Pesan ini abadi serta menjadi 'ajimat' untuk selalu menjaga Indonesia kita tetap rukun dan damai.
Bondowoso (ANTARA) - Banyak cara bisa dilakukan untuk hidup rukun dalam perbedaan keyakinan, seperti menjalin komunikasi intensif dengan pemeluk agama lain atau melakukan kegiatan bersama dalam suasana guyub.

Salah satu saluran untuk memupuk dan menjaga rasa persaudaraan itu adalah dengan berbagi cerita lewat tulisan, mengenai aktivitas setiap orang tanpa memandang agamanya apa.

Penggerak literasi yang juga sastrawan Naning Pranoto dan Asri Indah Nursanti (Kepala SMA Don Bosco 2, Pulomas, Jakarta), telah mencontohkan bagaimana manusia menebarkan semangat persaudaraan itu lewat kegiatan berbagi cerita kaum remaja lewat tulisan.

Kumpulan tulisan cerita kaum remaja dari lima negara itu, yakni Australia (Achi dan Dachi), Belgia (Alyssia), dan Finlandia (Emil), serta narasumber dari Amerika Serikat Jody Diamond, komposer, penulis, pemain dan peneliti gamelan, itu kemudian dibukukan dengan judul Cerita dari Lima Negara dan diterbitkan oleh Kosa Kata Kita Jakarta bersama dengan Yayasan Rayakultura Bogor.

Tanpa terlalu banyak didikte harus menulis begini dan begitu, para remaja lintas iman dan domisili (negara) itu menuangkan ide-idenya dengan merdeka sehingga isinya sangat variatif dan penuh keriangan. Lewat sarana ini mereka sesungguhnya sedang menerapkan Merdeka Belajar, sebagaimana menjadi program dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek)

Semua cerita, meskipun tidak secara langsung mengajak untuk mempererat persatuan, sudah berisi pesan mendalam untuk merayakan (mensyukuri) takdir sebagai bangsa Indonesia yang kaya akan budaya, adat, kebiasaan, dan tentunya keimanan.

Kalau siswa SMA Don Bosco 2 Pulomas bercerita kegiatan religius mereka, seperti retreat dalam tradisi Kristen/Katolik, yang Muslim bercerita bagaimana Achi di Australia mengajar di sebuah madrasah (sekolah berbasis Islam).

Cerita Achi cukup menarik karena madrasah di Australia tentu berbeda dengan sekolah agama yang ada di Indonesia. Madrasah di Kota Melbourne yang menempati areal di lingkungan masjid itu tidak dijalankan seketat di dalam negeri. Anak-anak bisa menikmati pelajaran dengan suasana bebas serta riang.

Sementara dari Belgia, Alyssia bercerita mengenai sekolah formal di negara itu yang tidak mewajibkan seragam sekolah kepada siswanya. Meskipun demikian, di sekolah tetap ada aturan sopan santun, misalnya, tidak boleh memakai celana jeans bolong-bolong, tidak boleh memakai T-shirt yang menampakkan pusar dan bahu, serta tidak boleh menggunakan pakaian dengan gambar simbol-simbol kekerasan.

Sementara dari dalam negeri menyelip cerita anak pesantren bernama Ahmad Aqil Al Adha yang kini menghuni Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur.

Cerita Aqil, remaja yang sejak MTs (SMP) sudah hobi menulis artikel dan cerita pendek (cerpen), membuka mata dan hati saudara-saudaranya yang non-muslim bahwa pesantren itu bukan lembaga yang tertutup dengan dunia luar.

Remaja-remaja Katolik terperangah dengan cerita Aqil tentang Pondok Pesantren Nurul Jadid yang sering menerima kunjungan dari tamu luar negeri yang non-muslim.

Mereka juga kaget bahwa di pesantren juga diajarkan Bahasa Mandarin (secara umum dikesankan sebagai bahasa yang asalnya dari negeri ateis) dan Bahasa Jepang.

Membaca cerita para remaja "warga asli" dunia digital ini membawa kita seperti bertamasya ke berbagai belahan dunia, sekaligus menerima wiyata di dalamnya.

Tulisan hasil wawancara dengan Jody Diamond, seorang komposer, penulis, serta pemain dan peneliti gamelan, juga mengingatkan bangsa ini untuk mensyukuri semua anugerah Tuhan yang tidak ditemukan di negara manapun.

Jody mengulas filosofi gamelan yang menurutnya penuh pesan untuk tidak sombong dan menjaga kekompakan karena antara alat musik satu dengan lainnya tidak boleh "egois". Keselarasan adalah kunci untuk menghasilkan bunyi musik yang indah.

Perkenalan Jody Diamond dengan gamelan menggambarkan aura spiritualitas, misalnya, untuk bersikap rendah hati. Bahkan ketika ia mencoba menabuh gamelan kali pertama dengan dipandu temannya, ia sempat putus asa. Ketika terus dilatih, ia merasakan ada ketenangan, kedamaian yang belum pernah dialami dalam kehidupan sebelumnya. Kemudian, ia mendengar suara kecil di dalam kepalanya, hingga ia berketetapan, "Saya akan memainkan musik ini selama saya hidup."

Tekad tersebut yang mengangkat eksistensi Jody Diamond mengabdikan dirinya untuk belajar gamelan terus di Amerika Serikat.

Tahun 1971, saat Jody berumur 18 tahun, datang ke Indonesia bersama 18 mahasiswa dan guru-gurunya untuk belajar gamelan Jawa dan Bali. Lama-kelamaan, Jody tidak hanya tertarik pada gamelan, tapi juga tertarik pada konteksnya, hal-hal yang bisa dimainkan dengan gamelan, antara lain, wayang, klenengan, dan upacara pengantin.

Untuk lebih memahami hal-hal kebudayaan, Jody belajar antropologi sambil meneruskan studi gamelan. Untuk penelitian gelar master di pendidikan bersama musik pada tahun 1978 di San Francisco State Univeristy, Jody mencari jawaban atas pertanyaan, "Mengapa kita merasa sangat bahagia ketika bermain gamelan?"

Pada umumnya, untuk orang asing yang jatuh cinta pada gamelan ada perasaan baru yang muncul ketika kita bermain gamelan bersama. Perasaan baru adalah damai, tenang, halus, dan enak bekerja sama dengan orang lain.

Karena itu, Jody kini memiliki misi agar seluruh dunia bisa bermain dan jatuh cinta pada gamelan. Jika semua orang bisa bermain gamelan bersama, maka kita akan langsung mencapai "perdamaian dunia".

Kembali ke semua cerita para remaja, kumpulan tulisan ini menampilkan cermin dari Anak-anak Pancasila yang menerima perbedaan sebagai sumber persaudaraan sejati dan selalu dijalani dengan kegembiraan.

Oleh karena itu, pesan ilahi dari kaum remaja penerus generasi terdahulu ini tidak akan pernah basi. Pesan ini abadi serta menjadi "ajimat" untuk selalu menjaga Indonesia kita tetap rukun dan damai.














 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024