Jakarta (ANTARA) -
Berakhirnya tahun 2023 berarti menyisakan 44 hari lagi menjelang perhelatan Pemilu 2024 di Tanah Air yang jatuh pada 14 Februari 2024.

Selain perkembangan persiapan teknis yang dihadirkan para penyelenggara pemilu, situasi sosial juga menjadi hal yang disorot guna memastikan penyelenggaraan pesta demokrasi itu berjalan dengan baik, damai, bahkan riang dan gembira.
 
Potensi terjadinya pembelahan sosial karena pemanfaatan politik identitas memang menjadi hal yang dikhawatirkan oleh beragam pihak, mulai dari pemerintah, penyelenggara pemilu, pengamat, hingga masyarakat itu sendiri terjadi di tengah pelaksanaan pemilu. Hal itu tidak terlepas dari pengalaman pada penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017.
 
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI pun telah menyusun sejumlah langkah antisipasi untuk mengatasi persoalan tersebut.

Anggota Bawaslu RI Herwyn JH Malonda menyampaikan pihaknya menerapkan metode gotong royong melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, akademisi, masyarakat, media massa, bahkan tokoh agama untuk melakukan sejumlah hal, seperti mengoptimalkan sosialisasi tentang bahayanya penggunaan politik identitas.
 
Sementara itu, menurut tokoh agama Katolik Romo Paulus Christian Siswantoko, keberadaan masyarakat inklusif di Indonesia merupakan salah satu solusi dalam mencegah pemanfaatan politik identitas yang mengatasnamakan agama, suku, rasa, ataupun antargolongan (SARA) tertentu oleh peserta pemilu demi mendulang suara.
 
Sekretaris Eksekutif Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) itu meyakini masyarakat inklusif yang bisa menerima segala keberagaman dan perbedaan serta mengakomodasikannya ke dalam berbagai tatanan maupun infrastruktur kehidupan bermasyarakat mampu menolak dengan tegas pemanfaatan politik identitas dalam Pemilu 2024 yang berpotensi menimbulkan pembelahan sosial.
 
Lebih lanjut, Romo Siswantoko menyampaikan sejauh ini sebagian besar masyarakat Indonesia sudah bisa menerima beragam perbedaan yang ada, seperti perbedaan agama, suku, ras, budaya, ataupun bahasa. Mereka telah menganggap perbedaan itu sebagai sebuah realita yang tidak bisa ditolak, tidak bisa dihilangkan, karena hal tersebut merupakan pemberian dari Tuhan.
 
"Agama-agama, suku, budaya, bahasa ini kan anugerah Tuhan ya, bukan ciptaan manusia sehingga mau tidak mau, kita sebagai manusia harus menerima," kata dia.

Baca juga: Merajut komunikasi umat demi menuju masyarakat yang inklusif
Baca juga: Mengukir bersama masa depan damai lewat masyarakat inklusif
 
Meskipun begitu, Romo Siswantoko tidak menyangkal bahwa masih ada sebagian kecil dari masyarakat Indonesia yang memaksakan kehendaknya agar masyarakat yang plural di Tanah Air kehilangan keberagaman.
 
Dengan demikian, Romo Siswantoko menekankan untuk menjadi masyarakat inklusif, setiap individu harus memulainya dengan menerima perbedaan atau kebinekaan yang ada di Indonesia ini sebagai sesuatu yang alami dan anugerah dari Tuhan.
 
Untuk dapat hidup dalam perbedaan, kata dia, setiap masyarakat harus membuka diri kepada orang lain, meskipun mereka memiliki perbedaan agama, suku, dan golongan.
 
"Membuka diri itu artinya kita berpikiran positif kepada mereka, kemudian membangun relasi, membangun dialog, lebih-lebih dialog kehidupan sehari-hari, seperti menyapa, tersenyum, dan membantu sesama tanpa memandang sukumu apa, agamamu apa kelompokmu apa, pilihan politikmu apa," jelas dia.
 
Berikutnya, untuk mencegah terjadinya pemanfaatan politik identitas yang berpotensi menimbulkan pembelahan sosial itu, Romo Siswantoko juga menyoroti dari sisi para penyelenggara, pengawas, dan kontestan pemilu.
 
Menurutnya, para pihak tersebut harus selalu mengumandangkan bahwa pesta demokrasi memuat nilai-nilai kerukunan, kebersamaan, dan kedamaian. Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI pun, kata dia melanjutkan, telah membuat satu slogan bahwa pemilu adalah sarana integrasi bangsa.
 
Dengan demikian, kontestasi dan kompetisi dalam pemilu memang tidak seharusnya membelah kehidupan masyarakat. Di samping itu, Romo Siswantoko juga mengingatkan bahwa kampanye yang baik dan santun harus terus dilakukan oleh para peserta pemilu.
 
Selanjutnya, dia juga mengingatkan bahwa seluruh aturan dalam Pemilu 2024 harus ditaati oleh seluruh pihak terkait, mulai dari penyelenggara, pengawas, hingga peserta pemilu. Dia menilai hal itu penting untuk dilakukan karena disintegrasi sosial kerap muncul ketika terdapat aturan pemilu yang tidak ditaati.
 
"Kalau semua bergerak untuk selalu berkampanye positif dan mentaati aturan main yang ada, menurut saya ini akan menjadi cara yang baik untuk menghindari ada yang keterbelahan di masyarakat itu satu," ujar dia.
 
Khusus untuk kontestan Pemilu 2024, Romo Siswantoko mengingatkan mereka agar tidak menggunakan SARA, terutama agama sebagai alat politik.

Dia menekankan agama merupakan sesuatu yang sangat luhur, agung, menjadi sumber motivasi, sumber inspirasi, bahkan menjadi sumber kesucian.

Dengan begitu, jangan sampai agama direndahkan oleh manusia menjadi alat politik, alat untuk mendulang suara, alat untuk meraih jabatan, dan alat untuk mencapai kemenangan di pemilu.
 
Ke depannya, saat memasuki tahun 2024, Romo Siswantoko mengaku optimistis sebagian besar masyarakat Indonesia yang telah menjadi masyarakat inklusif tidak akan terpengaruh oleh upaya-upaya pemanfaatan politik identitas.
 
Ia meyakini masyarakat Indonesia yang inklusif tidak hanya telah menerima perbedaan itu, tetapi mereka juga merupakan pemilih yang cerdas, pemilih yang memilih pemimpin selanjutnya berdasarkan pertimbangan rasional, bukan berdasarkan emosi, apalagi politisasi SARA.
 
Romo Siswantoko meyakini pula pertimbangan rasional dari para pemilih itu akan mampu melahirkan pemimpin berikutnya yang baik dan mampu mengayomi seluruh masyarakat Indonesia di tengah beragam perbedaan yang ada.

Baca juga: Merawat toleransi demi masyarakat yang lebih inklusif
Baca juga: Mempertahankan masyarakat inklusif di tengah disrupsi teknologi

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2023