Semarang (ANTARA) - Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah Dr. Syarifuddin mengakui bahwa fenomena bergesernya atau kian tidak diminatinya penamaan anak secara khas dari bahasa daerah menjadi salah satu ancaman kelestarian bahasa daerah.

"Itu salah satunya. Karena nama itu domain dalam bahasa itu sendiri," katanya, usai "Rapat Koordinasi Program Revitalisasi Bahasa Daerah bersama Pemprov dan Pemkab/Pemkot di Jateng", di Semarang, Senin.

Saat ini, banyak anak yang tidak lagi dinamai oleh orang tuanya menggunakan bahasa daerah atau istilah khas daerah, namun mulai tergantikan dengan istilah-istilah modern atau bahasa asing.

"Itu yang tadinya, menjadi ciri khas. Misalnya, kalau Sunda kan ada Asep, Cecep. Kalau di sini  ada Joko, misalnya. Sekarang sudah berubah dengan bahasa lain yang luar biasa," katanya.

Padahal, kata dia, penamaan anak dengan mengambil bahasa daerah atau istilah khas daerah merupakan salah satu bentuk pelestarian bahasa daerah, yakni dengan mempertahankan penggunaannya.

"Itulah memang tadi migrasi bahasa yang kami khawatirkan. Namun, bagaimana pun sebenarnya dengan adanya gempuran dan benturan bahasa, kalau penuturnya menggunakan, aman sudah," katanya.

Syarifuddin mengingatkan bahwa maju mundurnya bahasa sangat bergantung dengan penuturnya yang harus memiliki sikap positif atau rasa cinta terhadap bahasa daerah yang menjadi warisan budaya nenek moyangnya.

"Kalau penutur tidak mempunyai sikap positif atau rasa cinta kepada bahasanya, ya bahasa akan mati. Kalau tidak digunakan ya mati karena bahasa harus digunakan," katanya.

Karena itu, Balai Bahasa Jateng berupaya melakukan revitalisasi bahasa daerah melalui berbagai program bekerja sama dengan pemerintah daerah, baik pemprov maupun pemerintah kabupaten/kota.

Baca juga: Melestarikan bahasa ibu sebagai warisan budaya

Kepala Pusat Penguatan dan Pemberdayaan Bahasa Badan Bahasa Dr. Iwa Lukmana mengatakan bahwa program revitalisasi bahasa daerah tidak boleh terlena dengan jumlah penutur yang saat ini masih cukup banyak.

Di Indonesia, kata dia, tercatat ada sebanyak 718 bahasa daerah yang beberapa di antaranya sudah mati dan ada yang kondisinya kritis karena hanya menyisakan penutur senior atau orang-orang tua.

"Jangan karena penuturnya masih cukup banyak. Tetapi, sebagai upaya perlindungan (bahasa daerah, red.) justru harus melihat apa yang terjadi pada anak dan cucu kita, apakah masih (bertutur bahasa daerah, red.)," katanya.

Senada, Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng Syamsudin Isnaini menambahkan bahwa Pemprov Jateng berkomitmen melindungi bahasa daerah dengan regulasi, baik peraturan daerah, peraturan gubernur, hingga SK gubernur.

"Di Jateng, untuk pelestarian bahasa Jawa, salah satunya adalah semua satuan pendidikan di bawah kewenangan pemprov (bahasa Jawa, red.) menjadi wajib jadi muatan lokal di kurikulum SMA dan SMK," pungkasnya.

Baca juga: Pemprov Sulsel fokus pengembangan dan perlindungan bahasa daerah

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024