Jakarta (ANTARA) - Tepat pukul 07.45 WIB, puluhan anak berusia 4 hingga 6 tahun berbaris rapi dalam balutan seragam olahraga bernuansa biru yang mereka kenakan untuk belajar dan bermain bersama teman sebaya.

Murid taman kanak-kanak itu bersiap memasuki sebuah rumah di kawasan Jatirasa, Bekasi, sebelum mulai berkegiatan. Ada yang diantar oleh orang tua menggunakan motor, jalan kaki, bahkan banyak dari mereka yang berangkat sendiri.

Rumah tersebut tampak seperti rumah kontrakan pada umumnya, dengan pagar hitam yang membatasi. Dari luar, hanya bertengger sebuah plang bertuliskan "Rumah Belajar Embun Pagi, Yayasan Bangun Rasa Peduli".

Setelah gerbang dibuka, barulah terlihat ada sepasang ayunan, rak sepatu warna-warni, serta kerajinan tangan bertuliskan "Assalamualaikum. Kami datang untuk belajar. Kami pulang membawa ilmu", dengan dekorasi awan dan pelangi di kanan kirinya, yang menyambut kedatangan setiap tamu.

Anak-anak TK itu menjalankan adab membuka sepatu dan mengucap salam kepada guru sebelum mereka memulai belajar dan bermain.

Mereka lalu menempatkan sepatu di rak secara bergantian dan teratur. Ada tiga guru berhijab yang mendampingi dan menyambut mereka dari dalam rumah, tak lupa membalas salam yang dilontarkan anak-anak.

Salah satu guru, Ria (45), memimpin jalannya kegiatan belajar dengan mempersilakan 24 anak untuk bercerita bergantian di hadapan teman-teman tentang apa yang sudah dipelajari pada hari sebelumnya.

Kegiatan ini tidak hanya melatih kepercayaan diri anak untuk mengekspresikan pendapat, tetapi juga mengasah kecerdasan emosional dan membuat anak lain yang mendengarkan untuk bisa menyimak dan berpikir kritis.

Ria yang sudah 10 tahun menjadi pengajar di rumah belajar itu sudah mahir mengetahui bagaimana kondisi psikis anak, ketika mereka bercerita dalam kegiatan yang disebut dengan jurnal tersebut.

Baginya, sangat terlihat jelas dari raut muka anak yang memiliki masalah, baik di rumah maupun dengan teman sebayanya. Mereka juga lebih murung atau tidak bersemangat ketika bercerita, dibanding hari-hari biasanya.

Pengalaman satu dekade menjadi guru TK membuat Ria sangat peka untuk bisa membedakan kondisi anak yang mendapat kasih sayang penuh dari orang tua, dan anak yang mendapat kekerasan dari lingkungan sekitar.

Anak adalah pengamat ulung. Meski Ria belum mendapatkan keturunan, profesi guru yang ia emban memberinya banyak pelajaran dari anak-anak.

Suatu kali, Ria menceritakan bahwa ada salah satu anak yang datang ke sekolah dengan luka cakaran di pipinya. Jangankan belajar, untuk bersosialisasi dengan teman sebangku mungkin sulit bagi anak tersebut. Kekerasan yang didapat anak itu di rumah tidak dipungkiri berdampak pada keadaannya di sekolah.

Anak menjadi lebih sering tantrum, mudah memukul, meludah ke teman saat bermain, bahkan berteriak sejadi-jadinya jika ditegur oleh guru.

Jika anak lebih murung dari hari biasanya, Ria tidak ingin cepat-cepat bertanya. Malah, ia menyibukkan anak tersebut dengan kegiatan-kegiatan yang membutuhkan konsentrasi tinggi dan bermain "ice breaking" bersama seisi kelas, agar suasana lebih cair.

Setelah suasana hatinya membaik, anak akan lebih terbuka untuk bercerita tentang masalah pribadinya.

Bagi Ria, kesabaran adalah kunci untuk menghadapi sisi emosional anak. Hal itu juga berlaku terhadap anak dengan kebutuhan khusus.

Dari modal kesabaran itu, ia senang jika berhasil menuntun anak pada pencapaiannya masing-masing. Ia pernah mendidik anak agar bisa menulis dan berbicara kepada orang lain, meski perlu waktu empat tahun, dua tahun lebih lama dari biasanya anak TK untuk lulus.

