Ya, (kuncinya) memang dukungan Pemerintah. Karena teknologi energi bersih kan mahal. Begitu pula dengan regulasi, pemerintah harus mempermudah
Jakarta (ANTARA) - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menyatakan kebijakan Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (Carbon Border Adjustment Mechanism/CBAM) oleh Uni Eropa (UE) berdampak besar terhadap industri baja dalam negeri.

Oleh karena itu, lanjutnya di Jakarta, Senin, pemerintah harus memberi dukungan yang kuat kepada industri baja di Indonesia, termasuk melalui regulasi yang tepat.

"Ya, (kuncinya) memang dukungan Pemerintah. Karena teknologi energi bersih kan mahal. Begitu pula dengan regulasi, pemerintah harus mempermudah," ujarnya melalui sambungan telepon.

Untuk itulah, menurut dia, meski ekspor produk baja Indonesia ke UE relatif kecil dibandingkan dengan total ekspor nasional, namun industri baja nasional juga menghadapi tekanan serius.

Sebab, tambahnya, jalur produksi berbasis batu bara yang digunakan sekarang memang signifikan meningkatkan emisi. Baja dalam negeri yang diekspor ke Tiongkok dan kemudian diolah untuk dijual ke UE misalnya, pasti meninggalkan jejak karbon.

"Ini tantangan sekaligus tekanan dari UE. Dan itu tidak hanya terjadi di baja dan sawit, tetapi hampir semua komoditas," katanya.

Oleh karena itu, dia menyatakan dukungan yang tepat dari pemerintah sangat diperlukan, termasuk kemudahan kebijakan yang memungkinkan transisi ke teknologi net zero emission, sehingga industri baja Indonesia mampu menghadapi tantangan global dengan menjaga daya saing dan profitabilitasnya.

"Betul, regulasinya harus mendukung, Pemerintah harus menyiapkan. Misal ada industri yang berorientasi ke arah sana (aspek hijau sesuai kebijakan CBAM), pendekatan green finance bisa dilakukan. Itu harus ada insentif, selisih bunga yang signifikan," katanya.

Insentif tersebut, menurut Tauhid merupakan langkah konkret yang harus dilakukan pemerintah, pasalnya, beberapa sektor sudah memperoleh, seperti insentif pajak dan pengurangan bea masuk.

"Bahkan ada subsidi untuk otomotif. Nah, besi dan baja kan belum. Jadi, harus disiapkan dan terus dikaji," katanya.

"Syaratnya, kebijakan tersebut tidak hanya untuk menghadapi CBAM dari UE. Lebih dari itu, agar industri baja nasional bisa bersaing di pasar global," ujarnya.

Menurut dia, tidak semua industri baja bisa memperoleh privilese namun hal itu dapat diberikan kepada industri baja yang sebagian sudah memenuhi aspek hijau.

"Dengan demikian, industri tersebut bisa memenuhi aspek permintaan pasar UE. Hal ini sama seperti di sawit dan lainnya, tidak semua dapat tapi sudah ada dukungan dari pemerintah," katanya.

Kebijakan CBAM, diterapkan UE untuk mengurangi risiko 'kebocoran karbon' yang terjadi ketika perusahaan UE memindahkan produksi mereka ke negara-negara dengan kebijakan iklim yang lebih longgar.

UE telah memulai tahap transisi penerapan CBAM pada tanggal 1 Oktober 2023 dan secara efektif akan memberlakukan CBAM pada 1 Januari 2026.

Baca juga: Indef sebut sertifikasi EPD tunjukkan GRP peduli lingkungan

Baca juga: Kemenperin: Industri logam dasar tumbuh gemilang di tengah perlambatan

Pewarta: Subagyo
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2024