Kabul (ANTARA) - Ketika musim dingin yang menusuk kian mendekat di Afghanistan yang dilanda perang dan didominasi pegunungan, Abdullah, seorang penduduk di Kota Kabul, sibuk melakukan tawar-menawar untuk membeli kayu bakar dengan harga murah guna menjaga rumahnya tetap hangat.

Meskipun cuaca di Kabul dan banyak daerah lain di Afghanistan sudah mendingin, dan beberapa gunung telah tertutup salju, musim dingin biasanya baru dimulai pada pertengahan Desember di negara Asia Tengah itu.

"Saya belum bisa membeli (kayu bakar)... Saya tinggal di rumah saya sendiri dan tidak bisa membelinya. Bagaimana dengan mereka yang tinggal di rumah kontrakan? " ujar Abdullah.

Menyebut kesulitan ekonomi negaranya sebagian disebabkan oleh sanksi dan pembekuan aset oleh Amerika Serikat (AS), Abdullah mengatakan "Uang itu milik rakyat Afghanistan. Akan ada pekerjaan dan kegiatan ekonomi jika uang itu tidak dibekukan."

Harga kayu bakar seberat 560 kilogram saat ini berkisar antara 8.000-9000 afghani (sekitar Rp1,78 juta hingga Rp2 juta), naik dari tahun lalu yang berkisar antara 7.000-8.000 afghani (sekitar Rp1,56 juta hingga Rp1,78 juta).

Seorang penjual kayu bakar, Haji Juma Gul, mengatakan bahwa pembekuan aset Afghanistan telah merusak perekonomian negara itu.

"Di negara miskin di mana Anda tidak memiliki pekerjaan, 8.000 atau 9.000 afghani adalah jumlah uang yang sangat besar," kata ayah muda itu kepada Xinhua.
 
 Seorang pekerja Afghanistan memotong kayu bakar di toko kayu bakar di Kabul, ibu kota Afghanistan, 14 November 2023. (Xinhua/Saifurahman Safi)  


Pascapenarikan pasukan pimpinan AS dari Afghanistan pada Agustus 2021 lalu, Gedung Putih membekukan aset luar negeri bank sentral Afghanistan senilai lebih dari 9 miliar dolar AS, dan kemudian mengalokasikan sebagian dari jumlah tersebut kepada para korban serangan 9/11 di AS.

"Afghanistan akan mendapatkan keuntungan dan aktivitas pasar akan pulih kembali seandainya uang itu tidak dibekukan. Jalan-jalan dan sekolah-sekolah akan dibangun, dan semua akan mendapat manfaat jika uang itu dicairkan," kata Gul kepada Xinhua.

"Kami tidak punya pilihan selain membeli kayu bakar, bahkan meminjam, sekalipun kondisi keuangan kami sulit," ujar ayah muda yang memiliki 18 anggota keluarga itu.

Akibat situasi keuangan yang buruk, masyarakat setempat membeli lebih sedikit kayu bakar, kata Gul.

Sistem pemanas sentral hampir tidak beroperasi di rumah-rumah di kota-kota besar Afghanistan, termasuk Kabul. Warga Afghanistan kerap menggunakan tungku kayu bakar tradisional untuk menghangatkan rumah mereka selama musim dingin.

"Saya bekerja setiap hari dari subuh hingga petang dengan penghasilan hanya 100 hingga 150 afghani (sekitar Rp22.300-Rp33.400). Saya harus menggunakan uang itu untuk mengisi bahan bakar kendaraan saya. Saya tidak punya apa-apa lagi," kata Khalil, seorang pengemudi kendaraan roda tiga.

"Kehidupan ini sangat sulit. Jika saya makan hari ini, selama dua hari ke depan tidak akan ada lagi yang tersisa untuk dimakan," ujarnya.

Pewarta: Xinhua
Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2023