Ia juga merasa senang ketika anak-anak yang sudah lulus TK B mahir menulis dan berhitung, sebelum masuk SD. Atau, bahkan, hanya sekadar membentuk segitiga sama kaki, dari yang sebelumnya hanya bisa menggambar garis dan titik-titik.

Mungkin bagi orang lain pencapaian tersebut adalah hal yang biasa-biasa saja, namun bagi Ria dan dua guru lainnya di TK itu, adalah proses yang seharusnya bisa dinikmati, bahkan oleh orang tua.


Peran ganda guru TK

Rumah belajar tempat Ria mengabdi memang didirikan dari sebuah yayasan yang peduli terhadap kaum dhuafa. Oleh karenanya, hanya anak-anak yang orang tuanya berpenghasilan rendah, baik normal maupun berkebutuhan khusus, yang diterima di sekolah tersebut.

Sebelum diterima di TK, para guru dan kepala sekolah melakukan survei ke rumah calon murid untuk mengetahui seberapa sulit kondisi finansial orang tua. Karena dibiayai oleh yayasan, orang tua hanya perlu membayar iuran Rp30 ribu sebulan untuk biaya operasional sekolah.

Walau sudah terbilang murah, banyak juga dari orang tua murid yang menunggak iuran. Warga di Jatiasih pada umumnya memang tidak memiliki pekerjaan tetap. Mereka bekerja serabutan, dari pengumpul barang rongsokan, ojek pangkalan, buruh cuci-gosok, hingga pembantu rumah tangga.

Para guru dan kepala sekolah akan menyeleksi 20-24 murid yang orang tuanya memiliki banyak beban pengeluaran, seperti jumlah anak dan berpenghasilan rendah.

Selain menjadi pendidik, guru di sekolah itu juga berperan menjadi "konselor" bagi para murid, termasuk menjadi ibu bagi mereka Kemiskinan yang mendera keluarga anak berpengaruh besar terhadap suasana hati anak sehari-hari.

Tidak hanya membuat pelajaran menjadi sulit dicerna, anak yang mendapat kekerasan di rumah juga terkendala untuk bersosialisasi bersama teman sebaya.

Di sinilah peran guru untuk pelan-pelan mengembalikan kondisi anak dari murung menjadi ceria, dari sering melakukan kekerasan menjadi lebih sopan.

Dengan gaji yang berbeda dengan guru berstatus pegawai negeri, Ria dan kedua guru lainnya berupaya untuk terus mengasah kemampuan motorik halus dan motorik kasar anak agar mereka siap menerima pelajaran saat duduk di bangku sekolah dasar.

Salah satu orang tua murid, Monalisa Lubis (37) mengaku bersyukur anaknya bisa mengenyam pendidikan formal dua tahun sebelum masuk SD. Dengan iuran Rp30 ribu per bulan, ia merasakan perubahan yang signifikan terhadap anaknya.

Sejak bersekolah, anaknya tidak lagi sering bermain ponsel dan lebih sering belajar menulis atau mewarnai di rumah.

Banyaknya aktivitas di sekolah, seperti bercocok tanam, mengunjungi kandang sapi perah, hingga belajar membuat kue, telah mengasah kemampuan motorik halus sang anak yang membuatnya pandai menulis.

Saat mengakhiri tahun ajaran, anak-anak juga akan berekreasi melihat kebun binatang dengan tabungan yang sudah mereka kumpulkan.

Lagi-lagi ada peran guru yang pandai mengelola tabungan anak. Bahkan, orang tua juga turut menyimpan sebagian gajinya di tabungan anak demi persiapan biaya masuk SD.

Taman kanak-kanak menjadi pondasi awal dari panjangnya tahap pendidikan formal yang harus dilewati setiap insan sebagai bekal untuk menjadi sumber daya manusia kompeten.

Kegiatan belajar sambil bermain yang menyenangkan, didukung dengan fasilitas pendidikan yang komprehensif menjadi faktor pendukung seorang anak bisa berhasil mencapai kecakapannya setelah lulus dari TK, yakni membaca, menulis dan berhitung.

Di balik itu semua, ada guru TK yang berperan penting untuk membuat suasana belajar dan bermain itu menyenangkan, walau tak sering dirayakan dan dikenang, Selamat Hari Guru untuk Ria dan para guru lainnya.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023