Jakarta (ANTARA) - Di dalam megahnya Ruang Mural Museum Sejarah Jakarta, Jakarta Barat, terpampang belasan poster film-film nasional yang populer pada masanya, seperti Gie (2005), Tiga Dara (1957), Ada Apa dengan Cinta? (2002), dan film-film lainnya.

Melongok ke sisi dinding di sebelah poster-poster itu, terpampang pula untaian panjang kalimat-kalimat yang menarasikan sejarah perfilman dan bioskop di Indonesia sejak film pertama tayang di era Hindia-Belanda hingga populernya aplikasi film daring saat ini.

Kedua hal itu dapat ditemui dalam pameran “Jejak Memori: Gempita Layar Perak Jakarta” yang menjadi salah satu agenda Museum Sejarah Jakarta di bulan Oktober 2023. Pameran tersebut resmi dibuka Senin, 9 Oktober lalu.

Museum Sejarah Jakarta di area Kota Tua Jakarta yang menjadi fokus pengembangan pariwisata urban di Ibu Kota itu sudah menunjukkan dirinya pulih sepenuhnya dari dampak pandemi COVID-19.

Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta menyatakan, museum itu telah menerima kunjungan sebanyak 542.254 orang pada 2022, meningkat pesat dibanding kunjungan pada 2021, ketika pandemi COVID-19, yang hanya mencapai 51.962 orang.

Pameran tersebut menyajikan narasi tentang sejarah industri perfilman Indonesia dan bioskop di Jakarta dalam enam era berbeda, yaitu era Hindia-Belanda, pendudukan Jepang, awal kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, dan era Reformasi hingga kini.

Selain menyajikan narasi sejarah dan berbagai benda antik dan replika barang terkait perfilman dan bioskop, penyelenggara pameran juga mengadakan tiga seminar mengenai pembuatan lagu (soundtrack) film, produksi film di era digital, serta sejarah bioskop di Jakarta. Seminar pertama tentang lagu tema film telah digelar di museum itu pada Kamis (12/10).

Narasi sejarah yang disampaikan dalam pameran tersebut berawal dari cikal-bakal bioskop yang sudah muncul di Hindia-Belanda pada akhir dasawarsa 1890-an, ketika pengusaha Belanda mulai memperkenalkan bioskop keliling di Batavia. Di zaman itu, film yang merupakan penemuan baru diperkenalkan sebagai “gambar hidup” (atau mengikut ejaan aslinya, “gambar idoep”)

Pemaparan berlanjut ke zaman pendudukan Jepang dan era awal kemerdekaan, yang berujung pada rilisnya film “Darah dan Doa” (1950) karya sutradara Usmar Ismail yang kini dianggap sebagai film nasional pertama. Hari pertama pengambilan gambar film itu, 30 Maret, kini diperingati sebagai Hari Film Nasional.

Pada era Orde Baru, teknologi bioskop yang semakin modern memacu berkembangnya perusahaan-perusahaan bioskop nasional dan bioskop independen di dasawarsa 1980 hingga 1990-an. Meski begitu, banyak bioskop independen rontok di akhir dekade 1990-an karena perubahan teknologi.

Akhirnya pada saat ini, pesatnya perkembangan industri perfilman dan bioskop berjalan beriringan dengan digitalisasi dan munculnya layanan menonton film daring yang mengubah secara drastis kebiasaan menonton film di kalangan awam.

Kepala Unit Pengelola Museum Kesejarahan Jakarta Esti Utami mengatakan, pameran tersebut diharapkan dapat memberi informasi dan wawasan baru kepada masyarakat mengenai sejarah film di Indonesia dan bioskop di Jakarta.

Pameran tersebut juga diharap dapat menjawab pertanyaan masyarakat tentang film-film apa saja yang pernah terkenal di masa lalu serta bioskop-bioskop yang menjadi pelopor industri di Jakarta dan sudah muncul sedari era kolonial.

Esti mengakui,  meskipun tema pameran ini ringan dan menyenangkan, tapi belum tentu diketahui semua masyarakat di Jakarta.

Sejarah perfilman dan bioskop di Jakarta adalah salah satu bagian yang mewarnai perkembangan Kota Jakarta, yang tidak hanya berkembang secara fisik dan infrastrukturnya, tapi juga dalam aspek sejarah dan budayanya.

Belajar banyak hal

Melalui pameran yang berlangsung sampai 22 Oktober tersebut, kurator pameran Hendra Kaprisma mengemukakan banyak hal lain yang hendak disampaikan kepada masyarakat selain daripada gemilangnya dinamika sejarah film dan bioskop yang mewarnai perkembangan kebudayaan di Indonesia.

Pertama, pameran itu hendak menunjukkan bahwa waktu lahirnya industri perfilman Indonesia tidak jauh berbeda dengan di Eropa, karena jejak-jejaknya sudah hadir di Nusantara tidak lama setelah perangkat proyektor film pertama dikembangkan oleh penemu Prancis Auguste Lumiere dan Louis Lumiere.

Bahkan bisa dikatakan sejak 1895 saat Lumiere bersaudara memperkenalkan perangkat sinematograf, tahun 1896 pun sudah ada jejak-jejak film dan bioskop di Indonesia.

Selain itu, akademisi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) itu menyatakan, dengan menilik sejarah berkembangnya film dan bioskop di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa toleransi dan keterbukaan masyarakat Indonesia sudah terlihat sejak dulu.

Masyarakat Indonesia sedari dulu sudah menyaksikan dan menerima film dengan konsep yang beragam yang dikemas sebagai film bertema sejarah, budaya, maupun fantasi. Pemirsa film Indonesia juga sudah menikmati film dari bermacam negara, seperti dari Jepang maupun negara-negara Eropa, dari dulu, dan tetap berlanjut sampai sekarang.

Tema film yang beragam menunjukkan bahwa masyarakat sangat berterima terhadap berbagai budaya yang ada.

Hendra juga mengingatkan masyarakat untuk tidak lagi menghindari museum, karena museum bukan sekadar tempat hal-hal kuno, tapi juga merupakan tempat meleburnya cakrawala antara yang kuno dengan yang kini yang membuat pengunjungnya bisa berinteraksi dengan masa lalu.

Museum bukan hanya tempat kenangan, tapi juga tempat membuat kenangan.

Dengan menyusuri sejarah film Indonesia dan bioskop di Jakarta, khususnya sejak pertama kali alat penayang film dikembangkan, kemudian saat Indonesia bisa berdikari membuat filmnya sendiri sampai dinamika tren film masa kini, kita dapat mengetahui bahwa industri perfilman dan bioskop di Indonesia sudah berkembang amat pesat.

Mengenali kayanya sejarah film dan bioskop di Indonesia juga dapat membuat kita memahami satu lagi aspek kehidupan masyarakat yang menarik yang merupakan bagian indah yang mewarnai perkembangan kebudayaan Indonesia.
 

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023