya modal, punya modal. Tapi itu semua dalam jumlah kecil. Oleh karena itu fokusnya kepada mikro dan kecil. Bukan menengah besar. Mengapa? berdasarkan data statistik bahwa yang mikro itu luar biasa banyaknya, kecil juga begitu, dan jika dilihat dari aspek kemampuan mereka punya kemampuan, kemauan, semangat tapi mereka tidak punya modal, dan sebagian tidak punya skill. Pemerintah masuk dalam areal seperti itu. Mendorong mereka. Kalau kita mau kurangi kemiskinan dari mana kita mulai, kalau kita mau kurangi pengangguran dari mana mulai. Kalau dilihat dari prosentase tenaga kerja per sektor, pertanian itu terbesar. Pertanian ada di pedesaan, kemudian karateristik pertanian kita bagaimana? karateristiknya itu para petani miliki lahan dari 0,2 sampai dengan satu hektar rata-rata. Secara ekonomis itu tidak ekonomis. Karena itu, karena ini mayoritas masyarakat kita seperti itu maka pemberdayaan ini harus dilakukan. Karenanya program pemberdayaan sebetulnya dari sejumlah kementerian ada, menteri koperasi, menteri perdagangan, menteri perindustrian dan lainnya. Wartawan: Pembagian peran dengan Dekopin sendiri bagaimana? Suryadharma: Kalau Dekopin sebetulnya fungsi pembinaan, kalau pemerintah selain pembinaan ada fungsi pembiayaan dan kebijakan atau fasilitasi yang sifatnya nasional. Dekopin kan punya anggota, dan ini berhadapan langsung dengan anggota bagaimana anggotanya terbina. Kembali ke koperasi ke depan yang mandiri dan profesional, saya selalu dorong KUD yang sebelumnya banyak yang mati, hidup segan mati tak mau, tetapi tidak sedikit di antara mereka yang bagus. Kami revitalisasi KUD supaya KUD dari aspek kelembagaan diperkuat. Untuk apa? untuk hadapi tantangan ke depan. Tantangannya apa? pengangguran dan kemiskinan yang sekarang jadi target pemerintah untuk mengentaskan itu. Karena ini jadi target pemerintah maka programnya pun besar-besaran. Di dalam konteks itu KUD ambil peran, tapi dia harus revitalisasi dulu. Kalau koperasi-koperasi kita pengurusnya masih mentalnya seperti itu, ya, kasihan masyarakat. Pemerintah keluar duit banyak dari APBN tetapi jatuh ke tangan yang tidak berhak. Contohnya, untuk Kredit Ketahanan Pangan, pemerintah sedakan uang Rp10 triliun untuk subsidi bunga, kemudian untuk perkebunan juga sekitar Rp2 trilun juga untuk subsidi bunga. Sehingga bunga yang tadinya 18 persen akan dikurangi jadi sembilan persen. Jadi misalnya SBI (Sertifikat Bank Indonesia) 18 persen, pemerintah subsidi 9 persen, jadi kurang apa lagi kira-kira begitu. Tinggal bagaimana ini dimanfaatkan sebaik-baiknya. Wartawan: Apa bapak sudah merasa puas, atau sudah melihat program yang kemarin ini sudah berjalan efektif atau untuk hingga 2009 perlu ada pendekatan baru, ini bagaimana? Suryadharma: Yang pasti saya belum puas terhadap kinerja kami dan kemenkop maupun respon baik dari pemda dan gerakan koperasi itu sendiri. Kita terus koreksi sehingga program ke depan lebih bagus. Ada kemajuan misalnya anggaran yang jatuh ke masyarakat itu lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kita lakukan efisiensi sebesar-besarnya agar dana itu jauh lebih besar di masyarakat dibandingkan untuk aparatur. Itu satu. Yang kedua, kami juga melakukan evaluasi program-program yang ternyata tidak tepat sasaran. Itu bukannya dihentikan tapi dilakukan dengan cara yang sangat selektif. Yang ketiga, seperti tadi yang saya kemukakan. Saya menanamkan profesionalisme kemandirian untuk gerakan koperasinya. Kepada pemerintah saya tanamkan perlunya keberpihakan yang lebih kuat antara pemda dengan koperasi dan UKM. Itu harus keberpihakan itu. Keberpihakan itu bentuknya apa? dalam sekurang-kurangnya dalam bentuk