"Saya sih setuju saja Indonesia sudah tidak dalam kondisi krisis, tapi kita gagal untuk meminimalisir dampak dari krisis itu yang biayanya sangat mahal dan kita tidak `care` (peduli) dengan itu semua," kata Faisal Basri.
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat Ekonomi Faisal Basri mengatakan efek krisis moneter 1997/1998 belum bisa diatasi pemerintah, meskipun Indonesia sudah keluar dari indikator krisis. "Kalau secara keseluruhan memang simbol-simbol dari krisis itu makin lama makin sedikit, namun kalau kita lihat dari efek krisis itu masih sangat besar," ujarnya kepada ANTARA News di Jakarta, Senin. Hal tersebut dikemukakannya menanggapi pernyataan Wapres M Jusuf Kalla kemarin (30/7) bahwa Indonesia sudah tidak mengalami krisis ekonomi lagi menyusul perdapatan per kapita masyarakat saat ini yang telah mencapai 1.500 dolar AS naik dibandingkan saat krisis yang hanya mencapai 700 dolar AS. Faisal mengakui, saat ini GDP (gross domestic product) ataupun PDB per kapita nasional sudah melampaui saat krisis. Bahkan sejumlah indikator krisis seperti BPPN dan IMF sudah tidak ada lagi. Namun, lanjutnya, dampak krisis yang besar terhadap sendi perekonomian nasional belum teratasi seperti angka kemiskinan dan pengangguran yang belum juga berkurang. "Kondisi itu berbeda dengan Korea dan Thailand yang sudah tidak ada beban lagi," ujar Faisal. Selain itu, kata dia, tingkat "Loan to Deposite Ratio" (LDR/rasio pinjaman dan simpanan)) saat ini baru mencapai sekitar 53 persen, jauh dibandingkan sebelum krisis yang mencapai 106 persen. Di samping itu utang dalam negeri pemerintah akibat krisis yang tiba-tiba menjadi Rp650 triliun juga tidak berkurang sedikit pun sampai saat ini. "Saya sih setuju saja Indonesia sudah tidak dalam kondisi krisis, tapi kita gagal untuk meminimalisir dampak dari krisis itu yang biayanya sangat mahal dan kita tidak `care` (peduli) dengan itu semua," katanya. Buktinya, lanjut Faisal, pelajaran berharga selama krisis tidak membuat Indonesia berubah secara signifikan. Ia mencontohkan dampak krisis yang bagus yaitu pendobrakan monopoli seperti penghapusan BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh) dan program Mobil Nasional tidak mampu dijadikan alat untuk menata industri di dalam negeri. "Sekarang kondisi itu seakan kembali lagi. Seharusnya dengan biaya krisis yang besar, kita melakukan perubahan yang signifikan," ujar pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) itu.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006