Pajak  berguna untuk meningkatkan kapasitas manusia, perekonomian, dan kemampuan melakukan usaha. Jadi, pajak bukan sekadar untuk pemerataan. Begitu kata dosen ekonomi internasional dari Universitas Indonesia, Yose Rizal Damuri.

Menurut peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) ini, pajak harus digunakan untuk membiayai pembangunan barang publik yang tak disediakan pasar dan pengusaha, seperti infrastruktur jalan raya, transmisi listrik, pelabuhan di tempat terpencil, dan jaringan telekomunikasi. Semua ini membutuhkan biaya, dan dari sini pajak bisa bermain.

"Bila infrastruktur cukup, iklim usaha lebih baik, kemudian mendorong lapangan kerja yang lebih baik sehingga yang tidak bisa mendapat pekerjaan menjadi mempunyai pekerjaan," papar Yose Rizal.

Pemerataan adalah juga menyangkut penyediaan berbagai kebutuhan untuk pembangunan ekonom, termasuk pendidikan dasar yang walau mahal tapi dibutuhkan semua orang. "Ini yang harus disediakan pemerintah. Dari mana uangnya? Ya dari pajak," katanya lagi.

Yose tidak setuju dengan pandangan bahwa pemerataan itu berarti mengambil uang dari orang kaya untuk diberikan kepada kaum tak berpunya. Sebaliknya, pemerataan lebih menyangkut efek tidak langsung seperti menciptakan kebutuhan kerja, SDM, kapasitas ekonomi, dan sejenisnya, sehingga semua orang berkesempatan maju.

Menurut Yose, pajak hanya salah satu sumber pendapatan negara, karena masih ada sumber-sumber pendapatan negara lainnya, seperti hasil minyak dan gas, serta barang mineral lainnya. Sementara sumber pajak lain seperti cukai rokok dinilainya lebih banyak menyumbangkan uang dibandingkan BUMN.

Prinsipnya harus ada keadilan dan pemerataan, demi mensejahterakan masyarakat. Namun Yose menekankan, keadilan itu tidak dipahami dari soal kekayaan, melainkan kesempatan, seperti kesempatan kerja, pendidikan, dan berusaha.

"Kita harus ubah pemikiran bahwa adil bukan masalah kekayaan atau pendapatan, tetapi kesempatan, bagaimana orang bisa climb up social ladder. Ada kesempatan untuk naik semampu kita," kata Yose.

Bukan berarti semua orang harus kaya atau sama, tetapi bagaimana semua orang bisa merealisasikan kesempatan mereka. Hal ini yang kurang terwujud di Indonesia, sebaliknya kesempatan itu kian berkurang.

Kesempatan itu menyangkut banyak hal, mulai kesempatan bersekolah, berbisnis, akses ke perbankan, sampai izin usaha yang sekarang susah sekali didapat dan menelan waktu berbulan-bulan serta puluhan juta rupiah yang membuat investasi pun menyurut.

"Kita terlalu banyak terperangkap oleh propaganda 'kita harus adil, berkeadilan, sejahtera, semua rakyat Indonesia harus tidak ada yang miskin', tapi kita lupa menanyakan apa yang harus kita lakukan," kata Yose.

Slogan-slogan jargonis ini membuat Indonesia tidak fokus pada apa yang seharusnya dilakukan, seperti dalam memperbaiki iklim investasi, akses pendidikan, dan layanan kesehatan.

Sebaliknya Yose secara implisit menengarai ada kecenderungan pengenaan pajak yang belum terukur, dengan semata didasari perkembangan besaran kekayaan yang didapat wajib pajak, seperti pajak saham yang tengah dibidik Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Pertimbangannya diangkat dari meningkatnya nilai kekayaan orang-orang kaya Indonesia sampai rata-rata 19 persen akibat kontribusi saham.

Di sisi lain, Ditjen Pajak mendapati fakta bahwa 1.200 orang kaya yang terdaftar sebagai wajib pajak selama 2011, hanya membayar pajak Rp1,2 triliun atau rata-rata Rp1 miliar untuk setiap orang kaya Indonesia.

Tapi, Yose berpendapat pemasukan pajak memang mesti dikelola secara tertata, demi menghindarkan ketimpangan-ketimpangan, termasuk ketimpangan antar daerah.

Dalam soal ini, dia mengusulkan desentralisasi. "Sekarang uangnya kan tidak lagi dibelanjakan langsung pemerintah pusat tapi oleh pemerintah daerah. Mereka diberikan uang dan dibelanjakan sesuai program mereka punya, sudah berjalan sejak 2001," kata Yose.

Dia menilai keuangan daerah adalah bagian dari keuangan negara yang pada era Orde Baru dipegang pemerintah pusat. Tapi sekarang pemerintah daerahlah yang berwenang, kendati mereka menghadapi masalah berupa kemampuan mengatur uang pajak.

Pemerintah daerah sekarang sudah belajar baik dalam mengatur keuangan, namun masih banyak permainan dan proses di belakang meja yang tidak transparan yang menentukan proses politik dan ekonomi dalam menentukan berapa uang untuk daerah tertentu, apalagi kebanyakan pajak Indonesia banyak datang dari Jakarta.

"Tetapi enggak bisa semua jatuhnya buat ke Jakarta karena daerah-daerah seperti Riau, Kalimantan Timur, juga mempunyai revenue tinggi dari sumber daya mineral," kata Yose Rizal.

Dalam soal ini, prinsip transparansi menjadi penting. Yose sendiri menilai transparansi sebagai keharusan yang semestinya sudah diatur dalam peraturan negara mengenai transparansi data publik.

"Seharusnya sudah ada, tapi implementasinya masih kurang. Kita mau mencari mengenai keuangan satu daerah itu sulit sekali, kita harus nanya ke bidang keuangannya, harus pakai surat permohonan segala, lama prosesnya, baru kita bisa dapat," sindir Yose.

Menurut dia seharusnya siapa pun bisa bebas mengakses data-data mengenai alokasi pajak dan tersedia di web-web pemerintah daerah yang faktanya malah jarang tersedia.   Kesulitan serupa didapatkan pula di tingkat nasional di mana data seperti RAPBN, tidak banyak tersedia, terutama bagaimana dana-dana digunakan oleh kementerian-kementerian.

Dia menilai transparansi harus terus ditingkatkan. "Karena itu salah satu cara melihat efektivitas penggunaan dana sehingga mendorong pembayar pajak agar tahu pajak mereka dipakai untuk apa," kata Yose.

Dan transparansi ini harus diterapkan penganggaran, bukan hanya membidik pelaksanaan anggaran. Misalnya, pada 2014 semestinya sudah ada presentasi kepada publik mengenai bujet pada 2013.

"Realisasinya secara reguler, misalnya setiap semester, dipresentasikan lagi. Kalau sekarang kita tahunya dari wartawan yang kebetulan lagi mewawancarai menterinya, baru ketahuan realisasinya sampai di mana", demikian Yose.

Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2013