Sebagai bangsa yang kaya akan keberagaman, masyarakat Indonesia harus dapat senantiasa mempertahankan inklusivitas melalui toleransi.
Jakarta (ANTARA) - Vasudhaiva kutumbakam. Artinya, seluruh isi dunia adalah satu keluarga. Tat Twam Asi, berarti 'kamu adalah aku dan aku adalah kamu' sehingga ketika seseorang menyakiti orang lain maka ia menyakiti dirinya sendiri.

Dua ajaran itu menjadi landasan umat Hindu untuk selalu menjaga toleransi, yang merupakan penggambaran sikap inklusif, sikap yang mampu memahami sudut pandang orang lain yang berasal dari berbagai latar belakang suku, budaya, ras, dan agama.

Oleh karenanya, Bali yang merupakan provinsi dengan penduduk beragama Hindu terbanyak di Indonesia, terbilang jarang terjadi konflik terutama yang berakar dari masalah agama, suku, budaya, ras, dan golongan.

Demikianlah yang dikatakan oleh Ketua Umum Pinandita Sanggraha Nusantara (PSN) Jro Mangku Gede Pastika saat berbincang dengan ANTARA.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), inklusif berarti 'termasuk' atau 'terhitung'. Adapun dalam konteks yang lebih luas, inklusif dapat diartikan sebagai keterbukaan terhadap segala keberagaman yang ada.

Dengan demikian, masyarakat yang inklusif adalah masyarakat yang tidak membatasi atau menutup diri dari keberagaman yang ada di sekitar mereka.

Indonesia adalah negara yang sangat kaya. Terdiri atas sekitar 16.771 pulau, Indonesia memiliki 1.340 suku bangsa dan 718 bahasa daerah. Beragam ras juga dapat ditemukan di Indonesia, di antaranya Australoid Barat, Mongoloid Barat, Asiatic Mongoloid, Weddoid, Negroid, Proto Melayu, Deutro Melayu, Melayu Mongoloid, hingga Papua Melanesoid.

Dari sisi agama dan kepercayaan juga beragam, mulai dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Sebagai bangsa yang kaya akan keberagaman, masyarakat Indonesia harus dapat senantiasa mempertahankan inklusivitas melalui toleransi. Dalam hal ini, perlu peran dari seluruh masyarakat dan pemangku kepentingan, termasuk para pemuka agama. Pemuka agama harus senantiasa memberikan penyadaran dan pencerahan kepada masing-masing umat agar bisa menerima perbedaan.

Pastika menganalogikan toleransi dengan hal sederhana. Misalnya, ada banyak jalan yang dapat dilewati ketika seseorang hendak menuju Monas, Jakarta Pusat, seperti melalui Jalan M.H. Thamrin atau Harmoni. Namun, jika seseorang itu memilih melalui Tugu Tani pun tidak masalah.

Demikian juga jalan menuju Tuhan, dapat dilakukan dengan berbagai cara yang sesuai dengan keyakinan masing-masing. Tidak perlu didebatkan atau bahkan hingga berselisih dan menyakiti satu sama lain.


Toleransi di Indonesia

Masyarakat Indonesia sebenarnya sudah cukup baik dalam menerima kemajemukan. Salah satu buktinya adalah banyaknya rumah ibadah dari agama yang berbeda yang dibangun berdampingan dan saling mendukung kegiatan keagamaan satu sama lain.

Pada penghujung tahun 2021, Kementerian Agama merilis nilai indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB). Pada tahun tersebut, rata-rata indeks KUB nasional berada di angka 72,39 atau naik 4,93 poin dari tahun sebelumnya.

Adapun menurut penelitian Setara Institute tahun 2022, tiga kota yang paling toleran di Indonesia adalah Singkawang dengan skor 6,58, disusul Salatiga dengan skor 6,42, dan Bekasi dengan skor 6,08.

Sayangnya, menurut penelitian yang sama, rata-rata Indeks Kota Toleran (IKT) nasional pada tahun tersebut berada di angka 5,03, turun dari tahun sebelumnya yang berada di angka 5,24. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) bahkan mencatat 30 kasus intoleransi yang terjadi pada tahun 2023, jauh lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya.

Tak bisa dimungkiri bahwa masih ada riak-riak kecil yang seringkali menimbulkan konflik. Riak-riak tersebut biasanya berupa fanatisme berlebihan terhadap suku, budaya, ras, agama, dan golongan tertentu atau merasa bahwa suku, budaya, ras, agama, dan golongannya yang paling benar. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh perbedaan tafsir terhadap pandangan satu sama lain.

Meski demikian, Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Agama tak tinggal diam. Para pemuka agama kerap diajak berdiskusi tentang moderasi beragama, guna menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pemerintah juga telah memberikan contoh baik kepada masyarakat mengenai Bhinneka Tunggal Ika. Misalnya pada November lalu, umat Hindu berkumpul di halaman Candi Prambanan, Yogyakarta, untuk mendoakan rakyat Palestina yang tengah berjuang melawan serangan Israel. Dalam acara tersebut, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Ditjen Bamas) Kementerian Agama turut mengundang tokoh-tokoh dari agama lain untuk berdoa bersama menurut cara masing-masing.

Kegiatan tersebut menjadi bukti bahwa Pemerintah Indonesia telah memberi contoh bahwa masyarakat Indonesia, meskipun berbeda agama, dapat berjalan beriringan untuk satu tujuan yang sama.


Pesan untuk calon pemimpin Indonesia

Tahun 2024 akan menjadi tahun politik. Pemerintahan Presiden Joko Widodo akan segera berakhir dan digantikan oleh pemimpin baru yang dipilih melalui Pemilihan Umum (Pemilu) pada tanggal 14 Februari.

Calon pemimpin yang kini berkontestasi untuk Pemilu 2024 diharapkan tidak hanya fokus pada pembangunan, tapi juga senantiasa membawa semangat toleransi tinggi dan mempertahankan masyarakat yang inklusif demi keutuhan NKRI.

Memang manusia tetaplah manusia, mustahil seperti Tuhan yang Maha Adil, namun sebagai pemimpin tentu harus bisa memberikan perlindungan kepada seluruh masyarakat. Pemimpin Indonesia pada masa depan harus dapat menjadi sosok yang mengayomi seluruh masyarakat tanpa membedakan suku, ras, budaya, dan agama, bukan pula hanya bagi orang-orang yang berada dalam satu golongan dengannya.

Pemimpin Indonesia pada masa depan juga diharapkan dapat terus memberikan contoh baik agar masyarakat semakin sadar tentang pentingnya saling menghargai perbedaan sehingga indeks inklusivitas Indonesia dapat terus meningkat.

Dalam menciptakan masyarakat yang inklusif mustahil tanpa tantangan, yang beberapa di antaranya mungkin akan sangat sulit jika diatasi sendiri oleh Pemerintah. Untuk itu, pemimpin Indonesia pada masa depan wajib senantiasa merangkul tokoh-tokoh agama dan bergerak bersama mereka.

Dengan berjabat tangan dan saling asah, saling asuh, dan saling asih, kedamaian NKRI tentu dapat terjaga selamanya.













 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023