Kupang (ANTARA News) - Wanita-wanita Sumba Barat Daya di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur menari dan meronggeng ketika mendengar kabar tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) pada 2 Oktober 2013.

Tarian dan ronggengan itu sebagai sebuah ekspresi kemerdekaan atas belenggu hukum yang disutradarai sendiri oleh Akil Mochtar dan para hakim agung di MK ketika memutuskan perkara sengketa Pilkada Sumba Barat Daya.

Masyarakat pantas kecewa, karena 144 kotak suara yang dijadikan sebagai barang bukti dalam sengketa pilkada Sumba Barat Daya, tidak dibuka oleh majelis hakim MK dengan alasan tidak punya cukup waktu.

Kekecewaan mereka seakan membara, karena 144 kotak suara yang diduga sebagai sumber penggembungan surat suara itu, diminta MK sendiri untuk dihadirkan dalam sidang agar dilakukan penghitungan ulang.

Ketika majelis hakim MK dalam amar putusannya tertanggal 29 Agustus 2013 menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya atas nama pasangan Kornelius Kodi Mete-Daud Lende Umum Moto (KONco OLE ATE), dan menguatkan hasil pleno KPU Sumba Barat Daya yang telah menetapkan pasangan Markus Dairo Talu-Dara Tanggu Kaha (MDT-DT) sebagai bupati-wakil bupati terpilih periode 2013-2018, memicu reaksi yang hebat di kalangan akar rumput.

Sejumlah rumah penduduk dibakar dan beberapa orang di antaranya tewas terbunuh oleh pihak-pihak yang merasa kecewa atas putusan MK tersebut. Daerah otonom baru hasil pemekaran dari Kabupaten Sumba Barat itu bagai api dalam sekam. Putusan MK membuat rakyat jadi gerah, karena MK sebagai lembaga hukum tidak sanggup membuktikan fakta hukum dalam memutuskan sebuah perkara.

Kekecewaan rakyat Sumba Barat Daya seakan terobati ketika KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap Ketua MK Akil Mochtar atas tuduhan menerima suap dalam kasus Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Selatan. Mereka mengekspresikan kegembiraan tersebut dalam tarian dan ronggeng, meski tanpa diiringi musik.

Terus apa yang dilakukan oleh KPU sebagai penyelenggara pilkada? Langkah yang diambil KPU Sumba Barat Daya pimpinan Yohanes Bili Kii itu adalah melakukan pleno ulang rekapitasi penghitungan surat suara atas permintaan Panwaslu Sumba Barat Daya pada 26 September 2013.

Hasil pleno ulang tersebut menetapkan pasangan KONco OLE ATE sebagai Bupati dan Wakil Bupati SBD terpilih periode 2013-2018, dan menganulir hasil keputusan pleno KPU SBD sebelumnya yang telah menetapkan pasangan MDT-DT sebagai pemenangnya. Mengejutkan memang, karena baru pertama kali terjadi dalam sejarah sengketa pilkada di Indonesia.

Namun, yang menjadi persoalan sekarang, apakah hasil pleno ulang rekapitulasi tersebut dapat mementahkan putusan MK yang bersifat final dan memikat?

Menurut pengamat hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana Kupang Dr John Kotan Stefanus SH.MHum, kasus sengketa pilkada SBS dapat diterobos melalui mekanisme peninjauan kembali (PK) terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, meski tidak ada aturan hukum yang mengatur soal PK.

"PK merupakan salah satu solusinya dalam menyelesaikan krisis pilkada di SBD, karena ada bukti hukum baru (novum) yang dapat dijadikan sebagai dasar alasan untuk mementahkan keputusan MK yang disebut bersifat final dan mengikat itu," katanya.

John Kotan sangat menyadari bahwa tidak ada aturan yang mengatur soal mekanisme peninjauan kembali (PK) terhadap putusan MK, tetapi dalam kasus Pilkada SBD, dapat dijadikan sebagai contoh kasus dalam menerobos aturan UU yang mengatur tentang fungsi dan kedudukan MK sebagai pengadilan yang mengadili kasus sengketa pilkada.

Juru bicara KPU NTT Djidon de Haan juga mengakui bahwa tidak ada aturan UU yang mengatur soal pleno ulang atau melakukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan MK yang bersifat final dan mengikat terhadap sengketa pilkada seperti dalam kasus pilkada SBD tersebut.

"Tawaran untuk melakukan PK mungkin merupakan suatu wacana baru dalam hukum ketatanegaraan kita. Akan tetapi, upaya untuk melakukan pilkada ulang juga merupakan sebuah langkah solutif dalam mengatasi krisis pilkada di SBD," kata mantan Asisten Tata Praja Setda NTT itu.

Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Undana Kupang Dr Karolus Kopong Medan SH.MHum kemudian mempertanyakan itikad dilakukannya pilkada ulang tersebut dengan hasil pilkada yang telah diputusan, baik melalui putusan MK maupun pleno ulang KPU SBD.

"Jika tidak ada aturan yang mengatur soal PK dan dilakukannya pilkada ulang untuk mendapatkan hasil pemilu yang sahih, apakah hasil pleno KPU SBD yang telah menetapkan pasangan MDT-DT sebagai Bupati dan Wakil Bupati SBD terpilih, tetap dianggap sahih?"

"Apakah dengan melegitimasi kepemimpinan dari sebuah produk yang tidak sah, apakah mendapat legitimasi dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi? Ini juga menjadi sebuah pertanyaan besar yang patut dijawab jika upaya ke arah itu terwujud," katanya dalam nada tanya.

Persoalan sengketa Pilkada Sumba Barat Daya, kini sudah memasuki babak baru, setelah Pengadilan Negeri Waikabubak pada 7 November 2013 menjatuhkan vonis hukuman 13 bulan penjara kepada Ketua KPU Sumba Barat Daya Yohanes Bili Kii, karena secara sah dan meyakinkan telah melakukan kecurangan dalam Pilkada Sumba Barat Daya pada 5 Agustus 2013.

Kecurangan tersebut antara lain dengan melakukan penggembungan surat suara sebanyak sekitar 13.000 kepada pasangan MDT-DT yang seharusnya menjadi hak pasangan KONco OLE ATE, sehingga pasangan tersebut yang ditetapkan sebagai pemenang.

Apakah novum atau bukti baru dari putusan Pengadilan Negeri Waikabubak itu dapat dijadikan sebagai alat bukti pasangan KONco OLE ATE untuk melakukan PK atas putusan MK yang terkesan kontroversial itu?

Bukti baru

Pengamat politik dan hukum administrasi dari Universitas Nusa Cendana Kupang Dr Johanes Tubahelan SH.MHum berpendapat vonis Pengadilan Negeri Waikabubak tersebut bisa dijadikan sebagai bukti baru (novum) untuk melakukan PK atas putusan Mahkamah Konstitusi yang menangani perkara sengketa Pilkda Sumba Barat Daya.

Tubahelan yang juga mantan Ketua Ombudsman RI Pewakilan NTT-NTB itu mengatakan tidak ada alasan bagi MK untuk menolak peninjauan kembali perkara sengketa Pilkada SBD, karena putusan MK pimpinan Akil Mochtar itu jelas-jelas tidak berdasarkan pada fakta-fakta hukum.

"Salah satu solusi yang bisa dilakukan pasangan Kornelius Kodi Mete-Daud Lende Umbu Moto (KONco OLE ATE) adalah mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Konstitusi dengan mengacu pada novum tersebut (putusan Pengadilan Negeri Waikabubak). Ini terobosan hukum yang harus dilakukan, karena MK sendiri telah mengambil keputusan tidak berdasar pada fakta hukum dalam kasus sengketa Pilkada SBD," ujarnya.

KONco OLE ATE belum memberikan reaksi untuk melakukan PK, namun berharap agar putusan Pengadilan Negeri Waikabubak itu bisa dijadikan sebagai dasar hukum untuk mengajukan pasangan tersebut sebagai Bupati dan Wakil Bupati Sumba Barat Daya terpilih periode 2013-2018.

"Putusan Pengadilan Negeri Waikabubak mengandung sebuah nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan bagi seluruh rakyat Sumba Barat Daya. Vonis tersebut menjadi harapan rakyat kepada pemerintahan lebih tinggi untuk menetapkan dan melantik pasangan KONco OLE ATE sebaga Bupati dan Wakil Bupati Sumba Barat Daya periode 2013-2018," kata Bupati Sumba Barat Daya Kornelius Kodi Mete.

Sekarang, semua fakta hukum sudah terbuka lebar dan tinggal menunggu pertimbangan dari Kementerian Dalam Negeri untuk menetapkan pasangan mana yang berhak dan memiliki legalitas hukum dan politik untuk memimpin Sumba Barat Daya lima tahun ke depan.

Apakah MDT-DT sesuai putusan MK, ataukah KONco OLE ATE berdasarkan putusan pengadilan? Semuanya tergantung pula dari pemerintah Provinsi NTT yang mengusulkan pasangan mana ke Mendagri untuk ditetapkan sebagai Bupati dan Wakil Bupati Sumba Barat Daya periode 2013-2018.

Oleh Laurensius Molan
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013