pengawasan. Kalau pemda tidak ada anggaran, sekurang-kurangnya pengawas. Tapi saya yakin pemda juga punya anggaran tapi bagaimana anggaran itu juga bisa mendorong tumbuhnya usaha mikro kecil di daerah masing-masing. Ada banyak bupati yang punya keberpihakan besar ke Koperasi dan UKM, dan itu masyarakatnya bagus seperti Wonogiri, Sragen, Karanganyar. Wonogiri misalnya dia punya semangat untuk mengembangkan koperasi sampai tingkat RT. Itu sudah dilakukan. Saya katakan semangatnya saya hargai, saya tidak menghargai hasilnya. Tapi semangatnya luar biasa dan itu harus dapat dukungan. Saya berikan dukungan. Nah mengapa pemda harus meningkatkan keberpihakannya ke KUKM dan koperasi, karena sesungguhnya di tangan kepala daerah lah kemiskinan itu bisa di atasi, di tangan kepala daerah kabupaten kota penciptaan lapangan kerja bisa dilakukan karena mereka tahu petanya secara akurat. Sebagai orang daerah mereka tahu, dimana ada kemiskinan, ada pengangguran dan potensi yang bisa dikembangkan. Kemudian mereka juga bisa tetapkan target-taret. Ada berapa persen yang miskin, yang nganggur, kemudian dengan potensi ini kira-kira bisa serap berapa tahun ini dan seterusnya. Untuk capai target itu apa yang diperlukan, dukungan apa, dukungan Kemenkop, Perdagangan, Perindustrian, Kelautan, Pertanian, Sosial sampai kepada Menristek. Saya kira bisa dimanfaatkan. Dalam beberapa kesempatan Menteri selalu mengeluhkan rendahnya dukungan dari Pemerintah Daerah. Padahal Pemda adalah kunci untuk mengatasi masalah pengangguran. Salah satu cara yang digunakan Kemenkop adalah menggelar Rapat Koordinasi dengan para Kepala Daerah maupun dengan dinas yang mengurusi koperasi. Sayangnya upaya itu juga belum berhasil. Sama seperti para pendahulu atau menteri koperasi sebelumnya, masalah keberpihakan pemda masih selalu dipertanyakan. Wartawan: Tapi daerah responnya sangat minim? Suryadharma: Karena itu Insya Allah nanti Agustus kalau tidak ada halangan kita akan undang bupati, walikota se-Indonesia untuk bahas ini. Katakanlah agar program keinginan dan target yang ditetapkan pusat mengalir ke bawah dan ada kesatuan langkah. Sekarang kenapa mereka harus berpihak ke UKM, prosentasenya saja, dari angka yang ada prosentasenya 99,5 persen itu usaha mikro, kecil dan menengah, sementara 0,5-nya besar. Ini gubernur Jabar yang bicara, 0,5 persen yang besar, 99,5 persen itu bisa dibandingkan dengan daerah lain. Jawa Barat itu punya industri macam-macam, tetapi UKM-nya 99,5 persen, lalu bandingkan dengan daerah lain yang tidak punya industri, kabupaten lain yang tak punya industri bisa 100 persen UKM. Dengan demikian seharusnya perhatian pemda harus ke situ. Wartawan: Selama ini kenapa tidak? Apa karena isunya hanya UKM dan pemda hanya berpikir soal infrastruktur seperti listrik, jalan dan lainnya? Suryadharma: Ada sebagian yang ke situ, tapi ada juga yang tidak realistis seperti misalnya banyak pemda yang punya angan-angan ada industri besar di situ, ada usaha dengan skala besar. Tapi realitasnya yang harus ia kembangkan adalah usaha skala mikro kecil, industri-industri kecil. Itu seharusnya yang mereka kembangkan. Wartawan: Apakah ini pengaruh otonomi daerah? Suryadharma: Bisa pengaruh otonomi daerah dan bisa juga dari kurangnya pencermatan terhadap potensi daerahnya dari segi ekonomi. Misalnya provinsi tertentu yang jauh dari lalu lintas ekonomi, lalu lintas ekonominya rendah, kemudian sumberdaya alamnya juga rendah lalu mengharapkan adanya industri besar di situ. Lain dengan Batam, Bintan, Karimun dan Rempang Galang yang dari segi geografinya merupakan lalu lintas dagang internasional dan sangat strategis. Jadi kalau dia