Semarang (ANTARA) - Orang berilmu seyogianya tidak mudah teperdaya oleh bujuk rayuan dengan segala iming-iming yang bakal berujung pada kerugian yang bersangkutan.

Apa pun modus penipuan online (daring) tidak bakal mempan jika masyarakat selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian hari makin canggih.

Dengan melek teknologi, masyarakat akan selalu waspada terhadap beraneka ragam modus, seperti penipuan yang berkedok hadiah, arisan online, penipuan berkedok krisis keluarga, investasi bodong, dan pinjaman ilegal.

Modus lainnya, seperti penipuan berkedok asmara, penerimaan kerja, penerimaan beasiswa, penipuan jual beli, penipuan berkedok amal dan donasi, pengurasan isi rekening dengan modus pengiriman malware (malicious software) melalui laporan kurir dan surat undangan.

Agar tidak menjadi korban kejahatan itu, pakar keamanan siber Dr. Pratama Persadha memberikan tip, antara lain, jangan merespons pesan dari nomor yang tak dikenal.

Jika memang mengenal orang tersebut, namun nomor telepon seluler (ponsel) berbeda, sebaiknya mengonfirmasikan terlebih dahulu melalui nomor lama, apakah memang yang bersangkutan mengirimkan pesan dari nomor lain.

Tip lainnya, penerima pesan bisa menggunakan aplikasi tambahan untuk identifikasi nomor tak dikenal, seperti Truecaller. Aplikasi asal Swedia ini mengidentifikasi panggilan masuk dari nomor tak dikenal.

Bisa pula dengan menggunakan aplikasi Getcontact. Meskipun penelepon tidak ada dalam kontak ponsel (HP), ID penelepon akan menampilkan identitas penelepon tak dikenal.

Aplikasi itu, kata Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC Pratama Persadha, bisa tahu apakah nomor tersebut valid ataukah nomor yang dipakai untuk penipuan. Terkadang ada calon korban yang menambahkan penanda kepada nomor tersebut.

Cara lain untuk mengatasi penipuan, bisa menyalakan fitur "bisukan penelepon tidak dikenal" pada WhatsApp dengan cara masuk ke menu "pengaturan", kemudian pilih privasi, pilih "panggilan", lalu scroll ke bawah, pilih "bisukan" penelepon tidak dikenal", lantas mengaktifkan fitur tersebut.

Ditekankan pula jangan melakukan transfer atau transaksi keuangan dalam bentuk apa pun kepada pelaku, dan segera laporkan kepada pihak berwajib supaya bisa ditindaklanjuti.


Catut pejabat KPK

Salah satu penipuan yang terjadi belakangan ini, bahkan cukup viral adalah penipuan melalui aplikasi perpesanan dengan menggunakan foto profil dari Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Rudi Setiawan.

Biasanya pelaku melihat teman-teman dari orang yang dicatut namanya di akun media sosial, kemudian pelaku akan kirim DM (direct message) atau private message kepada korbannya.

Belum diketahui secara pasti pesan apa yang dikirimkan oleh pelaku. Namun, karena nama yang dicatut adalah seorang pejabat KPK, bisa jadi pelaku kontak korban. Pelaku mengaku bisa membantu jika korban sedang tersandung proses hukum di KPK.

Kemungkinan lain, memberikan informasi palsu kepada korban bahwa mereka sedang menjadi target penangkapan dan menjanjikan nama yang bersangkutan terhapus dalam daftar target dengan membayarkan sejumlah uang.

Apalagi, penipuan dengan modus catut nama seperti ini makin diperparah dengan makin maraknya kebocoran data pribadi belakangan ini.

Dengan menggunakan data yang bocor tersebut, pelaku akan bisa lebih meyakinkan korbannya karena pada saat kali pertama menghubungi korban, pelaku bisa menyebutkan nama korban serta beberapa identitas pribadi korban.

Penipuan dengan modus catut nama seperti ini, menurut Pratama, sangat berbahaya, terutama korban yang secara spesifik memang memiliki kasus hukum dengan KPK atau pejabat serta pimpinan perusahaan. Korban akan cenderung percaya, apalagi pelaku memberikan iming-iming kemudahan atau mengancam akan memperkarakan korban.


Klarifikasi KPK

Atas penipuan mengatasnamakan Deputi Penindakan KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi melalui laman kpk.go.id pada tanggal 14 Maret 2024 memberi klarifikasi bahwa informasi itu hoaks.

Dalam klarifikasi itu menyebutkan bahwa KPK mendapatkan informasi adanya penipuan dengan modus transfer sejumlah uang kepada oknum yang mengatasnamakan ataupun pihak-pihak yang mengaku sebagai pihak perantara Rudi Setiawan, Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK.

Oknum tersebut menggunakan nomor ponsel dengan foto profil Rudi Setiawan, kemudian rekening bank untuk penampungan dana beralamat di wilayah Sumatera Utara.

Lembaga negara yang berfungsi untuk memberantas tindak korupsi ini meminta oknum tersebut untuk segera menghentikan aksi kriminalnya.

KPK juga mengimbau kepada masyarakat yang mengetahui informasi perbuatan oknum tersebut untuk dapat melaporkannya kepada KPK melalui call center 198 atau aparat penegak hukum lainnya agar bisa segera ditindaklanjuti.

Sebelumnya, KPK bekerja sama dengan aparat penegak hukum (APH) lainnya juga pernah melakukan penangkapan terhadap oknum yang mengatasnamakan pegawai KPK dan melakukan penipuan dan pemerasan.

KPK meminta masyarakat untuk berhati-hati dan waspada terhadap modus penipuan, pemerasan, dengan modus pengurusan perkara di KPK, ataupun dalam bentuk sumbangan lainnya.

Ditekankan pula dalam klarifikasi itu bahwa setiap penugasan pegawai KPK selalu disertai dengan surat tugas resmi dari lembaga.

Jauh hari sebelumnya, KPK sudah mengingatkan kepada masyarakat untuk tidak mempercayai dan melaporkan pihak yang mengaku bisa mengurus atau menghentikan perkara yang ditangani oleh lembaga antirasuah.

KPK memastikan bahwa penanganan perkara di instansinya melalui proses yang melibatkan lintas unit. Selanjutnya melakukan gelar perkara untuk menentukan siapa pihak-pihak yang bertanggung jawab. Begitu pula terkait dengan penetapan tersangka dan keputusan pimpinan juga dilakukan secara kolektif kolegial.

Penanganan perkara di KPK, kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri di Jakarta, Rabu (21 Februari 2024), tidak ditentukan oleh orang per orang, namun tersistem dalam kerja tim.

Ali mengungkapkan bahwa KPK sering mendapat informasi adanya pihak-pihak yang mengaku sebagai insan KPK yang dapat mengatur atau menghentikan penanganan perkara di KPK.

Hal itu langsung ditindaklanjuti oleh KPK bersama aparat penegak hukum lainnya, kemudian berujung penangkapan terhadap pihak-pihak yang melakukan modus tersebut.

Jika merujuk pada Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ancaman hukumannya paling lama 4 tahun.

Bertalian dengan perkara penipuan online itu bisa dijerat Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19/2016 (UU ITE). Ancaman hukumannya maksimal 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024