Jakarta (ANTARA) - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2023 mencapai 4,94 persen secara tahunan (year on year/yoy) atau melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 5,17 persen.

Meskipun Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tetap resilien, kondisi ketidakpastian global masih harus tetap diwaspadai, khususnya oleh industri perbankan. Faktor-faktor eksternal seperti tekanan inflasi global, kenaikan suku bunga The Fed, pelemahan ekonomi China, dapat menyebabkan potensi krisis perbankan global.

Pun demikian, tingkat optimisme terhadap perbankan di Indonesia tetap relatif tinggi di tengah negara-negara yang sedang mengalami volatilitas. Hal ini tercermin dalam hasil Survei Orientasi Bisnis Perbankan (SPBO) yang menunjukkan adanya tingkat optimisme terhadap sektor perbankan sepanjang tahun 2023.

Perbankan Indonesia sendiri memang menunjukkan likuiditas yang sehat serta tingkat
non-performing loan (NPL) yang kian menurun pasca pandemi. Hal ini tercatat melalui laporan OJK per September 2023, bahwa NPL perbankan Indonesia berada di angka 2,43 persen, masih terkendali karena dibawah 5 persen.

Bank digital sebagai ‘jembatan’ menuju transformasi ekonomi

Di tengah semangat visi pemerintah akan transformasi ekonomi dan adanya optimisme industri perbankan Indonesia, maka mendorong inovasi yang berujung pada lahirnya berbagai bank digital.

Sepanjang 2023, setidaknya ada lebih dari 15 bank yang menyediakan layanan digital baru yang siap meramaikan persaingan di dalam negeri. Kemunculan bank-bank ini di Indonesia merupakan hal yang positif.

Besarnya potensi pasar yang belum tergarap ditambah semakin tingginya penetrasi internet membuat semakin banyaknya bank dengan layanan digital yang bermunculan di Indonesia.

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menjelaskan bahwa bank digital sendiri merupakan buah hasil dari adaptasi teknologi di bidang keuangan. Berawal dari layanan mobile banking hingga sepenuhnya melahirkan entitas baru bank digital.

Berbeda dari bank konvensional dengan layanan digital, bank digital hanya punya satu kantor pusat dan seluruh kegiatan perbankannya dilakukan secara digital.

Berbeda pula dari fintech, bank digital dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Nailul juga menilai saat ini konsumsi masyarakat terhadap layanan keuangan pun sudah mulai berubah dari yang awalnya luring menjadi daring.

“Makanya banyak dari bank konvensional di Indonesia menutup jumlah kantor cabang bank. Orang jarang ke kantor cabang bank. Apalagi bank digital juga ada pembayaran digital yang membuat masyarakat semakin nyaman menggunakan bank digital,” kata Nailul saat dihubungi ANTARA.
 
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda pada peluncuran sejumlah piranti AI inovatif dan layanan transformasi dari Red Asia Inc. di Jakarta, Rabu (1/11). (ANTARA/Ahmad Faishal)

Adanya pergeseran tendensi masyarakat dalam menggunakan layanan perbankan tersebut menunjukkan bahwa industri bank digital semakin maju dan adaptif terhadap perkembangan teknologi.

Jika ditelaah lebih lanjut, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum tersentuh layanan perbankan konvensional (unbanked). Asisten Gubernur BI Dicky Kartikoyono melaporkan bahwa jumlah masyarakat unbanked di Indonesia mencapai 97,7 juta orang atau sekitar 48 persen dari total penduduk.

Hal ini menjadi peluang tersendiri bagi bank digital karena layanannya mampu mendorong peningkatan literasi dan inklusi keuangan di Indonesia. Bank digital lebih mudah diakses oleh masyarakat unbanked atau yang tinggal di daerah terpencil.

Pun demikian, terlepas dari segela kemudahan dan peluang yang diberikan oleh bank digital, muncul satu pertanyaan besar yakni, apakah bank digital aman?

Selama ini, keamanan data jadi salah satu tantangan yang harus bisa dijawab oleh industri perbankan digital. Mengingat struktur layanan dari jenis bank ini menggunakan teknologi digital yang lebih rentan akan kebocoran data.

“Sebenarnya bukan cuman bank digital, tapi bank konvensional juga. Namun bank digital paling rawan kena phising ataupun scam karena sifat kegiatan yang full digital,” ujar Nailul Huda.

Namun dengan kasus-kasus kebocoran data sebelumnya, seharusnya bank-bank digital sudah memperkuat keamanan sibernya.

Guru Besar Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia yang menilai bahwa secara umum, bisnis bank digital di Indonesia sejauh ini cukup aman. Hal ini didukung oleh beberapa faktor, antara lain yang pertama, penerapan regulasi yang ketat oleh OJK melalui POJK Nomor 13/POJK.07/2021 tentang penyelenggaraan produk Bank umum yang dibuat untuk melindungi nasabah bank digital.

Kedua, bank digital telah menerapkan sistem keamanan yang kuat untuk melindungi data nasabah, seperti menggunakan teknologi enkripsi dan multi-faktor autentikasi.

Ketiga, bank digital kerap menggalakan sosialisasi terkait peningkatan literasi keuangan yang mendorong pemahaman risiko-risiko terkait dengan penggunaan bank digital.

Kepercayaan nasabah yang meningkat

Tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank digital di Indonesia dapat dilihat dengan adanya peningkatan jumlah transaksi melalui digitial seiring menurunnya penggunaan ATM.