harapkan adanya industri besar di situ juga wajar, tapi kan banyak juga provinsi yang tidak seperti itu. Akhirnya mengharapkan yang besar-besar, yang kecil tidak diperhatikan. Wartawan: Artinya banyak Pemda yang pandang sebelah mata? Suryadharma: Bukan anggap sebelah amta, kalau anggap sebelah mata itu berarti mengabaikan, menelantarkan. Saya masih mengatakan belum melakukan pencermatan yang lebih akurat mengenai kondisi potensi daerahnya. Wartawan: Apa yang paling realistis sampai 2009 selama bapak menjabat, apa yang akan dilakukan, apa yang harus diperbaiki dengan koperasi dan apa yang harus terjadi dengan koperasi sampai 2009? Suryadharma: Yang menjadi obsesi saya itu, yang paling utama itu dua sebetulnya. Pertama, adanya kesadaran umum dari pemda mengenai pentingnya pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui instrumen koperasi. Kedua, terjadi perubahan mental dari pengelola koperasi kembali ke cita-cita berkoperasi itu sendiri yaitu yang berasaskan nilai, kegotongroyongan dan kejujuran. Kembali ke situ. Wartawan: Programnya seperti apa? Suryadharma: ya, penanaman nilai. Jadi setiap kita melakukan pendidikan dan latihan apa pun itu, penanaman nilai jadi materi utama. Sekarang mengapa koperasi Setia Bhakti Wanita (di Surabaya) bisa maju dan bertahan? karena dia bisa menciptakan nilai dan dia melaksanakan nilai itu. Wartawan: Sumberdaya yang bapak punya sampai 2009 itu apa untuk mencapai obsesi itu? Suryadharma: Kita kan prinsipnya bekerja tidak sendiri, harus bekerja sama-sama. Itu tadi yang saya katakan, kita akan undang bupati walikota untuk bicarakan ini sama-sama, jadi masing-masing punya tugas. Saya bicara dengan mereka kalau untuk pengawasan kementerian koperasi bilang tidak punya kemampuan. Pengawasan koperasi seluruh Indonesia kita tidak punya kemampuan. Yang punya kemampuan yaitu pemda, bupati, walikota. Oleh karena itu pergunakan itu. Kan ada orang yang punya kemampuan tapi ia tidak pergunakan. Dia banyak kewenangan tapi dia tidak gunakan kewenangan itu. Saya tidak ada bosan-bosanya sampaikan ini. Kadang saya ngomong seperti kaset. Itu lagi ya itu lagi. Contoh saya punya Program Pembiayaan Produktif Koperasi Usaha Mikro (PPP KUM) itu kita sudah sosialisasikan lewat rapat koordinasi. Tetapi ketika saya ketemu bupati, saya tanya dia dan tidak ngerti. Tidak tahu. Itu artinya hasil rapat koordinasi itu tidak mengalir, tidak sampai ke bawah atau ke atas. Karenanya setiap ketemu bupati selalu bicara itu lagi, itu lagi, jadi saya seperti kaset. Itu salah satu contoh, kondisinya seperti itu gimana, Selain keragaman kapasitas kepala dinas di daerah. Ada kepala dinas koperasi yang berasal dari dinas pemakaman. Jadi banyak masalahnya. Ada yang dari dinas PU, dari Bappeda, kalau yang seperti itu tidak sulit lagi, tapi bayangkan coba tadi dinas pemakaman. Ada juga kepala dinas yang rotasinya sangat cepat. Baru dia paham soal koperasi sudah pindah. Banyak problemnya. Wartawan: Apa itu berarti Kementerian minta wewenang yang lebih luas lagi? seperti dulu lagi? Suryadharma: Tidak bisa dong. Tidak bisa. Biar saja yang sekarang berjalan. Tapi memang ini mungkin konsekuensi dari otonomi daerah. Salah satu konsekuensinya itu semua instrumen belum bisa berjalan baik. Jadi misalnya kalau ada masalah-masalah kecil di daerah kan mesti daerah sendiri yang atasi, tapi begitu di "blow up" oleh wartawan itu seolah-olah pemerintah pusat yang tidak bekerja. Seolah pemerintah pusat tidak bekerja. Jadilah kasus ini di kabupaten ini, kasus itu di kabupaten itu. Padahal dia dulu yang harus bekerja.(*)

Pewarta: Oleh B Wahyu S
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006