Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan narasi yang sangat representatif, soal bagaimana keterkaitan pandemi dan perubahan iklim.

“Climate change adalah global disaster yang magnitude-nya diperkirakan akan sama seperti pandemi COVID-19," ujar Menkeu dalam ESG Capital Market Summit, beberapa waktu lalu.

Menkeu menambahkan, yang membedakan dari kedua bencana ini adalah COVID-19 muncul tanpa peringatan dan penyebarannya sangat cepat.

Sedangkan, perubahan iklim adalah ancaman bencana yang nyata di kemudian hari berdasarkan penelitian oleh para ilmuwan di dunia.

Tak ada pilihan lain bagi semua negara, untuk berkomitmen kuat melestarikan lingkungan, dengan lebih progresif dan ambisius secara global. Pada fase ini, Indonesia bisa berkontribusi secara signifikan.

Sejalan dengan pernyataan Menkeu tersebut, dalam perencanaan pemulihan pascapandemi, pemerintah Indonesia telah bersiap untuk melanjutkan upaya mewujudkan ekonomi hijau dan rendah karbon.

Dukungan instrumen fiskal dan pendanaan global pun diperlukan dalam pengurangan emisi karbon Indonesia hingga 41 persen.

Transisi negeri ini menuju negara dengan ekonomi rendah karbon perlu didukung dana global, mengingat biaya pengurangan emisi terhitung mahal.

Pembangunan rendah karbon merupakan salah satu strategi transisi menuju ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan.

Pembangunan rendah karbon juga menjadi tulang punggung menuju ekonomi hijau untuk mencapai visi Indonesia maju 2045 dan mencapai nol emisi pada 2060.

Transformasi ekonomi Indonesia menjadi ekonomi hijau merupakan salah satu strategi agar Indonesia dapat keluar dari “middle income trap”.

Ekonomi hijau dan pembangunan rendah karbon akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan sosial dengan tetap menjaga kualitas lingkungan.

Implementasi kebijakan Net Zero Emission melalui Pembangunan Rendah Karbon dapat diwujudkan dengan melakukan transisi menuju ekonomi hijau.

Namun, masih banyak tantangan yang harus dihadapi dan diperlukan kesepakatan yang solid dari semua pihak.

Oleh karena itu, perlu dilakukan kolaborasi dan komunikasi yang intensif antara berbagai pemangku kepentingan untuk memastikan proses transisi menuju ekonomi hijau dapat dilakukan dengan baik.

Upaya Pemerintah Indonesia untuk membangun fondasi penerapan ekonomi hijau didukung oleh beberapa kebijakan strategis.

Komitmen ini didukung oleh alokasi anggaran melalui skema APBN dan Non-APBN dalam pembiayaan program ekonomi hijau.

Ekonomi hijau dalam dokumen perencanaan telah dimasukkan dalam RPJMN 2020-2024 dengan tiga program prioritas, yaitu peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan ketahanan bencana dan perubahan iklim, serta pembangunan rendah karbon.

Anggaran perubahan iklim rata-rata mencapai 4,1 persen dari APBN, dimana 88,1 persen di antaranya dibelanjakan dalam bentuk infrastruktur hijau sebagai modal utama transformasi ekonomi hijau di Indonesia.

Tantangan Indonesia dalam mewujudkan Net Zero Emission melalui pembangunan rendah karbon adalah sangat besarnya investasi yang dibutuhkan.

Dalam transisi energi, dibutuhkan kesadaran untuk beralih menggunakan produk yang efisien dan ramah lingkungan, serta persiapan migrasi ke green jobs.

Adapun peluang yang bisa diperoleh Indonesia yaitu penciptaan lapangan kerja hijau, dekarbonisasi sektor transportasi, dan pengaturan perdagangan karbon.

Pendanaan perubahan iklim Indonesia membutuhkan 3.799 Triliun rupiah jika mengikuti NDC atau komitmen untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi karbon nasional, untuk mengurangi dampak perubahan iklim.

Dana yang tersedia untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pada tahun 2020 adalah 100 juta dolar AS untuk diberikan kepada negara miskin dan berkembang sebagaimana dikonfirmasi pada COP-26 di Glasgow Scotland pada November 2021.

Pemenuhan lainnya berasal dari pendanaan internasional seperti GCF (Green Climate Fund) melalui program REDD+, sukuk hijau global, sukuk hijau ritel, APBD, pajak karbon, dan perdagangan karbon.

