Terdakwa antara Maret 2007--Desember 2008 dengan sengaja membelanjakan harta kekayaan yang patut diduga hasil tindak pidana...
Jakarta (ANTARA News) - Terdakwa perkara korupsi pemberian hadiah pengurusan impor daging di Kementerian Pertanian dan perkara pidana pencucian uang, Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), membeli mobil dan properti dari Hilmi Aminuddin (HA) senilai total Rp1,85 miliar.

"Terdakwa antara Maret 2007--Desember 2008 dengan sengaja membelanjakan harta kekayaan yang patut diduga hasil tindak pidana, yaitu pada tahun 2007 terdakwa membayar Rp350 juta kepada Hilmi Aminuddin atas pembelian satu mobil Nissan Frontier Navara B 9051," kata jaksa penuntut umum KPK, Rini Triningsih, dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin.

Untuk menyembunyikan asal usul mobil tersebut, LHI meminta karyawan PKS Agus Trihono melakukan balik nama kepemilikan dengan menggunakan nama Rantala Sikayo, yaitu asisten pribadi LHI.

"Pada waktu antara 29 Maret 2007 sampai 8 Desember 2008, terdakwa dengan sengaja membayar uang Rp1,5 miliar kepada Hilmi Aminuddin atas pembelian satu rumah seluas 250 meter persegi di atas tanah seluas 700 meter persegi di Jalan Loji Timur No. 24 RT 17 RW 02 Desa Cipanas Kecamatan Pacet Jawa Barat dengan 29 kali pembayaran," ungkap jaksa.

LHI tidak mencantumkan kepemilikan tersebut dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tertanggal 1 November 2009.

LHI juga membayar Rp3,5 miliar kepada Hambali untuk pembelian lima tanah dengan luas total 59.580 meter persegi, tetapi dalam akta jual beli dicantumkan nilai jual beli yang tidak sebenarnya, yaitu hanya Rp714 juta.

Uang untuk pembelian harta tersebut diduga berasal dari hasil tindak pidana karena LHI tidak mencantumkan harta miliknya dalam LHKPN.

LHKPN Luthfi pada tahun 2003 sebelum menjadi anggota DPR periode 2004--2009 dari Daerah Pemilihan Jawa Timur V, LHI hanya memiliki harta Rp381,1 juta yang terdiri atas harta tanah dan bangunan senilai Rp224,1 juta dan harta bergerak senilai Rp157 juta berupa mobil Opel Blazer (Rp90 juta), mobil Mitsubishi (Rp30 juta), dan mobil Peugeot (Rp37 juta).

LHI juga menyebutkan bahwa dirinya memiliki sumber penghasilan keahlian lain sebesar Rp240 juta per tahun dengan pengeluaran per tahun hanya sebesar Rp18 juta.

Sebelum menjabat sebagai anggota DPR periode 2009--2014, kekayaan LHI meningkat menjadi Rp1,06 miliar dengan penambahan harta berupa tanah dan bangunan di Jakarta Timur senilai Rp302 miliar ditambah harta bergerak dengan nilai total Rp900 juta dengan penambahan mobil Nissan Serena (Rp250 juta), mobil Nissan X-Trail (Rp280 juta), mobil Honda CR-V (Rp340 juta), dan penjualan mobil Peugeot dan Opel Blazaer.

LHI juga mencatat memiliki giro sebesar Rp3,1 juta dan piutang Rp1,2 miliar, tetapi memiliki utang kartu kredit senilai Rp139,5 miliar.

Ia mengaku tidak memiliki penghasilan lain selain gaji dan tunjangan anggota DPR sebesar Rp58,95 juta per bulan atau per tahun senilai Rp707,5 miliar, sedangkan pengeluaran per tahun adalah Rp764 miliar ditambah dukungan dana operasional Rp20 juta per bulan.

Jaksa mencatat bahwa Luthfi tidak mencatat sejumlah rekening yang dia miliki setelah menjadi anggota DPR periode 2009--2014, yaitu tiga rekening koran dan satu rekening dolar atas namanya sendiri dan rekening koran dan atas nama PT Atlas Jaringan Satu yang menyebutkan LHI sebagai komisaris dan orang dekat LHI, Ahmad Fathanah sebagai direktur serta dua rekening koran atas nama PT Sirat Inti Buana dengan terdakwa selaku komisaris dan Adi Susilo dan Aboe Bakar sebagai komisaris.

Dalam rekening-rekening tersebut, LHI total menempatkan uang sejumlah Rp10,2 miliar, padahal LHI tidak pernah mencantumkan hal tersebut dalam LHKPN miliknya.

Atas perbuatan tersebut, jaksa mendakwa Luthfi dengan pidana dalam Pasal 3 Ayat (1) Huruf a, b, dan c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25/2003 tentang Perubahan atas UU No.15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun dan denda paling banyak Rp15 miliar.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013