Jakarta (ANTARA) - Acara "Rembuk Kota 2" yang digelar pada hari Kamis (12/10) mengangkat tema "Nyamankah Jakarta?". Acara itu dihadiri oleh tiga tokoh untuk menyampaikan gagasan mereka, yaitu Kepala Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Atika Nur Rahmania, Perencana Ahli Utama Bappenas RI Oswar Mungkasa, dan Direktur Ruang Waktu Knowledge - Hub for Sustainable (Urban) Development Wicaksono Sarosa.

Dicanangkan menjadi kota pusat perekonomian Indonesia setelah melepas gelar ibu kota negara, Bappeda mendorong DKI untuk bertransformasi menjadi kota global.

Kota global adalah sebuah kota yang memiliki peran penting dalam pengintegrasian ekonomi transnasional (menjadi primary node dalam jaringan ekonomi dunia) yang mampu menarik modal, barang, sumber daya manusia, gagasan, serta informasi secara global.

Suatu kota perlu memiliki beberapa poin penting untuk bisa menjadi kota global yang kompetitif, yaitu ekonomi yang mapan dan terkoneksi secara global, kapasitas riset dan inovasi yang baik dan menerus, ruang yang nyaman untuk dihuni.

Selain itu, menarik wisatawan untuk berkunjung, lingkungan yang bersih, nyaman dan berkelanjutan, serta aksesibilitas yang terkoneksi secara intra dan inter kota.

Selama tinggal di Jakarta, berbagai perubahan infrastruktur telah dirasakan oleh langkah kaki ini. Dahulu ketika ingin pergi ke Bekasi, harus menempuh waktu yang lumayan lama dengan menggunakan mobil dan jalan tol. Namun, kini LRT hadir untuk mengakomodasi perjalanan ke Bekasi tanpa perlu merasakan stres di jalan.

Selain infrastruktur transportasi umum, telah dibangun juga taman di tengah kota, seperti Taman Literasi Martha Christina Tiahahu di Jakarta Selatan yang bisa didatangi dengan menggunakan MRT dan TransJakarta.

Meski begitu, Jakarta masih terus dan perlu berbanah terkait penyempurnaan manfaat moda transportasi. 

Lalu, muncul pertanyaan, apakah infrastruktur di Jakarta sudah siap untuk menuju kota global yang "nyaman"?

Arti "nyaman"

Laporan Global Liveability Index 2023 dari Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat 139 dari 173 kota besar dunia yang nyaman untuk untuk ditempati. Angka tersebut naik 14 peringkat dari sebelumnya.

Penilaian tersebut berdasarkan indikator stabilitas, layanan kesehatan (healthcare), edukasi, budaya dan lingkungan, serta infrastruktur. Dari indikator infrastruktur, poin yang ditekankan adalah kualitas jaringan jalan, kualitas transportasi publik, kualitas hubungan internasional, ketersediaan perumahan berkualitas baik, kualitas penyediaan energi, kualitas penyediaan air, dan kualitas penyediaan komunikasi.

Sementara itu, Ikatan Ahli Perencana (IAP) menafsirkan terminologi Kota Layak Huni untuk menggambarkan sebuah lingkungan dan suasana kota yang nyaman sebagai tempat tinggal dan beraktivitas, yang dilihat dari beberapa aspek, yaitu aspek fisik (fasilitas perkotaan, prasarana, tata ruang dan lainnya) maupun aspek nonfisik (hubungan sosial, aktivitas ekonomi, dan lainnya).

Dapat ditarik benang merah bahwa infrastruktur menjadi poin utama yang tak bisa dilepaskan dari bagian “kenyamanan” dalam beraktivitas.


Jakarta saat ini

Mengubah infrastruktur agar “nyaman” tentunya tak semudah membalikkan telapak tangan. Masih ada batu-batu kerikil yang harus diselesaikan oleh Jakarta untuk bisa bertransformasi.