Dalam kaitannya dengan Energi Baru dan Terbarukan, Indonesia telah menerapkan program mandatori biodiesel B30. Dampak dari kebijakan mandatori biodiesel antara lain pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 23,3 juta ton CO2e (carbon dioxyde equivalent).

Program tersebut telah berhasil meningkatkan penggunaan energi terbarukan, mengurangi emisi karbon, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan petani.


Platform ESG

Menjadi tantangan korporasi di Indonesia, agar kegiatan bisnis dapat memberi dampak ekonomi secara berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Diperlukan seperangkat standar dan indikator yang dapat digunakan untuk menilai aktivitas perusahaan dalam prinsip ekonomi hijau. Salah satunya adalah platform ESG (environmental, social, governance).

Secara sederhana ESG adalah konsep yang mengedepankan kegiatan pembangunan, investasi, ataupun bisnis yang berkelanjutan, sesuai dengan tiga kriteria mencakup lingkungan, sosial dan tata kelola.

Perusahaan yang berpedoman pada ESG wajib mengintegrasikan dan mengimplementasikan prinsip-prinsip terhadap pelestarian lingkungan, tanggung jawab sosial, juga untuk tata kelola yang baik ,dalam setiap praktik bisnis serta investasi.

Kini yang dibutuhkan adalah sosialisasi implementasi ESG, mengingat berdasar hasil survei internal Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) terhadap seribu perusahaan anggota, ternyata tidak sampai 30 persen perusahaan yang memahami ESG.

Dari hasil survei tersebut, yang mulai menerapkan praktik ekonomi berkelanjutan dan mematuhi prinsip ESG, umumnya adalah perusahaan besar.

Penerapan prinsip ESG pada perusahaan besar umumnya juga sekadar “formalitas” untuk sejumlah kepentingan, semisal menarik daya tarik investasi, dan sebagai bentuk akuntabilitas laporan pertanggungjawaban kepada publik dan investor.

Investor memandang ESG penting, untuk menyaring perusahaan sekaligus mendorong perusahaan bertindak secara bertanggung jawab.

Konsep ESG juga dapat memastikan perusahaan agar tidak terlibat dalam praktik-praktik yang berisiko, serta tidak etis dalam aspek lingkungan, sosial ataupun tata kelola.

Masih adanya ketimpangan pengetahuan prinsip ESG, antara perusahaan besar dan usaha skala menengah, merupakan kendala bagi pengembangan ekonomi hijau.

Untuk menerapkan ESG, umumnya perusahaan (besar) harus merekrut konsultan untuk menyusun sustainability reporting dan lain-lain.

Maka menjadi tugas pemerintah selaku pemangku kepentingan dalam menyosialisasikan apa itu ESG, dan manfaatnya bagi pengembangan ekonomi hijau.

Salah satu contoh perusahaan domestik yang dinilai sangat siap menerapkan prinsip ESG dalam lini bisnis mereka adalah PT Pertamina (Persero).

Pada akhir tahun 2023, Pertamina tercatat menempati posisi teratas global dalam peringkat Risiko ESG, subindustri Integrated Oil and Gas, yang diterbitkan lembaga ESG Rating Sustainalytics.

Pertamina dalam posisi skor tertinggi dari 61 perusahaan dunia. Peringkat Risiko ESG oleh Sustainalytics mengukur eksposur perusahaan terhadap risiko ESG yang material bagi tiap industri.

Kemudian seberapa baik perusahaan mengelola risiko tersebut, dan memberikan kuantitatif yang dapat dibandingkan di semua industri.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati pernah mengatakan, untuk memperkuat eksposur perusahaan terhadap prinsip ESG, pada tahun ini Pertamina akan mengalokasikan penandaan anggaran keberlanjutan (sustainability budget tagging) sebesar 1,4 miliar dolar AS, atau kira-kira setara Rp21,74 triliun.

Selain menjalani berbagai inovasi dekarbonisasi dengan memproduksi energi ramah lingkungan, dengan memanfaatkan anggaran tersebut, Pertamina juga telah menyatakan tekadnya untuk terus memperkuat aspek keselamatan kerja, tata kelola perusahaan, pemberdayaan masyarakat, dan pengembangan UMKM.


*) Penulis adalah Dosen UCIC, Cirebon.
 

Copyright © ANTARA 2024