Pada kuartal III-2023, BI mencatat nilai transaksi digital banking mencapai Rp15.148,71 triliun, tumbuh 12,83 persen. Kemudian, transaksi uang elektronik meningkat 10,34 persen menjadi Rp116,54 triliun.

Sementara itu volume transaksi melalui kartu ATM dan kartu debet mencapai 619,73 juta transaksi per September 2023, turun 2,34 persen secara bulanan (month-on-month/MoM) dan turun 3,22 persen secara tahunan (year on year/yoy).

Menjamurnya bank digital di Indonesia turut diikuti dengan meningkatnya jumlah nasabah perbankan digital di Indonesia.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Moneter Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Prof. Dr. Telisa Aulia Falianty, S.E., M.E. (ANTARA/HO: Humas UI) (ANTARA)

Menurut Telisa, hal itu dikarenakan kemajuan teknologi mendorong para nasabah untuk dapat memanfaatkan berbagai kelebihan seperti kemudahan dan kenyaman untuk akses, biaya operasional yang lebih murah dan fitur-fitur yang lebih inovatif.

Selain kemudahan akses dan layanan pembayaran yang terintegrasi dengan berbagai macam transaksi, banyaknya promo seperti cashback menjadi salah satu nilai lebih bank digital yang dirasakan nasabah. Promo ini dapat memberikan keuntungan finansial bagi nasabah, sehingga dapat menjadi nilai tambah bagi layanan bank digital.

Bertambahnya nasabah juga meningkatkan kesehatan keuangan perusahaan beberapa bank digital di Indonesia. Hal itu terlihat dari beberapa bank digital yang mengalami peningkatan aset serta mendulang keuntungan yang besar.

Contohnya SeaBank yang pada semester I-2023 berhasil mencatat keuntungan hingga Rp34,81 miliar dengan total aset naik mencapai Rp30,81 triliun.

Bank yang satu grup dengan Shopee ini mencatatkan pendapatan berbasis komisi atau fee based income hingga Rp44,58 miliar, dengan pendapatan lainnya yang tercatat Rp160,15 miliar.

SeaBank juga meraup dana pihak ketiga (DPK) Rp23,35 triliun pada kuartal III-2023, naik 18,21 persen dari yang sebelumnya Rp19,75 triliun. Kinerja yang ekspansif ini menjadikan SeaBank menduduki posisi pertama sebagai bank digital dengan aset terbesar di Indonesia.

Telisa menilai peningkatan aset tersebut didorong oleh peningkatan nasabah, volume transaksi dan juga kolaborasi bersama pihak lain seperti perniagaan elektronik (e-commerce).

“Semakin banyak nasabah dan transaksi maka semakin banyak pula dana yang mengalir ke bank digital. Selain itu kolaborasi dengan berbagai banyak pihak meningkatkan aksesibilitas dan daya tarik layanan bank digital,” jelasnya.

SeaBank juga telah berhasil menjadi salah satu contoh bahwa keamanan bank digital dapat dipercaya. Hal ini ditunjukan dengan status SeaBank sebagai bank peserta penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan juga telah diawasi oleh OJK.

Kenyamanan dan kemudahan juga dapat dirasakan para nasabah mengingat SeaBank yang satu grup dengan Shopee. Calon nasabah dapat membuka rekening melalui aplikasi SeaBank ataupun e-commerce Shopee.

Berbagai promo dan cashback dari SeaBank juga menjadi contoh bermacam daya tawar yang dapat diberikan bank digital kepada para nasabahnya.

Tren positif bank digital di Indonesia muncul tersebut sebagai bukti bahwa bank digital mampu menjadi pilihan yang aman dan menguntungkan bagi masyarakat. Industri bank digital diproyeksikan masih akan terus berkembang di tahun 2024 seiring dengan pertumbuhan literasi keuangan masyarakat.

Hasil SLIK OJK 2022 menunjukkan indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia sebesar 49,68 persen, naik dibanding tahun 2019 yang hanya 38,03 persen dan di tahun 2023, OJK menargetkan literasi keuangan mencapai 53 persen.

Peningkatan literasi tersebut, menurut Telisa, akan membuat masyarakat semakin paham pentingnya memiliki rekening bank dan semakin tertarik untuk menggunakan layanan perbankan digital.

Selain itu perkembangan teknologi yang memudahkan pengguna untuk mengakses dan memberikan kenyamanan saat bertransaksi diproyeksikan akan semakin mendorong perkembangan industri digital di tahun 2024.

Hasil Survei Consumer Payment Attitudes Study 2022 menunjukkan bahwa 95 persen konsumen di Indonesia menggunakan pembayaran digital, terbesar ketiga setelah Singapura dan Malaysia. Indonesia juga merupakan pasar mobile wallet yang terbesar di Asia Tenggara (21 persen). Dengan potensi tersebut akan mendorong penggunaan digital bank yang lebih intensif.

Dengan demikian, peran bank digital tak hanya menjadi tonggak baru dalam perkembangan sektor keuangan, tetapi juga menjadi kekuatan terpenting dalam mendukung visi pemerintah menciptakan lingkungan ekonomi yang inklusif melalui teknologi digital.

Fenomena ini menandai suatu era di mana bank dengan layanan digital menjadi tulang punggung kemajuan ekonomi Indonesia. Proyeksi perkembangan ini menunjukkan potensi munculnya lebih banyak bank digital baru kedepannya.

Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Citro Atmoko
Copyright © ANTARA 2023