Istanbul (ANTARA News) - Ratusan polisi Turki dipecat dan beberapa lagi dipindahkan ke satuan lalu lintas, kata media setempat, semakin mengganggu upaya pengusutan kasus korupsi, yang oleh Perdana Menteri Tayyip Erdogan digambarkan sebagai upaya terselubung pesaingnya untuk merebut kekuasaan.

Erdogan menghadapi tantangan terbesar dalam 10 tahun masa kepemimpinannya, yang menyaksikan penyingkiran militer dari panggung politik, ledakan ekonomi dan upaya Ankara memompakan pengaruhnya di Timur Tengah.

Ia menggambarkan operasi penyelidikan itu sebagai "rencana kotor" para pengikut pemuka Islam yang berbasis di AS. Para pemuka itu tidak mendukung partai politik manapun namun memiliki pengaruh luas di kalangan polisi dan peradilan.

Pemerintah melawan balik operasi itu dengan memecat atau memindahtugaskan ratusan polisi di seluruh negeri sejak penyelidikan itu dimulai bulan lalu, sementara penyelidikan kedua atas proyek infrastruktur besar yang dilindungi oleh Erdogan telah diblokir.

Sekitar 350 petugas polisi di Ankara, termasuk anggota unit kejahatan keuangan dan kejahatan terorganisir, penyelundupan dan unit anti-teror, dipecat atau dipindahtugaskan ke bagian lain termasuik ke satuan lalu lintas atau unit distrik, demikian dilaporkan media.

Kepolisian Ankara menolak berkomentar mengenai masalah ini.

Sementara itu, jaksa terus memperdalam penyelidikan, dengan setidak-tidaknya 25 orang lebih, termasuk pejabat, ditahan sebagai bagian dari penyelidikan aktivitas sebuah pelabuhan di provinsi Izmir, Aegean, demikian dilaporkan CNN Turk.

"Pada tahap ini kedua belah pihak tidak ada yang mau mengalah dalam pertarungan tingkat tinggi untuk memegang kendali pemerintahan," kata Timothy Ash, kepala riset pasar pada Standard Bank.

Skandal korupsi mengguncang kepercayaan investor pada saat nilai mata uang lira terus turun mendekati rekor terendah, inflasi meningkat, dan pertumbuhan melemah.

Sesuai dengan ideologinya yang berbasis Islam, dukungan Partai AK bergantung pada komitmen untuk memerangi korupsi dan rekor ekonomi.

Erdogan dan gerakan Hizmet dipimpin oleh Fethullah Gulen, yang menyebarkan pengaruhnya melalui jaringan kontak yang dibangun dengan dukungan sekolah-sekolah serta organisasi sosial dan media, saling tuding telah memanipulasi polisi dan mengancam independensi sektor peradilan.

"Pembersihan atau lebih tepatnya pembantaian, dilakukan terhadap pegawai negeri yang melaksanakan tugasnya sesuai hukum," kata Gulen dalam suratnya kepada Presiden Abdullah Gul, ditulis saat perselisihan meruncing pada akhir Desember namun baru dipublikasikan oleh harian pro-pemerintah Yeni Safak pada Senin.

Erdogan yang memenangi tiga kali pemilihan umum dan masih sangat populer, menyebut skandal itu sebagai sebuah upaya "kudeta yudisial", rencana yang didukung pihak asing dan dilakukan oleh mereka yang iri dengan kesuksesannya.

Pertikaian antara mantan sekutu itu menjadi salah satu tantangan terbesar Erdogan. Selama satu dasawarsa masa pemerintahannya, Turki mengalami pertumbuhan dan stabilitas ekonomi yang kuat namun keprihatinan meningkat atas gaya otoriternya.

Ratusan ribu warga turun ke jalan pada musim panas lalu dalam protes anti-pemerintah, yang juga digambarkan Erdogan sebagai bagian dari persekongkolan didukung pihak asing.

Skandal itu mencuat pada 17 Desember dengan penangkapan pengusaha-pengusaha yang dekat dengan pemerintahan dan anak-anak tiga menteri dalam kabinet.

Skandal tersebut telah memperlemah Partai AK yang dipimpin Erdogan sebelum pemilu lokal pada Maret dan pemilihan presiden pada Agustus digelar, demikian Reuters.
(S022)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014