... hal itu sebagai respons alami dari penyu betina yang ingin merekam alam tempatnya dirawat dan dijaga sebelum dilepas ke alam.
Solor (ANTARA) - Pagi itu Matahari baru muncul ketika Wilhelmus Wokadewa Melur membenamkan beberapa telur penyu yang ditemukan dari pantai di Desa Sulengwaseng, Solor Selatan, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia menutupi 169 telur dengan pasir secara perlahan, lalu memasang papan informasi kecil tentang telur yang "ditanam" di sana. Mus, sapaan Wilhemus, bersama istrinya,  Theresia Solid Weran, telah aktif menjaga penyu sejak 2018. Pada tahun itu, mereka menemukan kulit telur penyu yang berserakan di pantai. Meski minim pengetahuan tentang penyu, ia mengingat baik-baik pesan dari teman yang bekerja pada lembaga konservasi satwa bahwa penyu adalah hewan yang dilindungi oleh undang-undang.

Berbekal pesan itu, mereka segera mencari telur-telur penyu. Ia sempat melihat biawak sedang memakan beberapa telur. Mereka pun segera berlari ke arah tersebut untuk menyelamatkan seratusan telur dan membawa pulang ke rumah.

Sejak saat itu, suami dan istri pra-lanjut usia itu mulai aktif mencari telur penyu di pantai, membenamkan telur, merawat telur yang telah menetas menjadi anak penyu, hingga melepasliarkan penyu ke alam bebas. Tak hanya itu, Mus sering “pasang badan” melawan masyarakat yang menangkap dan menjual penyu.

  Dilepasliarkan

Upaya melindungi penyu berada dalam naungan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Jalur Gaza Desa Sulengwaseng. Menjaga dan merawat penyu tentu bukanlah pekerjaan mudah. Butuh ketelitian dan komitmen tinggi agar telur yang telah diselamatkan bisa menetas hingga dilepasliarkan ke alam.

Bulan Februari adalah waktu baik bagi penyu untuk bertelur. Biasanya satu sarang telur penyu yang ditemukan di pantai berisi ratusan telur. Sarang telur lalu dibawa ke tempat penangkaran untuk dibenamkan dalam lubang pembenaman. Posisi telur yang "ditanam" di tempat pembenaman harus sejajar dengan letak telur dalam sarang. Sebagian pasir dari sarang juga dibenamkan dalam lubang agar telur merasakan berada dalam habitat yang sama. Bahkan kedalaman tempat pembenaman harus disesuaikan dengan kedalaman lokasi pertama telur itu ditemukan.

Selama 5 minggu Mus dan Theresia memantau perkembangan telur dalam lubang penanaman. Tempat pembenaman telur penyu memiliki luas 8 meter x 6 meter, dengan sekeliling sisi dipasang jaring-jaring untuk menjauhkan telur dari predator.

Sebagai ketua kelompok pengawas, Mus harus terus mengawasi lokasi pembenaman itu. Ia khawatir predator akan mencari telur-telur itu karena tempat pembenaman belum memiliki atap penutup.

Setelah 5 -- 7 minggu menunggu, telur yang telah menetas biasanya terligat dari anjloknya pasir di tempat pembenaman. Lalu, anak penyu yang disebut tukik pun keluar dari balik pasir-pasir itu. Setelah tukik keluar, tugas baru dimulai. Mus dan Theresia harus memindahkan tukik ke dalam wadah atau bak berisi air laut. Air itu harus diganti setiap 3 jam. Tukik pun harus diberi makan.

Jenis penyu yang sering ditemukan di pantai dengan hamparan mencapai 6 kilometer itu, antara lain, penyu sisik, penyu lekang, dan penyu hijau. Sejak tahun 2018 hingga 2023, Mus dan Theresia bersama anggota pokmaswas dan masyarakat telah melepasliarkan 10.375 penyu.

