Depok (ANTARA) - Fakultas Teknik Universitas Pancasila (FTUI) memberikan strategi efektif bangunan sederhana agar tahan terhadap gempa bumi yang sering melanda Indonesia.

"Ada ungkapan yang menyatakan bahwa bukan gempa bumi itu sendiri yang mematikan, melainkan kegagalan struktur bangunan dalam menahan beban seismik yang dihasilkan gempa," ujar Dosen Departemen FTUI Dr. Dipl.-Ing. Nuraziz Handika, S.T., M.T., M.Sc., di Kampus UI Depok, Jumat.

Ia mengatakan Indonesia yang sering terdampak oleh aktivitas seismik, menghadapi konsekuensi serius berupa kerusakan pada struktur bangunan, khususnya pada perumahan.

Ia menambahkan, gempa bumi tidak hanya menginduksi vibrasi fisik pada bangunan, tetapi juga menyingkap kekurangan dalam aspek desain dan konstruksi. Kelemahan ini tidak hanya merusak integritas struktural, tetapi juga meningkatkan risiko kerusakan fatal pada bangunan saat terjadi gempa.

Mengambil contoh gempa Lombok 2018, Dr. Nuraziz Handika menyoroti permasalahan detail pembesian dan sambungan pada bangunan, yang menjadi salah satu pemicu kerusakan terbesar pada struktur bangunan.

Baca juga: Pakar jelaskan cara masyarakat Minang bangun rumah yang tahan gempa

Baca juga: Komunitas Sosial Sembalun rancang rumah tahan gempa dari bambu

Baca juga: Kepala BMKG: YIA jadi bandara tahan gempa dan tsunami pertama di ASEAN


Menurut dia, kualitas bahan bangunan, pendetailan pembesian, serta sambungan pada dinding, kolom, dan balok merupakan faktor utama yang menyebabkan kerusakan dan runtuhnya bangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, rumah tinggal, serta bangunan sederhana lainnya saat dilanda gempa.

“Untuk membuat bangunan tahan gempa, perlu memperhatikan aspek-aspek, seperti sambungan, pemilihan dan persiapan material sebelum digunakan, pendetailan pekerjaan tulangan, pengangkuran dinding ke kolom, pendetailan penulangan balok kolom, serta hal lainnya agar sesuai dengan standar," kata Dr. Nuraziz.

Sebagai contoh, diperlukan panjang pengangkuran yang sesuai pada sambungan antara kolom dan balok sloof, di mana tulangan kolom pada bagian atas dan bawah/ fondasi kolom sebaiknya dilebihkan dari besar minimal 40 kali diameternya.

Dr. Nuraziz yang juga merupakan dosen bidang struktur dengan konsentrasi penelitian pada fenomena retak dan kerusakan material konstruksi FTUI, mengungkapkan bahwa standar yang dijadikan acuan adalah standar yang dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Banyak poster yang dibuat untuk lebih mudah diikuti oleh para pelaksana di lapangan mengacu pada standar tersebut yang dapat diunduh pada tautan https://teddyboen.com/publications_id.html.

Baca juga: Pemkab: Rumah tahan gempa penyintas gempa Cianjur banyak yang rusak

Baca juga: Dosen PNJ membuat inovasi genteng tahan gempa dari limbah plastik

Baca juga: Pemkab pamerkan rumah tahan gempa pada Bogor Fest di Stadion Pakansari


Agar lebih mudah dipahami, Dr, Nuraziz memberikan contoh perhitungan yang baik terkait besi pengangkuran kolom dan dinding bata. Ia mengatakan, “Dalam hal ini jika diameter tulangan yang digunakan sebesar 10 mm, maka panjang minimal pengangkuran seharusnya adalah 40 cm ke arah kanan dan ke kiri dari sudut bangunan."

Pengangkuran ini diaplikasikan setiap enam lapis bata. Selanjutnya, besi angkur dicor pada lapis bata sebagai pengikat antara kolom dengan dinding. Dengan demikian, sambungan atau angkur akan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

Penerapan prinsip yang sama juga berlaku untuk sambungan pada sopi-sopi/gunung-gunung (atap) maupun sudut dinding. Diperlukan pengangkuran yang tepat pada kolom di tengah dinding yang terhubung pada segitiga pelana atap dan pada kolom yang bertemu dengan sudut dinding.

Dr. Nuraziz menyampaikan bahwa untuk membuat bangunan tahan gempa, terdapat beberapa persyaratan pokok yang perlu dipenuhi antara lain kualitas bahan bangunan yang baik, keberadaan dimensi struktur yang sesuai, sambungan elemen struktur utama yang baik, dan mutu pekerjaan yang baik.

“Perlu diperhatikan bahwa pekerjaan ini tidak terlihat kasat mata, dan baru akan teruji ketika gempa terjadi. Oleh karena itu, patuhilah proses dan standar dalam pembuatan bangunan untuk menjaga keselamatan kita bersama,” ujar Dr. Nuraziz yang merupakan doktor lulusan Institut National des Sciences Appliquées de Toulouse, Prancis.

Pewarta: Feru Lantara
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024