Beberapa hal yang diselidiki KPK adalah berkaitan dengan kewajiban penerima SKL itu, KPK masih menyelidiki sehingga belum ada kesimpulan, apakah kewajibannya penerima SKL itu sudah sesuai atau belum, jangan-jangan ada tindak pidana korupsinya,"
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi mendalami dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan para penerima SKL (Surat Keterangan Lunas) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"Beberapa hal yang diselidiki KPK adalah berkaitan dengan kewajiban penerima SKL itu, KPK masih menyelidiki sehingga belum ada kesimpulan, apakah kewajibannya penerima SKL itu sudah sesuai atau belum, jangan-jangan ada tindak pidana korupsinya," kata Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi di Jakarta, Selasa.

Johan mengungkapkan terdapat beberapa penyelesaian terkait BLBI dan sudah dikoordinasikan dengan Kejaksaan Agung.

"Ada yang terkait dengan tindak pidananya, itu di Kejagung, soal pengembalian asetnya bekerja sama dengan Kementerian Keuangan dan kejaksaan selaku pengacara negara," tambah Johan.

Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 2001--2004 Laksamana Sukardi seusai diperiksa KPK terkait penyelidikan tersebut mengatakan bahwa ada sidang kabinet yang membahas mengenai BLBI.

"Sidang bukan hanya membahas SKL, kalau diputuskan bukan di sidang kabinet tapi ada Tap MPR yang memberikan perintah pada presiden untuk memberikan kepastian hukum, pada zaman Ibu Mega, presiden masih mandataris MPR jadi ada tap MPR yang menyatakan kalau beliau melanggar itu bisa dimakzulkan," kata Laksamana seusai diperiksa selama sembilan jam di KPK.

Ia mengungkapkan, sejumlah obligor yang mendapatkan SKL antara lain adalah pengusaha Syamsul Nursalim yang juga menjadi tersangka BLBI di Kejagung namun berada di luar negeri.

"Mengenai obligornya sendiri, obligor yang diberikan banyak sekali seperti Syamsul Nursalim," ungkap Laksamana.

Laksamana mengungkapkan bahwa pemerian SKL adalah amanat sesuai TAP MPR No X tahun 2000.

"TAP MPR No 10 tahun 2000 meminta presiden untuk percepat penjualan aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan juga memberikan kepastian hukum bagi yang kooperatif dan bagi yang tidak kooperatif harus diberikan sanksi hukum," tambah Laksamana.

Namun ia mengakui bahwa ada upaya lain dalam pemenuhan kewajiban SKL.

"Ada `exit clause` kalau di kemudian hari ditemukan adanya misinterpretasi sehingga dapat ditinjau lagi," tambah Laksamana.

Ia menjelaskan bahwa pemberian SKL BLBI dilakukan berdasarkan evaluasi.

"Ketika penyerahan (SKL) ada evaluasi, evaluasinya ada instruksi berdasarkan kondisi ekonomi yang normal, sedang waktu penjualan dimana ekonomi hampir sekarat, harganya pasti jatuh cuma ada TAP MPR yang mengatakan harus konsisten melaksanakan Master Settlement and Aquisition Agreement (MSSA), presiden Megawati harus mengikutinya," jelas Laksamana.

Johan Budi mengungkapkan, ada kemungkinan KPK meminta keterangan obligor penerima SKL BLBI.

"Sepanjang diperlukan pasti akan dimintai keterangan para penerima SKL, sebagian debitor bila diperlukan akan dimintai keterangan," ungkap Johan.

Dalam kasus ini, KPK sebelumnya juga meminta keterangan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta, mantan Menteri Koordinator Perekonomian pada Kabinet Gotong Royong 2001-2004 Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, mantan Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000-2001 Rizal Ramli, mantan Menteri Keuangan 1998-1999 Bambang Subiyanto, Menko Perekonomian 1999-2000 dan mantan Kepala Bappenas 2001-2004 Kwik Kian Gie.

Mekanisme penerbitan SKL yang dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Inpres No 8 Tahun 2002 saat kepemimpinan Presiden Megawati yang mendapat masukan dari mantan Menteri Keuangan Boediono, Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

Kwik dalam pemeriksaan di kejaksaan, mengaku dalam setiap rapat kabinet ia selalu memprotes rencana penerbitan SKL tapi kalah dengan menteri lain.

Dari Rp144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp138,4 triliun dinyatakan merugikan negara, namun baru 16 orang yang diproses ke pengadilan.

Dari 16 orang tersebut, tiga terdakwa dibebaskan pengadilan, 13 orang yang yang telah divonis hanya satu koruptor yang dijebloskan ke penjara, dua terdakwa lain tidak langsung masuk ke penjara dan sembilan terdakwa melarikan diri ke luar negeri.
(D017/Z002)

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013