Pelepasliaran penyu tidak dilakukan sendirian. Ia selalu melibatkan masyarakat atau waktunya bertepatan dengan momen kunjungan pelajar sekolah atau pejabat. Tujuannya tak lain agar adanya edukasi kepada masyarakat luas tentang pentingnya melindungi penyu. Selain warga lokal, turis dari Austria juga sudah beberapa kali datang setiap bulan Juli ke tempat itu untuk mengikuti proses pelepasliaran penyu. Kegiatan melepas penyu ke laut biasanya dimulai dari pukul 17.00 WITA sore untuk menghindari predator.

Identifikasi jenis kelamin baru bisa dilakukan ketika penyu dilepasliarkan ke lautan. Penyu jantan biasanya langsung bergerak cepat ke dalam air, sedangkan penyu betina bergerak perlahan, lalu menoleh ke kiri dan kanan, sebelum akhirnya masuk ke dalam air laut. Mus meyakini hal itu sebagai respons alami dari penyu betina yang ingin merekam alam tempatnya dirawat dan dijaga sebelum dilepas ke alam.

 
Pelepasan tukik bersama masyarakat di Desa Sulengwaseng, Solor, NTT beberapa waktu lalu. ANTARA/Dokumentasi pribadi
  Bantuan Pemerintah

Pokmaswas dari Desa Sulengwaseng ini pernah mendapatkan bantuan peralatan konservasi penyu senilai Rp99 juta dari Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Denpasar. Bantuan yang diberikan yakni kapal fiberglass satu unit, teropong, handy talky, dan seragam bagi kelompok.

Dalam catatan Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT wilayah Lembata, Flores Timur, dan Sikka, kelompok masyarakat pengawas itu menjadi komunitas yang sangat berpengalaman dalam memberikan edukasi tentang penyu. Bahkan tempat itu menjadi lokasi magang atau pelatihan bagi nelayan dari Lembata dan Maumere. Mus sebagai ketua kelompok pernah mendapatkan berbagai penghargaan di tingkat provinsi maupun nasional atas upayanya menjaga penyu. Ia juga dikirim ke Labuan Bajo, Manggarai Barat, untuk memberikan edukasi penyu kepada para wisatawan asing di sana.


Bukan penghalang

Dalam rencana jangka panjang, dinas teknis itu tengah membuat konsep pembinaan kelompok ke arah wisata dan edukasi melepas tukik ke laut.

Menjaga penyu bukanlah pekerjaan gampang. Kelompok itu berharap beberapa bantuan untuk mempermudah kerja-kerja pelestarian penyu dalam penangkaran penyu.

Untuk memperlancar upaya pencarian telur penyu, kelompok pengawas membutuhkan lebih banyak senter dan wadah. Adapun di lokasi pembenaman telur, kelompok membutuhkan atap penutup. Selain menghindarkan telur-telur dari burung gagak, atap dibutuhkan agar suhu dalam lokasi pembenaman tidak terlalu panas. Suhu yang terlalu panas berpengaruh pada jumlah telur yang menetas.

Pada tanggal 21 Desember 2023, ada 198 telur yang dibenamkan dalam pasir, namun hanya 70-an telur yang menetas, sedangkan dari 132 butir telur yang diambil dari Pantai Baeba pada 17 Februari 2024, tidak ada satu pun telur yang menetas. Pasir yang terlalu panas menyebabkan telur mengempis dan gagal menetas.

Selanjutnya kelompok itu juga membutuhkan bantuan peralatan agar pergantian air laut setiap 3 jam tidak lagi dilakukan secara manual.

Namun, pokmaswas dari Desa Sulengwaseng menyadari berbagai tantangan itu tidak boleh menjadi penghalang dari kerja-kerja tulus menjaga habitat penyu.

Meski serba terbatas, edukasi yang telah diberikan oleh kelompok sudah memberi dampak kepada masyarakat. Warga desa itu sudah tidak mencari penyu untuk dijual atau dikonsumsi seperti sebelum-sebelumnya.

“Melindungi penyu adalah kerja seumur hidup. Kita harus menjaga dan merawat dengan sepenuh hati,” katanya dengan bangga di depan lokasi penangkaran penyu, Selasa pekan lalu.


 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024