Permintaan pasar terhadap obligasi di tahun 2024 diperkirakan masih akan tetap kuat.
Jakarta (ANTARA) - PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menilai bahwa 2024 akan menjadi tahun yang konstruktif bagi pasar obligasi Indonesia.

Hal tersebut utamanya karena dipengaruhi oleh permintaan investor domestik serta kondisi makroekonomi yang diperkirakan akan suportif, didukung oleh dua katalis bagi pasar, yaitu inflasi yang terjaga dan potensi pemangkasan suku bunga.

"Permintaan pasar terhadap obligasi di tahun 2024 diperkirakan masih akan tetap kuat. Faktor penopangnya yaitu permintaan dari investor domestik, seperti investor institusi keuangan nonbank, karena adanya kebutuhan reinvestasi dan pemenuhan kewajiban investasi pada SBN (Surat Berharga Negara),” kata Director & Chief Investment Officer-Fixed Income MAMI Ezra Nazula dalam Indonesia Market Outlook 2024, di Jakarta, Kamis.

Permintaan investor asing juga dapat membaik seiring dengan peralihan kebijakan suku bunga global yang lebih akomodatif. Ezra memperkirakan imbal hasil SBN 10 tahun dapat turun ke kisaran 6,00-6,25 persen.

Hingga saat ini, daya tarik pasar obligasi Indonesia masih terjaga baik. Per 5 Januari 2024, imbal hasil riil obligasi Indonesia tenor 10 tahun tercatat 4,0 persen, masih merupakan salah satu yang tertinggi jika dibandingkan dengan kawasan lain, seperti Thailand (3,2 persen), China (3,0 persen), Malaysia (2,3 persen), Filipina (2,1 persen), India (1,7 persen), AS (0,9 persen), dan Eropa (-1,9 persen).

"Kondisi ini disertai dengan peralihan kebijakan suku bunga global yang lebih akomodatif dan nilai tukar rupiah yang lebih stabil, sehingga berpotensi mendorong masuknya aliran dana asing yang dapat mendukung pasar obligasi domestik," ujarnya pula.

Namun, ia memberikan catatan beberapa faktor risiko yang perlu dicermati. Pertama, adanya risiko dari tekanan penerbitan obligasi pemerintah, terutama pada paruh pertama 2024. Hal itu merupakan strategi Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan untuk melakukan lelang lebih banyak pada paruh pertama (front-loading issuance policy).

Risiko kedua, melebarnya selisih imbal hasil antara Surat Utang Negara Indonesia dibandingkan dengan imbal hasil US Treasury, sehingga membuat pasar Indonesia menjadi kurang menarik. Kondisi semacam itu dapat terjadi apabila pendapatan ekspor Indonesia turun akibat melemahnya harga komoditas global.

"Ketiga, risiko perbedaan ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed. Terakhir, risiko ketidakpastian geopolitik,” katanya lagi.
Baca juga: Analis ingatkan investor cermati inflasi AS dan aksi beli asing
Baca juga: OJK kembangkan produk reksa dana sebagai pilihan investasi

Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024