Beijing (ANTARA) - Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Wang Wenbin menyatakan China tetap aman untuk dikunjungi walau Komisi Kesehatan Taiwan mengeluarkan pernyataan untuk menghindari perjalanan ke negara itu akibat peningkatan kasus pneumonia.

"Aman untuk bepergian, berbisnis maupun belajar di China. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," kata Wang Wenbin dalam konferensi pers rutin di Beijing, Kamis.

Pada Kamis (30/11), Komisi Kesehatan Taiwan meminta warga lanjut usia, berusia sangat muda, maupun mereka yang memiliki kekebalan tubuh buruk untuk menghindari perjalanan ke China karena meningkatnya penyakit saluran pernapasan di negara itu.

Jika perjalanan diperlukan, maka para pelaku perjalanan, menurut Komisi Kesehatan Taiwan, harus mendapatkan vaksinasi flu dan COVID-29 sebelum pergi ke China.

"Komisi Kesehatan Nasional China (NHC) telah mengadakan konferensi pers untuk berbagi informasi mengenai masalah yang relevan," kata Wang Wenbin menambahkan.

Taiwan diketahui juga pernah menyampaikan pernyataan sejenis untuk mewaspadai wabah Sindrom Pernafasan Akut Parah (SARS) yang waktu itu ditemukan di China dan menewaskan hampir 800 orang secara global pada 2002-2003.

Dalam beberapa pekan terakhir terjadi penyakit pernafasan menular khususnya menyerang anak-anak. Peningkatan kasus pneumonia secara nasional dilaporkan pertama kali oleh Komisi Kesehatan Nasional China pada 13 November 2023.

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization atau WHO), menurut Wang Wenbin, juga sudah menyampaikan situasi terkini mengenai penyakit menular pernafasan tersebut.

Baca juga: Kemenkes imbau masyarakat tidak panik sikapi wabah pneumonia di China

Sejauh ini, pasien yang terjangkit pneumonia melaporkan gejala demam, kelelahan, dan batuk. Rumah sakit anak di beberapa kota, seperti Beijing, Tianjin, dan Liaoning, pun menerima lonjakan pasien dalam beberapa pekan terakhir.

Global Times Beijing memberitakan, beberapa wilayah meliputi Tianjin, Zheijiang timur dan Guangdong selatan dilaporkan mengalami lonjakan kasus influenza, terutama untuk tipe AH3N2 atau B/Victoria.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Tianjin mengimbau warga untuk mengambil tindakan pencegahan seperti mendapatkan vaksinasi dan memperhatikan kebersihan pribadi.

Pada 22 November 2023, WHO telah meminta hasil penyelidikan yang dilakukan Pemerintah China soal penyebab wabah pneumonia tersebut.

Menurut Komisi Kesehatan Nasional China, kenaikan kasus disebabkan oleh beberapa patogen saluran pernapasan seperti bakteri mycoplasma pneumonia, virus influenza, maupun infeksi respiratory syncytial virus (RSV) dan adenovirus sehingga belum ada patogen baru yang ditemukan dalam kasus tersebut.

Dari pantauan ANTARA di Rumah Sakit Beijing Chaoyang" dan "Beijing Obstetrics and Gynacology, Capital Medical University",Distrik Chaoyang, Beijing, tidak tampak antrean berarti pasien di bagian pediatri (anak-anak) maupun paru, walau tetap ada pasien yang menunggu giliran diperiksa di poli.

Sementara di fasilitas umum seperti kereta bawah tanah, sebagian orang menggunakan masker. Hal itu juga antara lain disebabkan karena suhu udara di Beijing cukup dingin dalam dua pekan terakhir yaitu berkisar antara minus enam derajat pada malam hari dan tiga derajat Celcius pada siang hari.

Baca juga: Epidemiolog China ungkap pertentangan penutupan Pasar Huanan Wuhan

ANTARA juga telah menghubungi seorang mahasiswi Jepang yang sempat dirawat di rumah sakit karena mengalami pneumonia.

"Faktanya, tidak ada batuk, tapi saya mengalami demam tinggi hingga mencapai 39 derajat. Saat itu saya tidak bisa berdiri, bahkan tidak bisa minum air putih, sangat bingung dan tidak bisa berpikir," kata Akari Arakawa (20), mahasiswi "Peking University Pre-university Program" asal Jepang.

Akari mengaku sudah mengonsumsi obat penurun demam namun tidak mempan sehingga pada malam hari ia datang ke rumah sakit dan diinfus. Demam pun mereda namun suhu tubuhnya kembali meningkat pada keesokan pagi.

"Staf rumah sakit awal mengirim saya ke rumah sakit lain yang lebih besar untuk pemeriksaan. Ternyata saya menderita pneumonia, tetapi ketika saya menjalani CT scan paru, tidak ada gangguan di paru-paru saya," ungkap Akari.

Ia pun menjalani perawatan selama lima hari pada 15-20 November 2023 di Rumah Sakit Internasional Beijing Puhua.

"Saat dirawat, saya tidak tahu ada orang lain yang juga menderita pneumonia seperti saya. Jadi hanya saya saja. Juga tidak ada bangsal khusus," tambah Akari.

Meski telah keluar dari rumah sakit setelah lebih dari satu pekan, Akari masih merasa mudah lelah.

Kenaikan kasus pneumonia di China juga memicu kekhawatiran global atas kemungkinan adanya ancaman pandemi baru, empat tahun setelah COVID-19 pertama kali muncul di negara tersebut.

Wabah menyerang China di saat warga negara tersebut menjalani musim dingin pertama tanpa pembatasan sejak pandemi COVID-19 mengingat Pemerintah China menerapkan pembatasan ketat selama tiga musim dingin sebelumnya (2020, 2021 dan 2022) untuk meredam COVID-19.

WHO pun merekomendasikan agar masyarakat di China mengurangi risiko penyakit pernapasan dengan melakukan vaksinasi, menjaga jarak dengan orang yang sedang sakit, tinggal di rumah saat sakit, menjalani tes dan perawatan medis sesuai kebutuhan, memakai masker sebagaimana mestinya, memastikan ventilasi yang baik, dan mencuci tangan secara teratur.

Baca juga: Menkes: Wabah pneumonia di China bukan virus baru seperti COVID

 

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Rahmad Nasution
Copyright © ANTARA 2023