Bappeda DKI memaparkan sejumlah tantangan yang dihadapi DKI Jakarta untuk menjadi kota global, yaitu kepadatan dan mobilitas penduduk, pekerja tidak terampil, permukiman kumuh, kemacetan, polusi udara, perubahan iklim, serta urban heat islands (UHI), banjir, rob, serta penurunan tanah, persampahan, serta akses air bersih.

Polusi udara saat ini merupakan masalah yang menjadi momok bagi masyarakat DKI Jakarta. Asap dari kendaraan bermotor dan pabrik menyelimuti langit Jakarta tanpa henti. Sejumlah langkah dijalankan oleh pemerintah daerah hingga pusat, mulai dari uji emisi kendaraan bermotor hingga menindak tegas dengan menutup pabrik yang menghasilkan asap.

Muncul pula kendaraan listrik yang digadang-gadang akan membantu mengurangi asap kendaraan di jalan, namun kehadirannya juga membutuhkan ruang yang mana tidak turut membantu menyelesaikan masalah kemacetan di Jakarta.

Gerakan naik transportasi umum pun digalakkan untuk mengurangi masalah-masalah tersebut. Meski begitu, tetap ada masalah bagi warga yang rumahnya tidak bisa mengakses langsung halte dan stasiun terdekat.

Pada Agustus lalu, Light Rail Transit (LRT) yang menyambungkan Jakarta dengan Bekasi dan Depok diresmikan dan dioperasikan. Akan tetapi, angkutan umum pada beberapa pemberhentian masih sulit diakses dan jauh dari hunian perumahan. Mau tidak mau, warga harus menggunakan kendaraan bermotor untuk bisa menggunakan LRT.

Perencana Ahli Utama Bappenas RI Oswar Mungkasa mengatakan saat ini sudah digaungkan istilah Kota Ramah Pejalan Kaki dan Pesepeda yang prinsipnya mengurangi prioritas bagi kendaraan bermotor dan memberi kesempatan seluas-luasnya bagi moda berjalan kaki dan bersepeda.

DKI Jakarta sendiri telah memberikan jalur khusus bagi pesepeda dan trotoar yang lebar bagi pejalan kaki untuk bisa mengakses transportasi umum terdekat. 

Kota global juga lekat dengan kemajuan teknologi yang perkembangannya semakin pesat. Untuk bisa bersaing dengan kota global lainnya, DKI Jakarta perlu mengembangkan jaringan 5G di seluruh kota tanpa ada area yang tidak terjamah.

Oleh karena itu, Bappeda DKI Jakarta telah memiliki trajectory Jakarta menuju kota global dengan berpegangan dalam tiga aspek, yaitu tingkat daya hidup (livability), lingkungan, dan aksesibilitas.

Arahan pengembangan kota dalam RT/RW pada 2023-2043 yang dicanangkan Bappeda adalah mengembangkan sistem pusat pelayanan kota berbasis transit, pengembangan kota dipusatkan pada area radius 800 meter dari titik transit, pengembangan sistem transportasi umum terintegrasi.

Selain itu, dicanangkan pula penyediaan infrastruktur digital untuk mendukung aktivitas masyarakat dan ekonomi kota, fasilitas berbasis lingkungan yang mendukung pola aktivitas warga, pengembangan hunian yang terintegrasi dengan fasilitas publik, dan revitalisasi kualitas lingkungan kawasan permukiman.

Hal yang tak kalah penting juga ditatarkan, yaitu perencanaan dan pengembangan infrastruktur sumber daya air (SDA), peningkatan kualitas dan kuantitas ruang terbuka hijau (RTH), pengembangan infrastruktur sistem penyediaan air minum, dan percepatan penyediaan infrastruktur dasar perkotaan.

Bukan tidak mungkin penanam modal asing akan bertempat tinggal serta berbisnis di Jakarta apabila lingkungan huniannya memiliki berbagai infrastruktur yang menunjang kehidupan sehari-hari, seperti akses transportasi dan fasilitas publik.

Jika semua program dan rencana jangka panjang dari sisi ekonomi serta sinergitas bersama daerah Bodetabek bisa terealisasikan, Jakarta bisa melangkah maju menuju kota global yang nyaman bagi warganya.
 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023