Tionghoa di Jawa juga berbeda. Tionghoa di Surabaya lebih berani, sedangkan Tionghoa di Semarang lebih santun dan Tionghoa di Jakarta lebih dialogis."
Surabaya (ANTARA News) - Konsul Jenderal AS di Surabaya, Joaquin F. Monserrate, mengajak sejumlah tokoh warga keturunan Tionghoa bersama-sama merayakan Tahun Baru Imlek 2565 di konsulat setempat, Selasa.

"Di Amerika ada tiga juta warga Tionghoa yang hampir merata pada semua negara bagian. Warga Tionghoa terbanyak berada di New York dan California," katanya.

Dalam acara yang dihadiri puluhan akademisi, mahasiswa, dan aktivis/sosial itu terlihat sejumlah tokoh China, di antaranya Prof Esther (sejarawan China) dan Lukito S Kartono (sosiolog).

Selain itu, Gatot Seger Santoso (Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia "Boen Bio" Surabaya), Dede Oetomo (ahli linguistik), Ardian Purwoseputro (ahli kajian China), dan sebagainya.

Menurut Monserrate, keberadaan warga Tionghoa di AS cukup berpengaruh dalam berbagai bidang, bahkan di antaranya menjadi gubernur, arsitek, dubes, pengusaha, dan sebagainya.

"Pada awal abad ke-20 saat pertama kali datang ke Amerika, mereka menderita, namun setelah ada gerakan menghormati orang kulit hitam, maka kami mulai menyadari bahwa ada orang lain," katanya.

Hal itu sama dengan di Indonesia. "Di Surabaya juga ada keberagaman, ada Konghucu, Kristen, Islam," katanya dalam acara yang juga dimeriahkan dengan pemutaran film Naga dari Timur itu.

Dalam diskusi di sela-sela perayaan itu, sejarahwan Prof Esther mengatakan keberadaan warga China/Tionghoa di Indonesia sudah menyatu dengan republik ini.

"Karena itu, di sini ada istilah China peranakan. Leluhur mereka datang ke Nusantara untuk berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam," katanya.

Menurut sosiolog Lukito S Kartono, penyebaran Islam di Nusantara yang datang dari China itulah yang membuat wajah Islam di negara ini berbeda, bahkan antara Islam di Jawa dan Aceh pun berbeda.

"Tionghoa di Jawa juga berbeda. Tionghoa di Surabaya lebih berani, sedangkan Tionghoa di Semarang lebih santun dan Tionghoa di Jakarta lebih dialogis," katanya.

Sementara itu, ahli linguistik Dede Oetomo menyatakan Tionghoa itu merupakan istilah khas Indonesia, karena sebutan Tionghoa tidak ada di negara lain.

"Bahasa orang-orang Tionghoa di Nusantara juga lebih menyerap bahasa lokal. Bahkan ada kemungkinan orang-orang Tionghoa akan menyelamatkan Bahasa Jawa, karena orang Jawa sudah cenderung berbahasa Indonesia," katanya.  (E011/T007)

Pewarta: Edy M Ya`kub
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014